Gejolak 2014 – 2020: Sepuluh Potensi Pemicu Krisis (IV)
Dua minggu
lalu kita mulai suatu topik yang berjudul Sepuluh
Potensi Pemicu Krisis dalam kerangka Gejolak 2014 – 2020. Topik yang sama
juga dimaksudkan sebagai ramalan untuk tahun Kambing 4713. Poin-poin 10 potensi
pemicu krisis yang akan menjalar ke full-blown
2014 – 2020 crisis (sengaja saya gunakan bahasa Inggris sebab saya
mengalami kesulitan mengekspressikannya dalam bahasa Indonesia) yaitu:
- Bubble hutang dan bubble properti Cina meletus
- Penghembusan bubble US dollar
- Jerman mengalami resesi dan krisis disusul zone Euro
- Zone Euro pecah, Yunani keluar dari zone Euro diikuti oleh Spanyol, Portugal, Itali
- Dot Com jilid II
- Indeks Dow Jones secara teknikal terkoreksi dan dipersepsikan sebagai koreksi tajam.
- Kejatuhan harga bahan komoditi tambang dan minyak berlanjut dampaknya ke emerging market dan negara-negara OPEC
- FFF bubble meletus, junk bond bubble meletus
- Cuaca buruk, gagal panen dan krisis pangan (melonjaknya harga bahan pangan)
- Ekspor terorisme ke nagara barat (2000)
Untuk minggu
ini, akan dibahas lanjutan dari minggu lalu, yaitu Jerman mengalami resesi dan
Zone Euro pecah. Keduanya sebenarnya saling kait-mengait. Tetapi sebelum
melanjutkan ke topik tersebut, kita akan melihat perkembangan dunia dalam
kaitannya ramalan 10 pemicu krisis.
Sebelum
melanjutkan ke poin 3 dan 4, ada beberapa perkembangan mengenai poin ke 9
sebagai pemicu krisis, yaitu cuaca buruk, gagal panen dan krisis pangan. Mungkin
pembaca membelalakkan mata melihat cuaca buruk dan gagal panen dijadikan pemicu
krisi no.9. Bagi pembaca yang tinggal di Jakarta entah mengamati atau tidak,
tetapi sungai-sungai di Jakarta masih tinggi level airnya. Sunter kadang-kadang
banjir. Bahkan ketika artikel ini sedang ditulis, di Metro TV, disiarkan bahwa
ada 2 rumah di Banjarnegara, hanyut oleh banjir dan juga Bandung Selatan. Dari internet bisa dilihat sejak Februari
lalu, beberapa tempat yang terkena banjir seperti Ngawi, Sumbawa, beberapa
tempat di Jakarta, pantai utara Jawa (Pantura),......dan banyak lagi. Silahkan
mencarinya di internet. Tetapi yang pasti, musim hujan belum selesai. Dan cuaca
buruk seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi sifatnya global. Global warming? Bukan....., melainkan global cooling. Bulan Maret lalu, yang
seharusnya sudah musim semi, tetapi di Itali, di US, New York masih turun
salju. Bahkan minggu depan diramalkan akan ada badai salju di US. Pada saat harapan kita melihat bunga-bunga berkembang di bulan April, eee.. malah salju yang turun. Apakah ini global cooling
bukan?
Lalu, dalam
kaitannya dengan bubble US dollar, tanggal 11 April ini, US dollar indeks kembali
akan menguji level 100, setelah terkoreksi sampai ke level 96.
Itu berita
terkini dari potensi pemicu krisis yang patut dimonitor sepanjang setengah
dekade ini.
Jerman Mengalami Resesi Dan Krisis Disusul Zone Euro
Negara yang
menjadi tiang penyangga zone Euro adalah Jerman, dalam arti diantara
anggota-anggota zone Euro, Jerman adalah negara yang ekonominya paling besar
(disusul Prancis). Sehingga kalau terjadi segala sesuatu yang buruk pada
Jerman, maka dampaknya akan mengenai zone Euro lainnya. Dari tren pertumbuhan
GDP Jerman, terlihat bahwa Euro sedang mengalami ancaman resesi. Sejak dari
tahun 2011 GDP Jerman mengalami tren turun dari sedikit di atas 2% ke sekarang
di antara nol dan satu. Kita bisa mengatakan bahwa penurunan dari 2% ke 0.5%
secara nominal, kecil saja besarannya. Tetapi kalau dilihat dari tolok ukur
lain, 2% adalah 4 kali 0.5%. Jadi cukup besar.
EOWI
menempatkan Jerman sebagai pemicu krisis 2014 – 2020 no. 3 karena pertumbuhan
GDP Jerman yang loyo dan penggerak pertumbuhan GDP Jerman, yaitu demografi,
saat ini mengalami penuaan serta lemahnya pengganti generasi baby boomer Jerman yang memasuki masa
pensiun. Dengan kata lain, konsumsi di Jerman akan menurun karena penuaan
populasinya dan ini akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Jerman.
Selanjutnya akan menjalar ke zone Euro.
Memang ECB
(sentral bank Eropa) berusaha memompa ekonomi dengan QE (quantitative easing) yang aggressive. Ketika pertumbuhan ekonomi
Jerman negatif pada kwartal II 2012, likwiditas dipompakan dengan membeli
bond-bond pemerintah, sehingga ekonomi bisa rebound dan kembali di atas 0%. Harga
bond naik dan yield bond dengan jangka jatuh tempo yang lama menjadi negatif.
Bond pemerintah Jerman yang jatuh tempo 6 tahun, misalnya, mempunyai yield yang
negatif. ZIRP atau Zero Interest Rate Policy sudah berubah menjadi Negative Interest Rate Policy (NIRP).
Memang
pertumbuhan ekonomi bisa dipertahankan tidak mengalami kontraksi lebih dari 2
kwartal dengan usaha yang demikian aggressif. Investor pengejar bunga (penabung
dan pensiunan), dihajar habis-habisan dengan diberi bunga yang negatif, dan
berharap kecenderungan menabung mereka ini ditekan sehingga mau meningkatkan
konsumsi. Tetapi mereka ini tidak bisa distimulasi untuk berbelanja padahal
kredit murah juga disediakan. Hal ini nampak pada inflasi yang terjaga rendah.
Turun dari sekitar 2.5% di tahun 2011 ke sekitar nol di tahun 2014 – 2015. Ini
disebut deflasi. Mungkin orang akan lebih suka menyimpan uangnya di bawah kasur
ketika dengan suku bunga negatif dipaksa berbelanja. Inilah deflasi.
Zone Euro Pecah, Yunani Keluar Dari Zone Euro Diikuti Yang Lain
Antara zone
Euro pecah dan Jerman mengalami resesi adalah konsekwensi yang berurutan.
Ketika Jerman mengalami kesulitan ekonomi, maka Yunani akan terkena dampaknya.
Tidak ada resesi di Jerman saja, Yunani mengalami kesulitan untuk membayar
hutang-hutangnya, apalagi kalau Jerman jatuh dan pada posisi tidak bisa
membantu. Jerman yang ekonominya mengandalkan ekspor, memerlukan anggota-anggota
Euro pinggiran, seperti Yunani, Spanyol sebagai saluran ekspor barang-barang
produksinya. Jadi wajar kalau Jerman mau membantu kesulitan negara-negara Euro
pinggiran itu, karena ada pamrih.
Tetapi perdagangan
yang tidak berimbang, dalam hal ini neraca Jerman selalu surplus sedangkan
negara-negara zone Euro selatan selalu defisit, tidak bisa berlangsung terus
dan suatu saat secara alami akan ada koreksi. Untuk sistem moneter yang
didasari emas, neraca perdagangan yang timpang tidak bisa berlangsung lama,
karena ketika emas harus berpindah tangan. Jerman menerima emas sedangkan
negara zone Euro selatan menerima barang dari Jerman. Dalam kerangka sistem
uang fiat berbasis hutang, ketimpangan neraca perdagangan seperti yang
disebutkan di atas bisa berlangsung lama sekali. Dan inilah yang terjadi.
Tetapi, yang disebut lama juga ada batasnya. Apakah sekarang ini sudah dekat
dengan perbatasan itu? Ini adalah pertanyaan 323 milyar euro.
Dalam hal
memberi bantuan, Jerman juga akan mempertimbangkan apakah bantuannya akan
berguna bagi dirinya sendiri, dengan kata lain, apakah eknomoni Jerman bisa
dipertahankan tidak mengalami kontraksi. Kalau ekonomi Jerman tidak bisa
tumbuh, apa lagi yang mau diharapkan Jerman. Artinya bantuan Jerman sia-sia,
pamrihnya tidak terbalas. Apalagi kalau bantuannya tersebut beresiko tidak bisa
dibayar kembali.
Euro adalah
eksperimen yang kemungkinan gagal dan tidak berumur panjang. Satu mata uang
tanpa sistem fiskal yang terintegrasi. Sekarang sudah berumur 16 tahun. Saat
ini pemerintah Yunani harus menyediakan sekitar €11 milyar antara akhir Maret
2015 sampai dengan Agustus 2015. Yaitu € 4.3 milyar di bulan Maret ini, € 3.5
milyar di bulan Juli dan € 3.2 milyar di bulan Agustus. Problemnya adalah
pemerintah Yunani tidak punya uang. Pemerintah
Yunani sepanjang ingatan EOWI selalu mengalami defisit di dalam budgetnya.
Artinya pemerimaan pemerintah selalu lebih kecil dari pada belanjanya. Perolehan
pajaknya sepanjang ingatan EOWI tidak pernah bisa membayar pegawai pemerintah,
melakukan perawatan infrastruktur, program-program sosial dan
kewajiban-kewajiban yang dijanjikan pemerintah lainnya.
Akibat dari
budget defisit yang berkepanjangan ini, hutang pemerintah Yunani semakin
bertumpuk. Apakah Yunani bisa membayar kewajiban-kewajibannya? Menurut opini
EOWI adalah “TIDAK”.
Alasan
kenapa pemerintah Yunani tidak pernah bisa membayar hutangnya adalah bahwa
Yunani adalah negara defisit. Secara keseluruhan dan sepanjang ingatan EOWI,
Yunani hidup dari hutang, lebih besar pasak dari pada tiang, kebih besar
pengeluaran dari pada penghasilan. Neraca perdagangan Yunani selalu mengalami
defisit artinya, lebih banyak yang dibeli (untuk dikonsumsi) dari pada yang
dijual.
Pada
akhirnya pemerintah Yunani harus berhenti berhutang, mengemplang hutang
(dan/atau menegosiasikan hutangnya kembali dengan krediturnya yang mayoritas,
60% lebih, adalah bank sentral Eropa), mengurangi (tidak menepati)
program-program sosialnya supaya bisa menyeimbangkan budget negaranya. Dan ini
bisa dilakukan jika Yunani keluar dari zone Euro dan memperoleh kemerdekaannya kembali. Yaitu,
meninggalkan mata uang Euro, membuat mata uang baru – drachma – misalnya,
mengkonversi hutang-hutangnya (yang dalam Euro) kemudian melakukan debasing (men-jeblokkan) mata uang
drachma barunya. Yunani merdeka kembali, bebas dari beban hutangnya yang
beratnya 175% dari GDPnya dengan mencetak drachma-drachma baru. Gampang saja
‘kan?.
Kalau Yunani
bisa membebaskan dirinya dari hutang besarnya 175% dari GDP, maka Itali,
Portugal dan Spanyol yang juga punya beban hutang yang tidak kalah beratnya,
yaitu masing-masing 133%, 127.8%, 93.7% dari GDPnya (angka tahun 2014). Seperti
Spanyol, walaupun hutangnya hanya 93.7% dari GDPnya, tetapi hutang ini melonjak
tajam sejak 5 tahun lalu. Spanyol akan dengan senang hati kalau bisa
menghancurkan hutangnya lewat inflasi dari pada harus terbelit dan terbebani
hutang terus.
Jika zone
Euro pecah akan menjalar kemana-mana akibatnya, karena akan ada
pergeseran-pergeseran di bidang moneter. EOWI menempatkan pecahnya zone Euro
pada faktor no. 4 karena ada kemungkinan hal ini tidak terjadi di tahun ini.
Euro adalah suatu eksperimen, seperti negative
interest rate (NIRP). Saat ini sudah ada beberapa negara yang mengalami
NIRP, yaitu Jerman, Switzerlad, Denmark. Sampai saat ini masih ada penjelasan
logis kenapa NIRP terjadi di neraga-negara ini. Yaitu penabung/investor nerasa
bahwa assetnya terjamin tidak hilang atau turun jika berwujud bond pemerintah
Jerman atau Swiss (serta Denmark). Bisa saja bank sentral Eropa nantinya
memanipulasi suku bunga sedemikian rupa sehingga hal yang sama terjadi untuk
Yunani, Itali dan Spanyol. Artinya, Yunani akan memperoleh perpanjangan nafas
lagi. Apakah NIRP ini juga akan menular ke Yunani, atau Yunani sudah berantakan
sebelum tertular virus NIRP? Entahlah........
Okey, sekian
dulu......, sampai nanti.
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.