___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Thursday, April 16, 2015

Ramalan Untuk Tahun Kambing 4713 (IV)



Gejolak 2014 – 2020: Sepuluh Potensi Pemicu Krisis  (IV)

Dua minggu lalu kita mulai suatu topik yang berjudul Sepuluh Potensi Pemicu Krisis dalam kerangka Gejolak 2014 – 2020. Topik yang sama juga dimaksudkan sebagai ramalan untuk tahun Kambing 4713. Poin-poin 10 potensi pemicu krisis yang akan menjalar ke full-blown 2014 – 2020 crisis (sengaja saya gunakan bahasa Inggris sebab saya mengalami kesulitan mengekspressikannya dalam bahasa Indonesia) yaitu:
  1. Bubble hutang dan bubble properti Cina meletus
  2. Penghembusan bubble US dollar
  3. Jerman mengalami resesi dan krisis disusul zone Euro
  4. Zone Euro pecah, Yunani keluar dari zone Euro diikuti oleh Spanyol, Portugal, Itali
  5. Dot Com jilid II
  6. Indeks Dow Jones secara teknikal terkoreksi dan dipersepsikan sebagai koreksi tajam.
  7. Kejatuhan harga bahan komoditi tambang dan minyak berlanjut dampaknya ke emerging market dan negara-negara OPEC
  8. FFF bubble meletus, junk bond bubble meletus
  9. Cuaca buruk, gagal panen dan krisis pangan (melonjaknya harga bahan pangan)
  10. Ekspor terorisme ke nagara barat (2000)
Untuk minggu ini, akan dibahas lanjutan dari minggu lalu, yaitu Jerman mengalami resesi dan Zone Euro pecah. Keduanya sebenarnya saling kait-mengait. Tetapi sebelum melanjutkan ke topik tersebut, kita akan melihat perkembangan dunia dalam kaitannya  ramalan 10 pemicu krisis.
Sebelum melanjutkan ke poin 3 dan 4, ada beberapa perkembangan mengenai poin ke 9 sebagai pemicu krisis, yaitu cuaca buruk, gagal panen dan krisis pangan. Mungkin pembaca membelalakkan mata melihat cuaca buruk dan gagal panen dijadikan pemicu krisi no.9. Bagi pembaca yang tinggal di Jakarta entah mengamati atau tidak, tetapi sungai-sungai di Jakarta masih tinggi level airnya. Sunter kadang-kadang banjir. Bahkan ketika artikel ini sedang ditulis, di Metro TV, disiarkan bahwa ada 2 rumah di Banjarnegara, hanyut oleh banjir dan juga Bandung Selatan.  Dari internet bisa dilihat sejak Februari lalu, beberapa tempat yang terkena banjir seperti Ngawi, Sumbawa, beberapa tempat di Jakarta, pantai utara Jawa (Pantura),......dan banyak lagi. Silahkan mencarinya di internet. Tetapi yang pasti, musim hujan belum selesai. Dan cuaca buruk seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi sifatnya global. Global warming? Bukan....., melainkan global cooling. Bulan Maret lalu, yang seharusnya sudah musim semi, tetapi di Itali, di US, New York masih turun salju. Bahkan minggu depan diramalkan akan ada badai salju di US. Pada saat harapan kita melihat bunga-bunga berkembang di bulan April, eee.. malah salju yang turun. Apakah ini global cooling bukan? 
Lalu, dalam kaitannya dengan bubble US dollar, tanggal 11 April ini, US dollar indeks kembali akan menguji level 100, setelah terkoreksi sampai ke level 96.
Itu berita terkini dari potensi pemicu krisis yang patut dimonitor sepanjang setengah dekade ini.

Jerman Mengalami Resesi Dan Krisis Disusul Zone Euro

Negara yang menjadi tiang penyangga zone Euro adalah Jerman, dalam arti diantara anggota-anggota zone Euro, Jerman adalah negara yang ekonominya paling besar (disusul Prancis). Sehingga kalau terjadi segala sesuatu yang buruk pada Jerman, maka dampaknya akan mengenai zone Euro lainnya. Dari tren pertumbuhan GDP Jerman, terlihat bahwa Euro sedang mengalami ancaman resesi. Sejak dari tahun 2011 GDP Jerman mengalami tren turun dari sedikit di atas 2% ke sekarang di antara nol dan satu. Kita bisa mengatakan bahwa penurunan dari 2% ke 0.5% secara nominal, kecil saja besarannya. Tetapi kalau dilihat dari tolok ukur lain, 2% adalah 4 kali 0.5%. Jadi cukup besar.


EOWI menempatkan Jerman sebagai pemicu krisis 2014 – 2020 no. 3 karena pertumbuhan GDP Jerman yang loyo dan penggerak pertumbuhan GDP Jerman, yaitu demografi, saat ini mengalami penuaan serta lemahnya pengganti generasi baby boomer Jerman yang memasuki masa pensiun. Dengan kata lain, konsumsi di Jerman akan menurun karena penuaan populasinya dan ini akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Jerman. Selanjutnya akan menjalar ke zone Euro.
Memang ECB (sentral bank Eropa) berusaha memompa ekonomi dengan QE (quantitative easing) yang aggressive. Ketika pertumbuhan ekonomi Jerman negatif pada kwartal II 2012, likwiditas dipompakan dengan membeli bond-bond pemerintah, sehingga ekonomi bisa rebound dan kembali di atas 0%. Harga bond naik dan yield bond dengan jangka jatuh tempo yang lama menjadi negatif. Bond pemerintah Jerman yang jatuh tempo 6 tahun, misalnya, mempunyai yield yang negatif. ZIRP atau  Zero Interest Rate Policy sudah berubah menjadi Negative Interest Rate Policy (NIRP). 


Memang pertumbuhan ekonomi bisa dipertahankan tidak mengalami kontraksi lebih dari 2 kwartal dengan usaha yang demikian aggressif. Investor pengejar bunga (penabung dan pensiunan), dihajar habis-habisan dengan diberi bunga yang negatif, dan berharap kecenderungan menabung mereka ini ditekan sehingga mau meningkatkan konsumsi. Tetapi mereka ini tidak bisa distimulasi untuk berbelanja padahal kredit murah juga disediakan. Hal ini nampak pada inflasi yang terjaga rendah. Turun dari sekitar 2.5% di tahun 2011 ke sekitar nol di tahun 2014 – 2015. Ini disebut deflasi. Mungkin orang akan lebih suka menyimpan uangnya di bawah kasur ketika dengan suku bunga negatif dipaksa berbelanja. Inilah deflasi.



Zone Euro Pecah, Yunani Keluar Dari Zone Euro Diikuti Yang Lain

Antara zone Euro pecah dan Jerman mengalami resesi adalah konsekwensi yang berurutan. Ketika Jerman mengalami kesulitan ekonomi, maka Yunani akan terkena dampaknya. Tidak ada resesi di Jerman saja, Yunani mengalami kesulitan untuk membayar hutang-hutangnya, apalagi kalau Jerman jatuh dan pada posisi tidak bisa membantu. Jerman yang ekonominya mengandalkan ekspor, memerlukan anggota-anggota Euro pinggiran, seperti Yunani, Spanyol sebagai saluran ekspor barang-barang produksinya. Jadi wajar kalau Jerman mau membantu kesulitan negara-negara Euro pinggiran itu, karena ada pamrih.
Tetapi perdagangan yang tidak berimbang, dalam hal ini neraca Jerman selalu surplus sedangkan negara-negara zone Euro selatan selalu defisit, tidak bisa berlangsung terus dan suatu saat secara alami akan ada koreksi. Untuk sistem moneter yang didasari emas, neraca perdagangan yang timpang tidak bisa berlangsung lama, karena ketika emas harus berpindah tangan. Jerman menerima emas sedangkan negara zone Euro selatan menerima barang dari Jerman. Dalam kerangka sistem uang fiat berbasis hutang, ketimpangan neraca perdagangan seperti yang disebutkan di atas bisa berlangsung lama sekali. Dan inilah yang terjadi. Tetapi, yang disebut lama juga ada batasnya. Apakah sekarang ini sudah dekat dengan perbatasan itu? Ini adalah pertanyaan 323 milyar euro.
Dalam hal memberi bantuan, Jerman juga akan mempertimbangkan apakah bantuannya akan berguna bagi dirinya sendiri, dengan kata lain, apakah eknomoni Jerman bisa dipertahankan tidak mengalami kontraksi. Kalau ekonomi Jerman tidak bisa tumbuh, apa lagi yang mau diharapkan Jerman. Artinya bantuan Jerman sia-sia, pamrihnya tidak terbalas. Apalagi kalau bantuannya tersebut beresiko tidak bisa dibayar kembali.
Euro adalah eksperimen yang kemungkinan gagal dan tidak berumur panjang. Satu mata uang tanpa sistem fiskal yang terintegrasi. Sekarang sudah berumur 16 tahun. Saat ini pemerintah Yunani harus menyediakan sekitar €11 milyar antara akhir Maret 2015 sampai dengan Agustus 2015. Yaitu € 4.3 milyar di bulan Maret ini, € 3.5 milyar di bulan Juli dan € 3.2 milyar di bulan Agustus. Problemnya adalah pemerintah Yunani tidak punya uang.  Pemerintah Yunani sepanjang ingatan EOWI selalu mengalami defisit di dalam budgetnya. Artinya pemerimaan pemerintah selalu lebih kecil dari pada belanjanya. Perolehan pajaknya sepanjang ingatan EOWI tidak pernah bisa membayar pegawai pemerintah, melakukan perawatan infrastruktur, program-program sosial dan kewajiban-kewajiban yang dijanjikan pemerintah lainnya.


Akibat dari budget defisit yang berkepanjangan ini, hutang pemerintah Yunani semakin bertumpuk. Apakah Yunani bisa membayar kewajiban-kewajibannya? Menurut opini EOWI adalah “TIDAK”.


Alasan kenapa pemerintah Yunani tidak pernah bisa membayar hutangnya adalah bahwa Yunani adalah negara defisit. Secara keseluruhan dan sepanjang ingatan EOWI, Yunani hidup dari hutang, lebih besar pasak dari pada tiang, kebih besar pengeluaran dari pada penghasilan. Neraca perdagangan Yunani selalu mengalami defisit artinya, lebih banyak yang dibeli (untuk dikonsumsi) dari pada yang dijual.


Pada akhirnya pemerintah Yunani harus berhenti berhutang, mengemplang hutang (dan/atau menegosiasikan hutangnya kembali dengan krediturnya yang mayoritas, 60% lebih, adalah bank sentral Eropa), mengurangi (tidak menepati) program-program sosialnya supaya bisa menyeimbangkan budget negaranya. Dan ini bisa dilakukan jika Yunani keluar dari zone Euro dan memperoleh kemerdekaannya kembali. Yaitu, meninggalkan mata uang Euro, membuat mata uang baru – drachma – misalnya, mengkonversi hutang-hutangnya (yang dalam Euro) kemudian melakukan debasing (men-jeblokkan) mata uang drachma barunya. Yunani merdeka kembali, bebas dari beban hutangnya yang beratnya 175% dari GDPnya dengan mencetak drachma-drachma baru. Gampang saja ‘kan?.
Kalau Yunani bisa membebaskan dirinya dari hutang besarnya 175% dari GDP, maka Itali, Portugal dan Spanyol yang juga punya beban hutang yang tidak kalah beratnya, yaitu masing-masing 133%, 127.8%, 93.7% dari GDPnya (angka tahun 2014). Seperti Spanyol, walaupun hutangnya hanya 93.7% dari GDPnya, tetapi hutang ini melonjak tajam sejak 5 tahun lalu. Spanyol akan dengan senang hati kalau bisa menghancurkan hutangnya lewat inflasi dari pada harus terbelit dan terbebani hutang terus.


Jika zone Euro pecah akan menjalar kemana-mana akibatnya, karena akan ada pergeseran-pergeseran di bidang moneter. EOWI menempatkan pecahnya zone Euro pada faktor no. 4 karena ada kemungkinan hal ini tidak terjadi di tahun ini. Euro adalah suatu eksperimen, seperti negative interest rate (NIRP). Saat ini sudah ada beberapa negara yang mengalami NIRP, yaitu Jerman, Switzerlad, Denmark. Sampai saat ini masih ada penjelasan logis kenapa NIRP terjadi di neraga-negara ini. Yaitu penabung/investor nerasa bahwa assetnya terjamin tidak hilang atau turun jika berwujud bond pemerintah Jerman atau Swiss (serta Denmark). Bisa saja bank sentral Eropa nantinya memanipulasi suku bunga sedemikian rupa sehingga hal yang sama terjadi untuk Yunani, Itali dan Spanyol. Artinya, Yunani akan memperoleh perpanjangan nafas lagi. Apakah NIRP ini juga akan menular ke Yunani, atau Yunani sudah berantakan sebelum tertular virus NIRP? Entahlah........
Okey, sekian dulu......, sampai nanti.
 


Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.

Friday, April 3, 2015

NKRI: Negara (yang) Kemanusiaan Resmi di-Injak



Saya tidak bermaksud memplesetkan kata NKRI menjadi Negara (yang) Kemanusiaan Resmi diInjak-injak, diIngkari, tetapi hal ini adalah suatu keniscayaan yang resmi sejak tahun 2001. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum itu tidak pemerintah tidak melakukan hal-hal yang tidak berprikemanusiaan terhadap rakyatnya. Tetapi secara undang-undang dasar (konstitusi) hal tersebut tidak disebutkan secara gamblang. Hanya saja, sejak tahun 2001, pemaksaan dan penindasan menjadi resmi dan legal. Dan hal itu, maksudnya penindasan dan pemaksaan, menjadi semakin meningkat sejak tahun 2001.
Pada tahun 2001, konstitusi RI diubah untuk ketiga kalinya (bahasa kerennya amendemen ke tiga) dan salah satu pasal yang diubah adalah pasal 23, yang ditambahi dengan pasal 23A. Sekarang pasal tersebut mengandung kalimat yang berbunyi: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Tahun 2001 secara resmi pemerintah boleh memaksa-maksa rakyatnya untuk menyerahkan uang, harta miliknya (rakyat).
Sebelumnya, apakah itu dijaman Orde Lama atau Orde Baru, segala tindakan repressi dan pemaksaan yang tidak berprikemanusiaan tidak ada yang resmi secara konstitusi. Hal itu ada dan masih dibungkus dengan undang-undang (yang derajadnya di bawah konstitusi) dan narasinya secara verbal tidak vulgar. Akan tetapi jangan dikira bahwa halus dan tidak vulgar berarti lemah, tetapi bak karet yang bisa ditarik panjang sekali, seperti pasal pencemaran nama baik, pasal keamanan negara atau undang-undang anti subversi. Dan waktu itu belum ada yang dituangkan di dalam konstitusi (undang-undang dasar).
Sekarang, pemerintah punya dasar hukum yang (dianggap) paling tinggi yaitu konstitusi. Repressi, pemaksaan diperbolehkan dalam kaitannya dengan pajak dan pungutan-pungutan yang ditetapkan oleh undang-undang dan peraturan. Tentunya pemerintah tidak salah kalau mereka membuat peraturan yang banyak untuk memaksa rakyat untuk menyerahkan uangnya. Itu legal. Apakah masuk diakalnya orang waras dan masih berprikemanusiaan?
Untuk pertanyaan: Apakah masuk diakalnya orang waras dan masih berprikemanusiaan?,  EOWI tidak akan menjawabnya. Cukup pembaca sendiri yang merenungkannya.

Pajak bukan Jual Beli

Latar belakan penyitiran pasal 23A UUD-45 Amendemen di atas karena kita akan membicarakan masalah pajak dan sejenisnya dalam kaitannya dengan kata “paksa” di kalimat pasal 23A tersebut. EOWI punya sebuah kata-kata mutiara, humor sadonik mengenai pajak, yaitu sbb:
Tuhannya orang Islam memberi 5 perintah (5 rukun Islam) dan 1 buku panduan hidup yang berisi 144 pasal (surah) sebagai balasannya setiap muslim dibebani pajak penghasilan 2.5% (zakat).
Tuhannya orang Kristen dan Yahudi memberi 10 perintah dan larangan kepada umatnya dan 66 buku dengan 1189 pasal , karenanya mereka dikenakan pajak 10% dari penghasilan mereka. (Catatan: Bible adalah kumpulan 66 buku dari kitab Kejadian sampai ke kitab Wahyu. Dan Bible adalah punya akar kata yang sama dengan bibliography dan bibliothek, yaitu biblia).
NKRI memberi 100 ribu aturan dan larangan dan buku undang-undang sebanyak satu perpustakaan penuh dengan jutaan pasal, oleh karenanya NKRI menuntut pajak penghasilan 30%, PPN 10%, pajak meterai, pajak kendaraan, pajak barang mewah, PBB,......dan karena masih kurang lagi maka pajak jalan tol dan lainnya akan ditambahkan dikemudian hari.
Jadi ada kaitannya antara banyaknya aturan dan besarnya uang yang diminta. Saya suka Islam karena pajaknya kecil, hanya 2.5% dan aturannya sedikit. Ditambah lagi...., saya tidak perlu mengisi formulir pajak yang rumit, melaporkan kekayaan saya kepada Tuhan, punya kartu identitas. Itu enaknya menjadi orang Islam (warga Tuhannya orang Islam) dari pada menjadi warga negara Indonesia. Tuhan tidak perlu biaya untuk memutar roda kehidupan, sedangkan NKRI perlu uang dari rakyatnya untuk menjalankan negara.
Orang berpikir bahwa membayar pajak kepada pemerintah adalah bayaran/imbalan atas jasa yang diberikan pemerintah kepada rakyatnya. Seperti jual-beli. Tentu saja pendapat itu salah. Karena jika hal tersebut adalah jual-beli, maka berdasarkan Islam (Quran) harus ada unsur keridhaan (sama-sama senang dan tidak ada paksaan) karena pertukaran jasa dengan harta (uang) tersebut bersifat proporsional.
“kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka (saling ridho) di antara kalian” (QS. An Nisa’: 29).
Untuk pajak, sifatnya lebih menekan pada rakyat dan imbalan tersebut tidak proporsional. Selanjutnya bagi yang ingin mengetahui definisi mengenai pajak, bisa dilihat di Wikipedia.
Karena salah satu persyaratan pajak adalah sifatnya memaksa maka unsur kemanusiaan akan diinjak-injak dan unsur kewarasan menjadi hilang. Kita akan lihat dari beberapa contoh yang sudah dilakukan dan akan dilakukan oleh pemerintah.

1.      Meterai Untuk Pembelian Cabe 3 kg

Kasus meterai untuk pembelian cabe 3 kg masih digodog di DPR dan belum diimplementasikan. Mungkin tahun depan atau sesudahnya bisa diterapkan di masyarakat. Dan akibatnya mbok-mbok penjual cabe harus punya meterai. Berikut ini adalah beritanya.
Minggu lalu ada berita yang menarik mengenai perpajakan. Bunyinya seperti ini (link): 
Dirjen Pajak Kemenkeu Sigit Priadi Pramudito mengungkapkan, optimalisasi bea materai itu dilakukan dengan menerapkan tarif baru yang naik lebih dari 100 persen pada Juni nanti.
"Tarif bea materai yang saat ini sebesar Rp 3.000 dan Rp 6.000, akan dinaikkan menjadi Rp 10.000 dan Rp 18.000," sebut Sigit saat ditemui di kantor Kemenkeu, Jakarta,  kemarin.
Sigit menyebutkan, proses pembahasan terkait hal tersebut sudah hampir rampung. "Targetnya (pembahasan bea materai) bulan Juni selesai. Jadi pengenaan bea materai akan terlaksana tahun ini," ujarnya.
Sigit melanjutkan, untuk menaikkan tarif materai diperlukan revisi Undang Undang Bea Materai. Terkait hal tersebut, pihaknya mengaku telah memasukkan revisi UU Bea Materai dalam penyusunan prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015.
"Sudah masuk prolegnas dan DPR berjanji bahwa Prolegnas (terkait) Bea Materia itu akan didahulukan,"lanjutnya.
Selain itu, Sigit menuturkan, nantinya transaksi untuk ritel juga akan dikenakan tarif Bea Materai. Ditjen Pajak akan mengawasi pengusaha ritel yang belum memungut bea meterai dalam transaksi perdagangan yang dilakukan.
Dalam UU Bea Materai, transaksi belanja di atas Rp 250 ribu dipungut bea meterai sebesar Rp 3.000, di atas Rp 1 juta dikenakan bea materai Rp 6.000.
Dalam UU Bea Materai, transaksi belanja di atas Rp 250 ribu dipungut bea meterai sebesar Rp 3.000, di atas Rp 1 juta dikenakan bea materai Rp 6.000.
Jadi, jika pembantu anda berbelanja cabe 3 kilo yang kadang-kadang harganya mencapai Rp 100 ribu/kg, atau bawang akhir-akhir ini mencapai Rp 100 ribu/kg atau beras 20kg (harganya Rp 15 ribu/kg) pembantu anda akan dikenai meterai Rp 3000!!! Dan kalau bea meterai Rp 3000 sudah dinakkan menjadi Rp 10,000 maka beli cabe 3 kg akan kena meterai Rp 10,000.
Opo tumon.....ono wong koyo ngono.
Saya sedang berpikir jika kurs US dollar 2 – 3 tahun ke depan nanti mencapai Rp 25,000, maka harga cabe bisa mencapai Rp 200 – Rp 250 ribu per kilonya, maka untuk membeli 1 kg cabe, anda dikenai biaya meterai Rp 10,000!!! Mbok-mbok penjual cabe harus bawa-bawa meterai!!!
Berprikemanusiaan kah NKRI  (Negara (yang) Kemanusiaan Resmi di-Injak)?

2.      Kena Musibah Malah Dipajaki

Bila seseorang terkena musibah, secara moral harus dibantu. Kalau seseorang terkena musibah, kemudian masih diperas, diambil uangnya dan dipaksa untuk menyerahkan uangnya, maka si pemaksa, pemeras, pengambil uang orang yang tertimpa musibah bisa disebut biadab, bejad, tidak bermoral (terserah pembaca, nama apa yang cocok bagi orang/kelompok seperti ini). Buat saya, orang seperti itu tempatnya adalah neraka. Kalau di dunia ini, orang-orang seperti ini harus dibasmi. Tidak ada ajaran moral  (kecuali Pancasila barang kali) yang mengajarkan agar orang menimpakan tangga ke orang yang sudah jatuh. Atau membuat orang sudah sengsara menjadi lebih sengsara.
Yang saya maksud dengan orang yang terkena musibah ini adalah orang yang diPHK, kena pecat dari pekerjaannya, kehilangan sumber penghasilannya. Orang-orang yang diberhentikan dari pekerjaannya sepatutnya memperoleh simpati dan dibantu. Tetapi oleh pemerintah, malah dibikin lebih sengsara.
Pekerja yang diberhentikan dari pekerjaannya akan memperoleh pesangon. Besarnya, secara resmi bisa mencapai 28 bulan gaji + plus lain-lain. Katakanlah 30 bulan atau 2.5 tahun gaji untuk gampangnya. Itu kalau dia sudah bekerja di tempat yang sama lebih dari 24 tahun. Dengan kata lain ia sudah berumur....., di atas 45 tahun. Pada umur ini, pengeluaran sedang tinggi-tingginya, berada dipuncaknya. Anak-anaknya sekolah di universitas. Dan pesongon ini oleh pemerintah NKRI dikenai pajak sampai 25%.
Mungkin banyak yang akan berargumen, bahwa yang terkena pajak sampai 25% adalah yang memperoleh Rp 500 juta ke atas. Yang Rp 50 juta hanya kena 5%. Angka Rp 500 juta kelihatannya besar. Padahal kalau dibandingkan dengan harga sebuah apartemen studio (1 kamar) atau rumah type 45 (tanah 90 m2 dan bangunan 45 m2) di pinggirnya Jakarta (bukan di Jakarta-pinggir), masih dibawahnya dan sulit untuk bisa membeli properti seperti itu.
Terlepas dari banyak atau tidaknya angka Rp 500 juta, harus dilihat juga angka 2.5 tahun-gaji. Rentang waktu 2.5 tahun itu tidak lama. Untuk memperoleh pekerjaan tetap terkadang memakan waktu bertahun-tahun bagi pekerja yang sudah berumur dan dimasa krisis. Bahkan banyak pekerja yang diPHK dimasa krisis 1998 tidak pernah bisa memperoleh pekerjaan (tetap). Banyak yang menjadi pengangguran atau bekerja serabutan.......(walaupun melarat dan bekerja serabutan tetapi masih hidup bukan dan masih bisa dipajaki bukan?).
Argumen bahwa yang terkena pajak sampai 25% adalah yang memperoleh Rp 500 juta ke atas adalah orang kaya adalah dalih, bukan argumen. Hal itu tidak menghapuskan kenyataan bahwa mengambil pajak dari uang pesangon adalah tidak manusiawi, tidak berprikemanusiaan melainkan biadab. Orang sedang ditimpa kemalangan kok malah diambil uangnya.
Apapun dalihnya, tanpa pajak uang PHK, para korban PHK bisa menggunakan uang pesangonnya sampai 25% lebih lama. Penderitaannya bisa ditunda 25% lebih lama. Jadi siapa saja yang mempercepat datangnya penderitaan orang layak disebut biadab.
Berprikemanusiaan kah NKRI  (Negara (yang) Kemanusiaan Resmi di-Injak)?
Ketika anda memilih orang, memberi mereka kekuasaan dan mandat dan berharap agar mereka berbuat sesuatu yang baik untuk anda, jangan harap hal tersebut terjadi. Yang ada adalah, anda akan dipajaki dengan pajak berlapis-lapis ketika anda makan, makanan anda akan dibebani pajak penjualan, bea meterai, restribusi.....dll. Ketika anda tertimpa kemalangan, diPHK, seharusnya anda memperoleh pertolongan, tetapi uang pesangon anda malah dipajaki (banyak pula). Ketika anda sakit, anda membayar biaya pengobatan, itupun dipajaki. Jika uang pengobatan tersebut anda claim ke kantor anda, maka uang reimbursement pengobatan tersebut akan dipajaki pula. Kalau istri bekerja mencari tambahan penghasilan keluarga, kalau penghasilan keluarga dilaporkan secara bersama, bisa kena pajak yang lebih tinggi lagi.
Politikus bukan Tuhan pemberi rizki. Berharap dan meminta kepada Tuhan lebih baik dari pada berharap/meminta kepada politikus. Kalau Tuhan, paling buruk adalah tidak mengabulkan permintaan anda. Kalau politikus......, mereka akan membebani anda dengan pajak-pajak yang berat dan memaksa........, dan imbalannya belum tentu ada. Oooh masih ada lagi, anda juga dibebani oleh larangan-larangan dan aturan-aturan yang banyaknya jutaan pasal.
Tuhan tetap menjadi pilihan yang lebih baik dari pada politikus. Untuk rizki yang diberikannya, Tuhannya orang Islam hanya membebani 1 buku yang berisi 114 pasal (surat) dan 5 perintah serta 2.5% potongan/pajak untuk penghasilan anda.
Sedangkan untuk Tuhannya orang Kristen hanya membebani umatnya dengan 66 buku yang berisi 1189 pasal, 10 perintah dan larangan serta 10% potongan/pajak untuk penghasilan anda.
Dan untuk pemerintah NKRI, yang terdiri dari orang-orang yang berjanji untuk memakmurkan anda, mengambil sampai 30% dari penghasilan anda, 10% dari setiap barang yang anda beli, sampai 25% uang PHK anda, sampai 75% untuk mobil yang dianggap mewah........dan banyak lagi. Dan imbalan yang diberikan pemerintah? Silahkan anda evaluasi sendiri, apakah sepadan atau tidak. Kalau saya harus pilih Tuhan, mati untuk Tuhan, membela Tuhan atau membela NKRI, mati untuk NKRI.......sudah jelas sejelas-jelasnya, saya pilih Tuhan.
Sekian dulu renungan kali ini.
 


Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.