Lanjutan......
5. MINIMUM DUA HARI DI MINA
Quran tidak menyebut tanggal khusus untuk tinggal di Mina sebagai ritual haji. Sebaliknya, Quran hanya menyebutkan jumlah minimum hari yang diperlukan untuk agar haji nya syah, yaitu 2 hari.
Al-Baqarah 203: Dan ingatlah Allah pada hari-hari ditetapkan (ayyaami a'duudaatin), tapi barang siapa yang buru-buru untuk pergi (dari Mina) setelah dua hari, tidak ada dosa baginya. Dan barangsiapa hendak tetap tinggal, tidak ada dosa baginya, jika tujuannya adalah untuk melakukan yang benar. Maka bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Anda pasti akan dikumpulkan kepada-Nya.
Catatan penting: Quran tidak pernah menentukan tanggal untuk ritual ini.
6. HARI PENYEMBELIHAN QURBAN
Selama ini secara praktek, hari raya Iedul Adha adalah bersamaan dengan masa pelaksanaan Haji (lengkap). Hal ini dikaitkan dengan pelaksanaan hari penyembelihan qurban, baik qurban haji dan qurban Iedul Adha. Kita harus mempertanyakan apakah hari untuk penyembelihan qurban haji sama dengan hari berqurban selama perayaan Iedul Adha (10, 11, 12 Dzulhijjah). Dengan kata lain Iedul Adha adalah bagian dari ritual haji. Atau itu semua hanya kebetulan saja; bahwa ketika nabi s.a.w. melaksanakan haji (yang satu-satunya itu) secara kebetulan bersamaan dengan hari raya Iedul Adha.
Al Hajj 27-29: Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus (pen: untuk penggambaran jauhnya perjalanan yang ditempuh sehingga membuat unta kurus) yang datang dari segenap penjuru yang jauh.
Agar supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditetapkan, atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.
Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).
Struktur kalimat dan ayat dari ayat-ayat al-Hajj 27-29 menunjukkan bahwa pengorbanan hewan merupakan bagian dari ritual haji, setidaknya itu dilakukan selama haji. Namun, Quran tidak pernah menentukan tanggal hari-hari untuk ritual pemotongan qurban. Dalam hadith, juga tidak ada petunjuk nabi s.a.w. mengenai tanggal tertentu untuk melakukan ritual ini. Namun, Nabi s.a.w. dalam beberapa kesempatan (yang berkaitan dengan umroh) melakukan pemotongan hewan qurban di bulan Dzulqaidah, bukan di bulan Dzulhijjah saja. Hadith berikut di antara banyak hadith yang merujuk pada peristiwa ini.
Hadith Sahih Bukhari Volume 5, Buku 59, Nomor 554:
Diriwayatkan oleh Ibn Umar: Rasul Allah berangkat dengan maksud melakukan umroh, tetapi orang-orang kafir Quraisy menghadang antara dirinya dan Ka'bah. Sehingga Nabi kemudian menyembelih hadinya (hewan qurban) dan mencukur kepalanya di Al-Hudaibiya kemudian menandatangani perjanjian perdamaian dengan mereka (orang kafir) dengan syarat bahwa beliau akan melakukan umroh pada tahun berikutnya. Dan (dengan syarat) bahwa beliau tidak akan membawa senjata melawan mereka kecuali pedang, dan tidak akan tinggal (di Mekkah) lebih dari apa yang diperbolehkan. Jadi nabi melakukan umroh pada tahun berikutnya dan sesuai dengan perjanjian damai, beliau memasuki Mekkah, dan tinggal di sana selama tiga hari. (Selanjutnya) Orang-orang kafir memerintahkan beliau pergi, maka beliau pergi.
Perlu diketahui bahwa kejadian umroh yang membawa kepada perjanjian Hudaibiya berlangsung pada bulan Dzulqaidah yaitu sebulan sebelum hari raya Iedul Adha.
Hadith Sahih Bukhari Volume 3, Buku 27, Nomor 6:
Diriwayatkan Qatada: Aku bertanya kepada Anas mengenai berapa kali Nabi telah melakukan umroh. Dia menjawab, "Empat kali 1. umroh semasa Hudaibiya di bulan Dzulqaidah ketika orang-orang kafir menghambat/menghalangi beliau; 2. umroh pada tahun berikutnya di bulan Dzulqaidah setelah perjanjian damai dengan mereka (orang kafir); 3. umroh dari Al-Jr'rana mana beliau membagikan harta rampasan perang." Saya pikir yang dia maksudkan adalah rampasan (perang) Hunain. Saya bertanya lagi, "Berapa kali dia melakukan haji?" Dia (Anas) menjawab, "Sekali."
Oleh sebab itu timbul pertanyaan: Andaikata hari raya Iedul Adha yang jatuh pada 10 sampai 12 Dzulhijjah berkaitan dengan pelaksanaan Haji, mengapa Nabi s.a.w. menyembelih qurbannya pada bulan Dzulqaidah untuk kasus umroh tahun 6 H ini? Dia seharusnya bisa membawa kembali semua hewan qurban kembali ke Madinah dan menunggu sampai hari Nahr (Iedul-Adha) datang.
Ketentuan penyembelihan hewan qurban dalam rangka hari Iedul Adha adalah harus dilaksanakan sesudah sholat Iedul Adha (sampai dua hari sesudahnya). Kalau penyembelihan ini dilakukan sebelumnya maka tidak syah. Dan ketentuan ini dijelaskan dalam hadith berikut:
Hadith Sahih Bukhari Volume 2, Buku 15, Nomor 85:
Diriwayatkan Al-Bara ': Nabi menyampaikan khotbah pada hari Nahr (Iedul-Adha) dan berkata, "Hal pertama yang harus kita lakukan pada hari ini adalah sholat dan kemudian menyembelih (hewan qurban kita). Jadi siapa saja yang melakukan seperti itu, ia bertindak sesuai sunnah kita; dan siapa saja yang menyembelih (qurbannya) sebelum sholat maka itu hanya daging yang diperuntukkan bagi keluarganya dan tidak akan dianggap sebagai qurban sama sekali. Pamanku bin Abu Burda Niyyar berdiri dan berkata, "O, Rasulullah! Aku menyembelih qurban sebelum sholat, tapi aku punya kambing betina muda yang lebih baik daripada domba tua". Nabi berkata, "Sembelihlah kambing itu sebagai pengganti kambing pertama dan kambing seperti tidak akan dianggap sebagai hewan qurban bagi orang lain setelah kamu."
Dengan melihat bahwa ketika umroh (haji?) di tahun ke 6H (dan juga tahun ke 7H qurban disembelih pada bulan Dzulqaidah dan ketentuan penyembelihan qurban Iedul Adha adalah sesudah sholat Iedul Adha, maka sebagai kesimpulan, pengorbanan selama haji dan umroh harus terlepas dan tidak ada kaitannya dengan qurban pada hari raya Iedul Adha. Dan waktu untuk penyembelihan qurban (hadi) yang berkaitan dengan umroh/haji paling tidak adalah pada bulan-bulan Dzulqaidah dan Dzulhijjah berdasarkan contoh dari nabi s.a.w. dan mungkin bisa diperluas menjadi 4 bulan Haram (Rajab, Dzulqaidah, Dzulhijjah dan Muharram.
7. TAHUN 6H: APAKAH NABI AKAN BERUMROH SAJA?
Kejadian ini berlangsung bulan Dzulqaidah 6H. Sejarawan sepakat bahwa umroh/haji di 6 H merupakan ibadah yang tidak lengkap, apakah itu umroh yang tidak lengkap atau haji yang tidak lengkap adalah masalah lain. Pertanyaan yang sangat penting adalah apakah pada saat itu nabi s.a.w berencana untuk umroh atau umroh + haji (Haji lengkap)? Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa nabi sedang mempraktekkan surat al Baqarah 197 (waktu pelaksanaan haji dalam beberapa bulan).
Catatan sejarah menunjukkan bahwa Nabi s.a.w. membawa 70 (banyak) unta sebagai hewan qurban. Bukti ini harus membuat ragu pendapat-pendapat bahwa nabi berencana untuk umroh (haji kecil) saja. Rencana beliau bisa jadi adalah untuk berHaji lengkap, akan tetapi ritual Haji (lengkap) nya tidak terwujud semuanya karena adanya ketegangan antara kaum muslimin dengan kaum kafir Mekkah yang kemudian mengarah ke perjanjian Hudaibiya. Dalam peristiwa bersejarah ini, jangankan ritual Haji (lengkap), bahkan umroh tidak dilakukan dengan sempurna, yaitu tidak ada tawaf dan sa'i, melainkan hanya bercukur dan menyembelih hewan qurban saja.
Kembali ke pertanyaan, apa rencana nabi dalam ziarah ini untuk berhaji kecil (umroh) atau berhaji lengkap? Apakah haji kecil (umroh) membutuhkan hewan qurban (hadi)?
Ayat Quran berikut menyebutkan bahwa penyembelihan hewan untuk Haji lengkap (tamatu) diperlukan, tetapi tidak diperlukan untuk umroh. Namun, jika ada suatu ritual haji atau umroh tidak dapat dilakukan, maka diperlukan penyembelihan qurban sebagai ganti ritual yang tak terlaksana.
Al-Baqarah 196: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan (wa) umroh karena Allah. Tetapi jika kamu terhalang (dari menyelesaikannya) sembelihlah qurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum qurban sampai di tempat penyembelihannya.
Dan jika salah satu dari kamu ada penyakit di kepalanya (lalu bercukur), maka (dia) wajib berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berqurban.
Apabila kamu dalam kondisi aman, bagi siapa yang ingin mengerjakan umroh sebelum haji, (wajib ia menyembelih) qurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.
Ayat di atas memuat beberapa ketetapan. Pertama, untuk jika ritual umroh dan haji yang tidak lengkap/tidak bisa dilaksanakan karena satu atau lain hal, maka bisa digantikan dengan menyembelih qurban. Yang kedua, adalah jika ada yang hendak melanjutkan ritual umroh ke ritual haji, maka diwajibkan juga untuk menyembelih qurban.
Berikut hadith yang mengatakan Nabi (s.a.w.) melakukan penyembelihan hewan qurban ketika berziarah di tahun ke 6H.
Hadith Sahih Bukhari Volume 5, Buku 59, Nomor 554:
Diriwayatkan oleh Ibn 'Umar: Rasul Allah berangkat dengan maksud melakukan umroh, tetapi orang-orang kafir Quraisy menghalanginya untuk mencapai Ka'bah. Sehingga nabi s.a.w. menyembelihnya Hadi (hewan qurban) dan mencukur kepalanya di Al-Hudaibiya dan menandatangani perjanjian perdamaian dengan mereka (kaum kafir) dengan syarat bahwa beliau akan melakukan umroh di tahun berikutnya dan bahwa ia tidak akan membawa senjata mereka kecuali pedang, dan tidak akan tinggal (di Mekkah) lebih dari apa yang mereka tetapkan. Jadi Nabi melakukan umroh pada tahun berikutnya dan sesuai dengan perjanjian damai, dia memasuki Mekkah, dan tinggal di sana selama tiga hari. Ketika orang-orang kafir memerintahkan dia untuk pergi, maka ia pergi.
Tujuan dari ziarah nabi di tahun ke 6H, apakah itu umroh (haji kecil) atau Haji lengkap, tidak dapat disimpulkan dengan pasti dari penyembelihan qurban di Hudaibiya. Qurban bisa untuk umroh yang tidak lengkap atau/dan untuk haji tidak lengkap. Ketidak pastian tersebut bisa dipecahkan dengan metode eliminasi.
Dari sudut pandang pelaksanaan haji di masa kini, para jamaah yang hanya bermaksud umroh tidak akan pernah berpikir untuk melakukan penyembelihan qurban. Karena umroh akan memakan waktu kurang dari setengah hari untuk menyelesaikannya. Yang diperlukan hanya, pergi ke tempat miqat untuk memulai ihram yang memerlukan waktu 1 – 2 jam paling lama. Kalau jemaah datang datang dari luar kota Mekkah (dari Madinah misalnya), pergi secara khusus ke miqat tidak diperlukan, karena jemaah bisa berihram sebelum masuk ke Mekkah.Tawaf (mengelilingi Ka'bah tujuh kali) kalau tidak banyak jemaah mungkin memerlukan waktu 15 - 30 menit. Sa'i (jogging/berjalan sepanjang 150 meter dari Safa ke Marwah tujuh kali) akan memakan waktu tidak lebih dari 1 jam untuk menyelesaikan. Bagi orang yang sehat, semua ritual umroh ini (jika Allah mengijinkan) tidak mungkin gagal untuk bisa diselesaikan secara lengkap sehingga tidak memerlukan qurban sebagai pengganti ketidak lengkapan ritual. Ini adalah kasus untuk laki-laki atau perempuan yang sedang tidak haid. Namun, untuk kasus perempuan, mereka umumnya dapat melakukan perkiraan kasar tentang datangnya masa haid mereka. Oleh karena itu, mereka bisa membuat perkiraan kasar apakah mereka bisa umroh atau tidak.
Menstruasi bukan kejadian 1 - 4 jam saja, melainkan beberapa hari. Sehingga pengaruhnya bukan dalam hitungan satu atau dua ritual umroh yang hanya akan memakan waktu 4 jam paling lama, melainkan seluruh umroh. Jadi jika tidak ada gangguan keadaan apa-apa (masa damai misalnya) bagi jemaah umroh, membawa hewan qurban bukan suatu yang diperlukan. Dalam kaitannya dengan umroh, ayat al-Baqarah 196 adalah kasus yang sangat langka yaitu kasus gagalnya umroh karena terhalang sesuatu. Apakah nabi s.a.w demikian pesimisnya sehingga beliau dengan sengaja membawa hewan qurban? Pesimis bukan karakter nabi. Oleh karena itu, tindakan membawa banyak hewan qurban selama umroh tahun ke 6H ini merupakan ‘indikasi’ keinginan nabi untuk melanjutkan haji setelah umroh. Perhatikan kata ‘indikasi’. Ini adalah untuk menunjukkan bahwa pembuktian ini tingkatannya lebih rendah dari apa yang disebut ‘argumen cukup’ (lihat bab 1, 3, 4). Tetapi tidak berarti tidak kuat. Hanya tingkatannya berbeda. (Saya dalam analisa ini tetap bersikap jujur. Dalil yang kurang kuat – masih bisa dibantah harus dinyatakan sebagai ‘dalil-perlu’ atau necesary argument, juga harus diungkapkan. Harus diingat bahwa pengertian bisa dibantah disini belum tentu bisa dipatahkan. Untuk kasus ziarah pada tahun ke 6H, argumen di atas bisa dibantah dan disaingi dengan teori lain, tetapi belum bisa dibuktikan salah.)
8. TAHUN 7H: APAKAH NABI AKAN BERUMROH SAJA?
Nabi dan kaum muslimin telah gagal untuk umroh/haji di bulan Dzulqaidah tahun 6H, karena kaum kafir Arab menghentikan mereka. Selanjutnya sebuah perjanjian dicapai di suatu tempat yang bernama Hudaibiya. Isi antara lain mengatakan bahwa pada tahun berikutnya, kaum muslimin akan diberikan waktu 3 hari untuk menunaikan ibadah haji. Pada saat itu kaum kafir Arab akan keluar dari Mekkah dan membebaskan kaum muslimin menunaikan ibadah haji.
Pada bulan Dzulqaidah 7H, nabi berserta 2000 kaum muslimin menuju Mekkah untuk melakukan haji. Apapun niat, apakah umroh (haji kecil) atau haji lengkap, dapat cari/diselidiki/disimpulkan secara pasti dengan proses eliminasi berikut ini.
Orang berakal akan bertanya kenapa dalam perjanjian Hudaibiya orang-orang kafir Quraisy dan kaum muslimin menyetujui waktu 3 hari untuk melakukan ritual haji. Mengapa tidak hanya satu (1) hari atau satu minggu? Bukankahkah satu (1) hari cukup untuk melakukan umroh, yang hanya akan memakan waktu tidak lebih dari 4 jam? Bisa 2 jam saja.
Apakah orang-orang kafir Quraisy begitu murah hati untuk memberikan 3 hari untuk serangkaian kegiatan yang akan memakan waktu kurang dari 4 jam? Jawabannya tentu saja "tidak". Bukankah kaum kafir Quraisy lebih cenderung untuk membuat pelaksanaan ibadah bagi kaum muslimin sangat menyengsarakan, bukan mudah dan nyaman.
Skenario satu-satunya yang cocok untuk menerangkan hal ini ialah bahwa skenario pemberian waktu selama 3 hari itu adalah diperuntukkan bagi melaksanakan haji lengkap, bukan untuk umroh saja (yang hanya memerlukan waktu kurang dari 4 jam). Dapat dibayangkan betapa sibuk dan sengsaranya umat Islam jika harus menyelesaikan semua ritual ibadah haji lengkap (umroh dan haji) selama 3 hari. Jadwalnya akan sangat ketat bagi kaum muslimin. Berikut adalah kemungkinan jadwal untuk skenario umroh + haji yang ada di dalam pikiran kedua pihak ketika merancang perjanjian Hudaibiya.
Hari Pertama – Siang sampai di Mekkah dan melaksanakan umroh (tawaf, sai, tahalul, memakan waktu 4 jam) disusul dengan pemotongan hewan qurban. Kemudian pergi ke Mina dan bermalam di Mina.
Hari Kedua – Pagi hari ke Arafah dan tinggal di sana sampai sore. Kemudian mabit (bermalam) di Muzdalifah.
Hari Ketiga – Melanjutkan perjalanan ke Mina untuk melaksanakan jumroh Aqabah, menggunting rambut,. Disusul dengan tawaf di Mekkah lalu kembali ke Mina untuk bermalam di Mina. Pagi harinya melaksanakan 2 lontar jumroh lainnya dan kembali ke Mekkah untuk tawaf wada. Semua ritual selesai pada tengah hari. Waktu total 3 x 24 jam.
Skenario ini bisa dilakukan tetapi dengan jadwal yang sangat ketat dan akan sangat menyibukkan umat Islam. Skenario ini cocok untuk mencerminkan pikiran yang "kejam dan menindas" kaum kafir Arab terhadap kaum muslimin pada jaman itu.
Pada kenyataannya umat Islam (nabi s.a.w.) tidak bisa melaksanakan haji secara lengkap di tahun 7H. Kemungkinan karena adanya kendala dan masalah pengorganisasiannya serta kemungkinan banyak umat Islam yang punya agenda pribadi, seperti menengok rumah dan keluarganya setelah 6 tahun ditinggal hijrah ke Madinah. Di beberapa riwayat, hal ini diceritakan.
Dalam ziarah ini nabi menikahi Maimuna sebagaimana diriwayatkan di beberapa hadith, salah satunya pada hadith berikut ini.
Hadith Sahih Bukhari Volume 5, Buku 59, Nomor 559:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: Nabi menikahi Maimuna saat ia pada saat berihram tetapi kemudian pernikahan disempurnakannya setelah menyelesaikan ihram. Maimuna meninggal di Saraf (sebuah tempat di dekat Mekkah). Ibnu 'Abbas menambahkan, Nabi menikahi Maimuna selama ‘umrat al-qada (umroh yang dilakukan sebagai pengganti umroh yang gagal karena dihalangi oleh kafir Quraisy pada tahun sebelumnya).
Tentunya kita ingin tahu mengapa nabi melakukan perkawinan disaat yang repot selama ziarah ini?. Tidakkah nabi dapat menunggu sampai haji selesai. Hanya menunggu 3 hari apa susahnya? Kecuali ada alasan lain. Pertanyaan itu menjadi jelas ketika nabi s.a.w kemudian meminta perpanjangan dan mengundang orang-orang kafir Quraisy untuk bergabung merayakan pernikahannya. Nabi menyadari bahwa akan sulit untuk melakukan haji yang penuh bersama dengan 2000 pengikut termasuk perempuan dan orang tua. Jadi ia menggunakan perkawinan sebagai taktik untuk melunakkan orang kafir Mekkah dengan mengundang mereka untuk bergabung dalam perayaan pernikahan itu. Pada saat yang sama meminta perpanjangan waktu untuk berhaji. Sayangnya permintaan itu tidak diberikan. Muslim meninggalkan Mekkah setelah berada di Mekkah selama 3 hari.
Jadi kesimpulannya ialah bahwa sangat mungkin pada tahun 7H, tujuan nabi s.a.w. berziarah adalah untuk berhaji lengkap. Fakta-fakta yang mendukung adalah bahwa
a. Pada kesempatan itu kaum muslimin membawa binatang qurban, suatu persyaratan haji
b. Masa tiga hari yang diberikan dalam perjanjian Hudaibiya adalah untuk Haji lengkap (terlalu panjang untuk umroh)
c. Tindakan nabi menikah dimasa pelaksanaan ibadah haji/umroh, mengundang kaum kafir Quraisy ikut merayakan perkawinannya dan meminta perpanjangan waktu tinggal di Mekkah, merupakan usaha untuk memperoleh perpanjangan waktu untuk melengkapi ritual hajinya, karena umrohnya sudah selesai
Pembuktian ini (proses eliminasi) tingkatannya lebih rendah dibandingkan dengan teknik ‘argumen cukup’ (argumen yang terbantahkan lagi) yang dibahas pada bab 1,3 dan 4. Kesimpulan bahwa tujuan nabi berhaji lengkap di bulan Dzulqaidah 7H bisa dilemahkan (bukan dipatahkan/digagalkan) jika ada yang dapat memberikan teori lain yang sama kuatnya. Dan sepanjang ini, kami tidak bisa memberikan teori tandingan yang sama kuatnya.
9. TAHUN 8H: APAKAH NABI AKAN BERUMROH SAJA?
Umroh ini terjadi pada bulan Dzulqaidah 8H. Tahun 8H mungkin adalah waktu tersibuk untuk Nabi (s.a.w.). Pada tahun itu terjadi banyak kejadian penting yakni: pertempuran pertama dengan Romawi; kemudian penaklukan kota Mekkah; pertempuran Hunain; pengepungan Taif. Dalam pertempuran Mu'ta melawan Romawi, kaum muslim kehilangan tiga senopati lapangan mereka, Zaid bin Haritha, Ja'far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawaha. Pada pertempuran Hunain dan pengepungan Taif umat Islam juga harus berjuang keras. Dalam pertempuran yang melelahkan ini umat Islam memperoleh kemenangan yang bukan murni militer. Kaum muslimin kehilangan 2 kabilah Arab yang dalam pertempuran Hunain dan gagal menaklukkan Taif secara militer. Nabi (s.a.w.) juga menghadapi beberapa tantangan untuk menjaga persatuan kaum muslimin yang lama dengan kabilah-kabilah Mekkah yang baru bergabung. Karena kabilah-kabilah Mekkah yang baru bergabung ini masih memiliki rasa persatuan dan persaudaraan yang relatif lemah.
Nabi melakukan umroh bulan Dzulqaidah setelah perang Hunain-Taif. Wajar kalau menganggap bahwa umroh kali ini hanyalah untuk umroh semata (bukan haji lengkap). Situasi mungkin tidak kondusif untuk melakukan haji.
10. HAJI PIMPINAN ABU BAKAR, 9H
Tahun ke 9H, atau setahun sebelum nabi s.a.w melaksanakan haji satu-satunya yang pernah dilakukannya, beliau menyuruh Abu Bakar r.a. untuk memimpin 300 kaum muslimin untuk berhaji. Anda tentunya akan bertanya: kalau nabi saja belum pernah melaksanakan haji, bagaimana Abu Bakar tahu ritual dan cara-cara berhaji? Ini pertanyaan yang sahih dan sangat wajar. Dan penjelasannya adalah:
a. Ibadah haji sudah dikenal masyarakat Arab jahiliyah sejak dahulu dan mereka selalu melaksanakannya setiap bulan-bulan Haram (Rajab, Dzulqaidah, Dzulhijjah dan Muharram). Adanya bulan-bulan Haram (bulan larangan berperang dijaman jahiliyah) menunjukkan tradisi haji di bulan-bulan ini.
b. Ritualnya pun kemungkinan tidak berbeda banyak dengan ritual haji pada jaman Islam. Meskipun ada beberapa praktek jahiliah yang menyimpang, seperti tawaf telanjang, umat Islam pada waktu itu sudah tahu bahwa praktek itu tidak sesuai dengan jiwa dari Islam. Sehingga otomatis disesuaikan dengan cara-cara yang Islami. Kemudian hal ini dikuatkan oleh pengumuman yang dibawa oleh Ali bin Abi Thalib mengenai larangan tawaf telanjang yang dilakukan oleh kaum kafir Arab yang pada saat itu juga ikut berhaji.
c. Kemungkinan sifat ritual haji yang fleksibel, membuat nabi berani melepas Abu Bakar r.a. memimpin umat Islam berhaji sebelum memperoleh contoh langsung dari nabi Muhammad s.a.w. Nabi tidak takut hajinya Abu Bakar dan kontingennya tidak syah karena ritualnya cukup fleksibel.
Sangat wajar kalau kita menyimpulkan bahwa haji yang Abu Bakar lakukan adalah identik dengan praktek haji modern. Akan ada tidak banyak yang membahas. Hal ini dilakukan pada bulan Dzulhijjah 9 H. Riwayat berikut menceritakan beberapa hal yang berhubungan peristiwa haji tahun 9H:
Hadith Sahih Bukhari Volume 1, Book 8, Number 365:
Diriwayatkan Abu Huraira: Pada hari Nahr (10 Dzulhijjah, pada tahun sebelum Haji wada yang dilaksanakan nabi ketika itu Abu Bakar memimpin jemaah haji), Abu Bakar mengutus aku bersama dengan beberapa orang yang lain ke Mina untuk membuat pengumuman publik: "orang kafir tidak diperbolehkan untuk melakukan haji setelah tahun ini dan tidak ada orang telanjang diperbolehkan untuk melakukan tawaf di sekitar Ka'bah. Lalu Rasullulah mengirim Ali untuk membacakan Surat Bara'a (At-Taubah) dihadapan orang ramai. Maka dia membuat pengumuman bersama dengan kami pada hari Nahr di Mina: "Kaum kafir tidak diperbolehkan untuk melakukan haji setelah tahun ini dan tidak ada orang telanjang diperbolehkan untuk melakukan tawaf di sekitar Ka'bah."
Hadith Sahih Bukhari Volume 6, Buku 60, Nomor 178:
Diriwayatkan oleh Humaid bin Abdur-Rahman: Abu Huraira berkata, "Selama haji (di mana Abu Bakar adalah pemimpin jemaah) Abu Bakar mengutus aku bersama dengan orang yang lain pada hari Nahr (10 Dzul-Hijja) di Mina untuk mengumumkan : "Tidak ada orang kafir akan melakukan, haji setelah tahun ini, dan tidak ada akan melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah dalam keadaan telanjang." Tambah Humaid bin 'Abdur Rahman: Lalu Rasullulah mengutus Ali bin Abi Thalib (untuk menyusul Abu Bakar) dan memerintahkan dia untuk membacakan dengan keras di Surat Bara'a di depan publik. Abu Huraira menambahkan, "Jadi 'Ali, bersama dengan kami, membacakan Bara'a (dengan keras) dihadapan orang-orang di Mina pada hari Nahr serta mengumumkan: "Tidak ada seorang kafirpun yang boleh melakukan haji setelah tahun ini dan tidak akan melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah dalam keadaan telanjang."
11. KESIMPULAN
1. Secara gramatik, ayat al-Baqarah 197 memberikan suatu kondisi/argumen yang cukup (tidak terbantahkan) bahwa waktu pelaksanaan ibadah haji adalah beberapa bulan.
2. Ayat al-Baqarah 189 memberikan argumen yang cukup (tidak terbantahkan) untuk tanggal dimulainya masa pelaksanaan haji, yaitu awal bulan.
3. Pada Taubah 2 dan At Taubah 36 memberikan argumen yang cukup (tidak terbantahkan) bahwa masa pelaksanaan ibadah haji adalah bulan 4 bulan.
4. Hadith Bukhari Volume 4, Buku 54, Nomor 419 memberikan argumen yang cukup (tidak terbantahkan) bahwa 4 bulan suci Rajab, Dzulqaidah, Dzulhijjah dan Muharram.
5. Keempat poin (1 sampai 4) sejalan dan sejiwa dengan banyak hadith nabi (s.a.w.) pada saat haji wada yang mencerminkan banyaknya unsur fleksibilitas dalam pelaksanaan ritual haji. Contohnya dalam hadith sahih Bukhari Volume 1, Buku 3, Nomor 83, diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru bin Al Aas dimana nabi selalu berkata: "Tidak apa-apa, boleh-boleh, dan tidak ada salahnya.", kepada setiap kali seorang umatnya bertanya kepadanya tentang ritual haji.
6. Hewan-hewan qurban yang dibawa ketika berangkat untuk pelaksanaan ibadah umroh/haji di tahun ke 6H dan 7H, memberikan sebuah “bukti-perlu” (landasan yang diperlukan) bahwa niat ibadah adalah untuk berhaji dan berumroh, karena umroh saja tidak memerlukan hewan qurban. Peristiwa ini terjadi di bulan Dzulqaidah.
7. Masa pelaksanaan ibadah haji/umroh bagi umat Islam selama 3 hari seperti yang dicantumkan dalam perjanjian Hudaibiya jelas mengindikasikan bahwa 3 hari itu dimaksudkan untuk melakukan Haji lengkap, yaitu umroh dan dilanjutkan dengan haji. Bukan umroh saja. Karena untuk melakukan umroh hanya memerlukan beberapa jam (2 – 4 jam), dan kalau 1 hari sudah sangat longgar. Peristiwa ini terjadi di bulan Dzulqaidah 7 H.
12. PANDANGAN BERSEBRANGAN
Ada banyak pandangan yang menentang teori 4-bulan. Namun, setelah diamati lebih dekat dan teliti, pandangan-pandangan yang berlawanan ini dapat diklasifikasikan sebagai argumen tidak cukup, non-argument atau membelokkan masalah. Kita akan melihat beberapa contoh dari pandangan ini dan bantahan untuk pandangan-pandangan ini.
A. Beberapa Bulan Berhaji Termasuk Perjalanan
Banyak argumen yang dimaksudkan untuk menyanggah konsep 4-bulan haji. Argumen-argumen penyanggah ini bisa diklasifikasikan kedalam kategori “tidak-cukup” atau “non-argumen”. Kedua istilah ini akan diterangkan nanti. Salah satu argumen menyatakan bahwa kata “beberapa-bulan” dalam al Baqarah 197 harus ditafsirkan sebagai dengan waktu yang diperlukan untuk perjalanan dari negara asal untuk Mekkah selain waktu untuk haji sendiri.
Sanggahan ini bisa dikategorikan sebagai “bukan sanggahan/argumen” yang syah untuk pemahaman “beberapa-bulan” haji. Sebab, perjalanan dan bepergian ke Mekkah bukan bagian dari ritual haji (rukun). Andaikata “perjalanan” dari negara asal ke Mekkah termasuk ritual (rukun), pertanyaannya adalah termasuk ritual umroh kah atau ritual haji kah?
Disamping itu, hal ini juga sulit untuk menjelaskan bulan Rajab sebagai pelaksanaan rukun haji “bepergian”. Jika seseorang memulai perjalanan di awal Rajab, kemudian ia harus menunggu selama hampir 5 bulan, menganggur sampai bulan Dzulhijjah untuk pelaksanaan hajinya. Itu adalah skenario diterima sangat tidak mungkin.
B. Bagian dari ritual - pengorbanan hewan - harus dilakukan pada 10, 11 dan 12 dari Dzulhijjah.
Argumen penyanggah lainnya adalah menyangkut masalah penyembelihan hewan qurban. Argumen ini berpendapat bahwa ritual penyembelihan hewan qurban selama haji harus dilakukan pada tanggal 10, 11 dan 12 Dzulhijjah. Oleh karena itu, pelaksanaan haji harus sekitar hari ini.
Argumen ini bisa dipatahkan jika ada contoh dari nabi s.a.w. yang menunjukkan bahwa nabi s.a.w. pernah melakukan penyembelihan hewan qurban (yang berkaitan dengan haji/umroh) di luar bulan Dzulhijjah. Dan ternyata memang ada. Nabi s.a.w. melakukan menyembelihan hewan qurban dalam rangka umroh/haji (tidak lengkap), di bulan Dzulqaidah 6 H dan di 7 H (lihat bagian 5, 6 dan 7) bukan di bulan Dzulhijjah. Penyembelihan hewan qurban ini berkaitan dengan ketidak lengkapan ritual umroh/haji. Jika tanggal-tanggal 10, 11 dan 12 Dzulhijjah adalah termasuk persyaratan haji/umroh, nabi seharusnya akan membawa kembali hewan qurban itu ke Madinah dan penyembelihannya akan menunggu sampai tibanya tanggal tersebut di atas. Dari kejadian ini harus disimpulkan bahwa perayaan Iedul Adha harus terlepas dari ritual haji.
C. Haji adalah Arafah
Salah satu argumen penyanggah terhadapskenario 4-bulan haji yang sering saya temui adalah nabi (s.a.w.) berkata: "Haji adalah Arafah". Argumen ini bukan argumen jujur. Walaupun ada kemungkinan orang yang mengatakannya tidak menyadari hal ini. Argumen ini memiliki asumsi implisit sebagai dasarnya yaitu bahwa hari Arafah adalah 9 Dzulhijjah. Dengan demikian argumen ini memiliki dua kelemahan. Pertama, hari Arafah adalah hari Arafah, tidak berarti jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah, tetapi bisa juga jatuh pada hari-hari lainnya. Nabi Muhammad (s.a.w.) tidak pernah berkata: "Haji adalah Arafah dan itu harus pada tanggal 9 Dzulhijjah". Kalau demikian halnya maka argumen ini menjadi syah.
Yang kedua, hadith yang mengatakan “Haji adalah Arafah”, telah disitir keluar dari konteksnya. Konteksnya adalah: “Haji adalah Arafah, bukan Muzdalifah.” Untuk dapat mengerti hal ini, kita harus melihat hadith-hadithnya.
Ada banyak riwayat yang menceritakan episode saat Nabi (s.a.w.) mengatakan pernyataan”Haji adalah Arafah” ini. Berikut adalah dua dari mereka.
Hadith Sahih Bukhari Volume 6, Buku 60, Nomor 45:
Diriwayatkan Aisyah: Orang-orang Quraisy dan pemeluk agama mereka (pen: kafir), biasa menginap di Muzdalifah dan biasa menyebut diri mereka Al-Hums, sedangkan orang-orang Arab lainnya biasa tinggal di Arafah. Ketika Islam datang, Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk pergi ke Arafah dan tinggal di situ, dan kemudian berlalu dari sana, dan itu adalah apa yang dimaksud dengan Pernyataan Allah: - " bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (Arafah) ......" (Q 2:199)
Hadith Abu Daud Buku 10, Nomor 1944:
Diriwayatkan Abdurrahman Ya'mar ad-Dayli: Saya datang kepada Nabi (s.a.w.) ketika ia berada di Arafah. Beberapa orang atau sekelompok orang datang dari Najd. Mereka memerintahkan seseorang (untuk bertanya Nabi tentang haji).
Lalu dia memanggil Rasullulah (s.a.w.), dan berkata: “Bagaimana haji dilakukan?”. Dia (nabi) memerintahkan seorang pria (untuk membalas). Dia berteriak keras: Haji, haji adalah hari di Arafah. Jika ada yang sampai di sana sebelum sholat fajar di malam al-Muzdalifa, haji itu akan lengkap. Lamanya waktu untuk tinggal di Mina adalah tiga hari. Barang siapa yang terburu-buru (keberangkatannya), dua hari saja dan tidak ada dosa baginya, dan barang siapa hendak tinggal lebih lama, maka tidak ada dosa baginya.
Perawi itu berkata: Dia (Nabi) kemudian menyuruh seseorang menunggang onta di belakangnya. Orang itu nempatkan manusia di belakangnya pada unta. Lalu dia memberitakannya dengan suara yang keras.
Hadith Sahih Muslim Volume 2, Buku 26, Nomor 726:
Diriwayatkan oleh 'Urwa: Selama periode pra-lslam orang Jahiliyah, orang-orang biasa melakukan Tawaf di sekitar Ka'bah dengan telanjang kecuali kaum Hums, dan kaum Hums adalah kaum Quraisy serta keturunan mereka. Para pria Hums biasa memberikan pakaian kepada para pria yang akan melakukan Tawaf untuk dikenakan; dan perempuan Hum digunakan biasa memberikan pakaian kepada wanita yang akan melakukan Tawaf untuk dikenakannya. Mereka memperoleh baju dari kaum Hums akan melakukan Tawaf mengelilingi Ka'bah dengan telanjang. Biasanya sebagian besar orang akan pergi (bubar) langsung dari Arafah tetapi mereka (kaum Hums) biasa bertolak dari Al-Muzdalifa setelah tinggal di sana. Urwa menambahkan, "Ayah saya meriwayatkan bahwa Aisyah pernah berkata, ayat-ayat berikut ini mengungkapkan tentang Hums: bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak - (Q 2:199). Urwa menambahkan, "Mereka (kaum Hums) biasa tinggal di Al-Muzdalifah dan punya kebiasaan bertolak dari sana (ke Mina) dan sehingga mereka disuruh ke Arafah (atas perintah Allah). "
Apa yang nabi katakan pada intinya adalah: "Hei ... kaum Quraisy, haji adalah Arafah dan bukan Muzdalifah". Dengan mereduksi hadith-hadith yang berkaitan dengan peristiwa ini menjadi: "haji adalah Arafah" + secara implisit mengatakan "Arafah adalah tanggal 9 Dzulhijjah", maka arti hadith-hadith ini berubah sama sekali. Jadi, argumen ini bukan argumen yang jujur. Konteks hadith yang sebenarnya mengenai lokasi ritual (Arafah vs. Muzdalifah) menjadi hari pelaksanaan haji.
13. CATATAN AKHIR
Saya mengamati perkembangan lokasi ibadah haji/umroh) jembatan jumroh, lokasi tawaf, lokasi Sa'i serta Mina selama 20 tahun terakhir ini. Tempat-tempat ini terus berkembang sejalan denga jumlah jemaah yang terus meningkat dari tahun ke tahun sebagai akibat makin banyaknya orang-orang yang datang memenuhi panggilan Allah. Saya tidak tahu seberapa jauh tempat ini bisa tumbuh terus. Saat ini, sebagai akibat ketidak mampuan lokasi ibadah haji dan sistem penunjangnya untuk menampung jemaah haji, maka diberlakukan pembatasan melalui quota jumlah jemaah untuk setiap negara. Saat ini fokus pelaksanaan haji hanya terbatas pada umat muslim. Sedangkan menurut Quran, kewajiban haji adalah bagi umat manusia, seperti dijelaskan pada ayat ke 97 surah Ali Imran:
[Q 3:96] Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.
[Q 3:97] Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Sulit membayangkan bagaimana berdesak-desakannya manusia di Mina, di Arafah, di Masjidil Haram, umat manusia memebuhi panggilan Allah dan jadwal pelaksanaan haji masih 3 hari seperti yang sekarang ini. Apakah Allah lupa memperhitungkan hal ini? Subhanallah......, maha agung Allah yang sama sekali tidak memiliki sifat yang demikian. Hanya manusialah yang belum diberi petunjuk mengenai kehendak Allah yang sebenarnya. Dan Allah hanya akan memberi petunjuk orang yang dikehendakinya. Orang yang membukakan hati dan akalnya.
Terlepas dari desakan akan kebutuhan ruang untuk ibadah haji, bukan tujuan dari essai ini untuk menemukan solusi alternatifnya. Seperti yang disebutkan dalam bab Kata Pengantar dan Pendahuluan, pemikiran di essai ini dimaksudkan untuk mencari kebenaran tentang periode untuk melakukan haji. Namun, jika pemikiran ini benar dan syah, maka implikasinya akan membantu memberikan solusi alternatif untuk masalah meningkat jumlah jemaah haji setiap tahun.
Tiga point pertama yang disebutkan di dalam bab Kesimpulan (bagian 10) merupakan ringkasan dalil-dalil yang cukup jelas mengenai 4-bulan masa berhaji yang diambil dari al-Qur'an yang menjadi landasan utama bagi fiqih. Saya tidak tahu bagaimana ketiga point itu bisa terlewatkan oleh ulama-ulama. Allah yang tahu.
Pembaca yang budiman..., meskipun konsep pemikiran (pandangan) mengenai masa 4-bulan untuk berhaji ini memiliki dasar yang sangat kuat, yaitu Quran, namun demi kehati-hatian, saya dengan sungguh-sungguh menyarankan kepada anda untuk mencoba mematahkan pandangan masa 4-bulan untuk berhaji ini dengan cara:
1. pembatalan dalil 4-bulan masa berhaji dengan cara:
a) menunjukkan adanya kesalahan dalam penterjemahan dari ayat-ayat al-Quran yang digunakan sebagai landasan dalil 4-bulan masa berhaji.
b) Menunjukkan ada sebuah ayat al-Quran yang bertentangan dengan dalil 4 bulan masa berhaji.
c) menunjukkan adanya sebuah hadith yang sahih bahwa nabi Muhammad (s.a.w.) secara eksplisit mengatakan bahwa hari Arafah harus pada tanggal 10 Dzulhijjah
d) dll.
2. mengajukan sebuah teori lainnya mengenai masa haji (selain dari 4-bulan masa berhaji) yang didukung oleh landasan yang kuat dari al-Quran.
Jika anda berpikir bahwa pandangan tentang masa 4-bulan untuk berhaji ini adalah benar dan mempunyai banyak manfaat bagi ummat Islam, saya akan sangat berterima kasih jika anda bisa ikut menyebarkannya dengan mengirimkan kepada seseorang yang berpengetahuan tentang Quran dan Islam. Saya ingin mendengar komentar mereka. Saya sangat mengharapkan juga pandangan dan argumen dari sudut yang bersebrangan. Saya ingin melihat apakah dalil mengenai 4-bulan masa berhaji ini mampu menahan kritik. Insya Allah saya akan senang untuk menjawab setiap kritik, komentar dan pertanyaan yang dikirim ke alamat email: haji_4_bulan@yahoo.com.
Akhirnya, mari kita berdoa: jika dalil 4-bulan masa berhaji ini benar, semoga Allah membantu agar konsep ini cepat tersebar-luas. Namun, jika ternyata sebaliknya, semoga Allah menghentikan penyebarannya dan membantu membuang dari ingatan kita semua dan kita bisa melupakan dengan mudah, serta mengampuni kesalahan kita semua.
Artikel ini sudah dikirimkan ke beberapa organisasi Islam dan kami akan menyebarkan ke organisasi Islam lainnya di dalam dan luar negri. Kami memiliki versi bahasa Inggris dari artikel ini dan insya Allah versi bahasa Arabnya akan kami buat.
Salaam