Pada suatu
hari sabtu pagi menjelang siang, saya mengendarai mobil Peugeot 504 tahun 1975
kesayangan saya di jalan Asia Afrika (Jakarta), dari arah Manggala Wanabakti. Di
pertigaan yang sekarang tidak jauh dari pintu masuk hotel Mulia, pada masa itu
ada larangan verboten untuk lurus ke
arah Senayan Plaza, kecuali hari libur. Karena hari itu adalah hari sabtu, maka
saya lurus saja. Dan di ujung pertigaan itu sudah menunggu seorang polisi
dengan motor besar, yang kemudian menyetop saya.
“Bapak tahu,
bahwa bapak telah melanggar larangan masuk?” kata polisi itu kepada saya.
“Larangan
itu tidak berlaku di hari sabtu, pak” jawab saya.
“Hari sabtu
bukan hari libur, tanggalannya tidak
merah.” sanggah pak polisi.
Karena pak
polisi mulai berdebat kusir maka saya keluarkan jurus-jurus debat yang bisa
memukul telak. “Pak......, kita bisa ke kantor walikota di sana, terus ke
departemen-departemen pemerintah. Pasti tutup
libur. Memang polisi dan rumah sakit tidak libur, karena orang sakit
datangnya kapan saja. Dan penjahat juga tidak punya hari libur resmi.”
“Tapi
pak...., hari ini tanggalannya tidak
merah.” debat pak polisi lagi.
Tiba-tiba
saya ingat bahwa saya punya kalender yang hari liburnya dicetak dengan huruf
biru. Kalau tidak salah kalender itu ditebitkan oleh Schlumberger yang corporate colornya biru. Lalu saya
katakan ke pak polisi: “pak......., kalender saya tidak ada tanggal yang
berwarna merah. Adanya hitam dan biru.” Lalu saya ambil kalender itu dan saya
tunjukkan ke pak polisi. Dengan penuh
kemenangan, tegas saya kemudian: ”pak....., kalau mau cetak kalender
berwarna-warna juga tidak ada larangannya. Senen merah, selasa hitam, rabu
biru, kamis hijau, jumat oranye,......... Itu suka-suka penerbitnya.”
Pak polisi
tetap bersikukuh bahwa hari sabtu bukan hari libur. Oleh sebab itu saya minta
surat tilang dan mau membela diri di pengadilan. SIM saya diambil.
Pada hari
yang ditentukan, saya ke pengadilan Jakarta Selatan di jln. Ampera seperti yang diperintahkan. Ternyata
berkas kasus saya tidak ada disana. Katanya belum dikirim. Saya curiga bahwa
berkas saya memang tidak akan pernah dikirim ke pengadilan karena kemungkinan
saya akan menang. Kejadian ini bukan yang pertama yang pernah saya alami.
Kejadian
sebelumnya belangsung di ujung jalan Thamrin, di bundaran air mancur. Waktu itu
lampu lalu-lintas yang berwarna merah mati (putus). Dan saya distop polisi atas
tuduhan menerobos lampu merah.
“Pak....,
saya tidak menerobos lampu merah. Tetapi menerobos lampu mati. Dan tidak ada
larangan menerobos lampu mati. Jadi secara faktual yuridis formal, saya tidak
menerobos larangan apa-apa.” debat saya.
“Tetapi
bapak sebenarnya tahu bahwa lampu merahnya mati.” debat pak polisi itu lagi.
“Pak....., secara
hukum saya tidak punya kewajiban untuk menterjemahkan bahwa lampu mati itu sama
dengan lampu merah. Secara faktual dan teknis yang saya lewati adalah lampu
mati. Dan tidak ada larangan untuk menerobos lampu mati.”
Akhirnya
saya minta tilang untuk ke pengadilan untuk menyelesaikan kasus saya. Dan sudah
bisa ditebak bahwa berkas saya tidak pernah dikirimkan ke pengadilan untuk
diproses lebih lanjut. Untuk mengambil SIM saya yang disita oleh polisi, saya
terpaksa menggunakan jasa koperasi di KOMDAK yang dikelola (dulu) oleh pak
Panto, walaupun biayanya 5 kali lebih mahal dari pada nyogok di tempat.
Kedua cerita
itu adalah kisah lama yang menorehkan kesan negatif yang dalam di benak saya. Bagi
saya, polisi Indonesia adalah organisasi yang menyebalkan. Kalau bisa kita
(saya) tidak berurusan dengan mereka. Inipun bukan berarti tanpa pengorbanan. Selama
ada mereka, hal-hal yang menyebalkan pasti terjadi. Misalnya, untuk sekarang,
dengan kantor di jln Sudirman di dekat fly-over
Karet, mau pulang kerja menjadi serba salah. Setiap hari selalu ada polisi
yang menghambat lalu-lintas yang akan keluar dari jalur lambat di depan rumah
sakit Siloam. Akibatnya, perjalanan di jalur lambat jln. Sudirman dari bawah fly-over Karet ke segmen masuk jalur
cepat Sudirman di depan RS Siloam bisa memakan waktu setidaknya 30-60 menit
untuk jarak yang kurang dari 2 km. Kalau kita keluar kantor jam 4 sore bisa
kena 3 in 1. Walaupun bisa ambil
jalan alternatif lewat kolong Semanggi di depan Komdak, tetapi yang paling aman
adalah tetap berusaha keluar ke jalur cepat Sudirman dari depan RS Siloam.
Karena di bawan kolong Semanggi biasanya ada polisi yang akan menyetop mobil
untuk mengechek jumlah
penumpang. Dengan kata lain, polisi
sengaja membuat jalur lambat Sudirman sepanjang fly-over Karet sampai ke RS Siloam agar mobil bisa digiring ke
kolong Semanggi dimana perangkap sudah disiapkan. Beberapa teman saya sudah
menjadi langganan jebakan polisi ini. Pilihannya cuma pakai joki atau bayar
sogokan Rp 100 ribu (tahun 2014 – 2015).
Banyak yang
mengatakan bahwa polisi dimana-mana menyebalkan. Kesimpulan ini bisa diterima,
kalau dilihat pada kasus di Ferguson, US, beberapa bulan lalu, dimana polisi
dengan semena-mena menembak mati seorang remaja dan kasus ini berekor protes
besar-besaran yang dibalas oleh polisi dengan tindak repressi terhadap
demonstran.
Menyusul kasus
Ferguson, ada lagi kasus baru di US yaitu kasus Eric Garner, yang mati karena
dipiting oleh polisi. Ini lebih sakit dari pada ditembak. Mati dipiting
tentunya lebih sakit. Kejadian semacam ini membuat kita bertanya, untuk apakah
polisi itu. Sebagai aparat keamanan, perlengkapan polisi saat ini sudah
mendekati militer – aparat pertahanan (dari serangan musuh dari negara lain). Kendaraan
lapis baja, senjata yang kuat (powerful
gun) seperti M16 itu bukan untuk melumpuhkan tetapi untuk mematikan.
Itu memang
di US, tetapi di Indonesia juga terjadi militerisasi polisi. Tetapi dalam
bidang ini, Indonesia kelihatannya lebih banyak latahnya. Hal lebih pokok lagi pada
polisi Indonesia adalah masalah tradisi korup, termasuk membuat jebakan-jebakan
lalu-lintas. Kita tidak perlu kemana-mana, cukup sektor lalu-lintas saja.
Sebagai pengemudi, pengalaman buruk hanya saya jumpai di Indonesia. Padahal saya
pernah tinggal di Inggris, Canada, Singapore, Malaysia, dan Saudi Arabia. Hanya
2 negara saja saya pernah berhadapan dengan tilang, Indonesia dan Malaysia. Untuk
Malaysia hanya 1 jenis kasus yang saya langgar, yaitu mengendarai dengan
kecepatan yang melebihi ketetapan. Saya kena tilang yang disebut saman-ekor, kurang lebih 5 kali, di
tempat yang sama dengan waktu yang berbeda.
Di jalan
raya Karak (lebuh raya Karak), di
wilayah Janda Baik ada bagian yang lurus
dan menurun sepanjang 10 – 15 km dengan sudut ketajaman sekitar 30 – 40
derajad. Dan kecepatan maksimal disitu 90 km/jam. Disana ada kamera yang siap
mengabadikan siapa-siapa yang ngebut
melebihi 90 km/jam.
Di penggalan
jalan raya Karak ini, kelihatannya polisi juga tahu kesulitan bagi pengendara
untuk mentaati aturan lalu-lintas tersebut. Persoalan utamanya adalah sulit
untuk mempertahankan laju kendaraan di bawah 90 km/jam di jalan dengan kondisi
seperti itu. Rem yang terus-menerus akan mudah panas. Sedangkan dengan
pengereman mesin di gigi 3 akan membuat mesin mengerang-erang keras. Jadi serba
salah. Biasanya mobil akan saya lepas di gigi 4, tanpa menginjak pedal gas atau
rem. Hasilnya adalah 110 – 125 km/jam. Dan......, kalau dalam minggu itu saya
tidak menerima surat tilang, artinya saya bisa lolos dari jepretan kamera.
Biasanya kita
bisa lolos dengan memposisikan kendaraan di belakang mobil besar. Jadi yang
akan kena tembakan kamera adalah mobil di depan saya. Tetapi keberuntungan
tersebut tidak selalu ada. Karena jalan tersebut harus saya lewati 2 kali setiap minggunya maka wajarlah kalau
saya selama 2 tahun di Malaysia kena jepret 5 kali.
Berurusan
dengan polisi lalu-lintas di Malaysia seringnya tidak berhadapan langsung,
seperti di Indonesia. Surat tilang (saman
ekor) datang dengan pos seminggu kemudian dan saya bayar di KLCC atau tempat-tempat yang ditentukan.
Tidak ada pelanggaran lampu mati atau
larangan masuk kecuali tanggalan merah.
Jadi kalau institusi polisi di Indonesia menjengkelkan (dibandingkan dengan di
Malaysia atau Canada, Inggris, Singapore), bisa dibuktikan sendiri.
Walaupun
nampaknya ada perbedaan antara polisi di satu negara dengan polisi di negara
lain, tetapi mereka punya persamaan dalam suatu kultur. Mau menang sendiri.
Dalam kasus Michael Brown dan Eric Garner di Amerika, polisi tidak pernah
mengakui kesalahannya. Di film-film TV, juga bisa dilihat bahwa polisi tidak
pernah salah dan tidak pernah mengaku salah serta tidak mau kalah. Kasus tilang
saya melanggar lampu mati dan
larangan masuk kecuali pada hari
bertanggal merah, yang tidak pernah sampai ke pengadilan, juga cermin dari
sikap polisi yang tidak mau kalah.
Banyak
peraturan-peraturan yang secara langsung berhadapan dengan kepentingan kita dan
punya loop-hole. Misalnya Peraturan
Daerah (Perda) mengenai 3-in-1, yang melarang
mobil berpenumpang kurang dari 3 orang untuk masuk ke jalan Sudirman dan Gatot
Subroto pada jam-jam tertentu. Saya melihat setidaknya 2 loop-hole. Pertama, peraturan tersebut
adalah Perda, dan jalan Sudirman/Thamrin serta Gatot Subroto adalah jalan
negara yang perawatannya diatur dan dibiayai oleh pemerintah pusat, bukan
DKI. Perda tidak berlaku di wilayah
pusat. Untuk jalan, wilayah juridiksi pemerintah daerah DKI adalah jalan
provinsi bukan jalan negara. Kalau pemerintah daerah memasang rambu-rambu
lalu-lintas di jalan negara, adalah tidak konstitusional. Apalagi menerapkan
perda di jalan negara.
Loop-hole kedua, bunyi perdanya adalah ..... berpenumpang kurang dari 3 orang.... Disitu
ada kata orang secara spesifik disebutkan di perda nya. Andaikata di
perda nya tidak ada kata orang, dengan kata lain, bunyi: “berpenumpang 3 atau lebih” kama kita
bisa bawa 2 kecoa bersama kita, sehingga penumpang yang ada di mobil ada 3,
yaitu 1 manusia dan 2 kecoa. Karena kata orang disebutkan secara
spesifik maka perda tersebut harus diakali dengan cara lain.
Untuk
mengakali perda 3-in-1 itu saya sebenarnya bisa membawa anjing saya yang bernama
Hanibal-Orang di dalam mobil ketika memasuki kawasan 3-in-1. Jadi di
dalam mobil ada 3 penumpangnya, yaitu 2 orang yang bernama Imam Semar dan Hasan
(supir saya), serta seekor anjing yang bernama Orang (perhatikan huruf O besar yang menunjukkan bahwa kata
Orang disini adalah nama). Di
dalam perda 3-in-1 itu tidak dijelaskan bahwa kata orang itu harus berarti
manusia, homo sapiens, bukan hewan species lain, pet yang bernama Orang.
Walaupun
saya tahu perda 3-in-1 ada loopholenya,
tetapi saya yakin bahwa polisi akan mau menang sendiri. Akal-akalan saya tidak
akan digubris. Dan kejadian beberapa belas tahun lalu, dimana berkas tilang
saya tidak pernah diproses, akan terulang lagi jika saya melakukan uji coba
jurus mengalahkan loop-hole ini ke
dalam praktek. Kalau kejadian tersebut terulang, maka belum tentu pak Panto
masih ada untuk mencarikan polisi yang menahan SIM saya. Oleh sebab itu saya
lebih suka ditemani oleh sebuah boneka besar untuk mengecoh polisi. Boneka
tersebut akan nampak seperti penumpang ke 3. Cara ini punya peluang lolos dari
pada berdebat dengan polisi tentang loophole
dari perda 3-in-1.
Polisi tidak
dididik untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Mereka dididik
untuk tidak mau kalah. Ketika Budi Gunawan sebagai calon kapolri dinyatakan
tidak bersih oleh KPK, polri (Budi Gunawan) pasti tidak akan mau kalah. Polisi
kemudian menangkap Bambang Widjojanto dan Adnan Pandu Praja dua wakil ketua KPK
sebagai balasannya. Ini seperti halnya polisi yang menilang saya karena kasus
melanggar lampu mati dan larangan
masuk kecuali di hari bertanggal merah.
Cuma bedanya sekarang dua wakil ketua KPK ditangkap. Pesan polri: “Kalau kau ganggu kami, maka kami juga bisa
ganggu kamu.” Seperti halnya polisi yang menilang saya, cara polisi
menghadapi KPK juga kasar. Tidak elegan sama sekali.
Saya tidak
tahu apakah KPK bersih atau tidak, karena saya tidak pernah berurusan dengan
KPK. Tetapi, untuk polisi, saya pernah bersentuhan langsung dengan polisi
sehingga bisa memberi pendapat. Saya juga termasuk orang yang meragukan kultur yang
bersih di lingkungan polri. Saya juga tidak heran kalau banyak orang sependapat
dengan saya. Kata fit & proper
dengan polri seperti air dan minyak. Kalau DPR melakukan test fit & proper terhadap calon kapolri,
itu tidak lain cuma lelucon saja. Bisa juga diartikan sebagai sekedar memberi
legitimasi status quo.
Bagi orang
yang berpikir dan jujur (naif) keberadaan institusi kepolisian perlu
dipertanyakan. Pertama, sebagai petugas keamanan, sudah banyak digeser oleh
satpam. Di sektor penangkal kriminalitas juga banyak tanda tanyanya. Kalau kita
kecurian barang, apakah akan kembali jika kita lapor polisi? Sebagai pengatur
lalu-lintas, sudah banyak digeser oleh pak
ogah. Kedua, perkara kebersihan polisi sangat diragukan. Apakah ada polisi
yang bersih? Polisi tidur saja juga kotor oleh lumpur dan tinja kuda. Patung
polisi juga kotor oleh debu. Makna fit
& proper sebenarnya adalah fit
& proper untuk status quo dalam arti DPR masih seperti itu, kabinet juga seperti itu, presiden juga seperti itu (silahkan
terjemahkan sendiri kata itu). Tidak
perlu heran jika Budi Gunawan yang dicurigai KPK dan masuk daftar hitam KPK
bisa lolos fit & proper nya DPR.
Karena DPR dengan polri punya musuh yang sama yaitu KPK. (Catatan: berapa
banyak anggota DPR yang sudah diseret oleh KPK ke pengadilan). Dan tidak perlu
heran yang merekomendasikan Budi Gunawan juga ketua partainya wong cilik yang membuat
Keppres no 81 tahun 2004 dan isinya adalah memberikan uang tunjangan perumahan
purnabakti sebesar Rp 20 milyar (setara dengan 20 kg emas) kepada mantan
presiden yang notabene nantinya adalah dirinya sendiri. Dan keputusan ini
dikeluarkan pada hari Senin tanggal 28 September 2004 hanya 3 bulan sebelum
masa tugasnya berakhir tanggal 20 Oktober 2004.
Ada yang mengatakan
bahwa kultur korup di kalangan polisi sudah sedemikian parahnya. Kalau
dibaratkan computer, maka hardisknya sudah terinfeksi banyak virus dan kalau
mau diperbaiki sudah terlalu banyak files yang terkorupsi sehingga banyak
program yang tidak berfungsi secara benar. Jalan satu-satunya adalah format
ulang., kemudian diisi dengan program dari sumber yang bersih. Artinya polisi
diberhentikan semua, dan diganti dengan orang-orang yang baru. Persoalan akan
timbul ketika orang yang melakukan isi ulang dari hardisk tersebut patut
dicurigai karena punya kepentingan dengan penggunaan komputer tersebut. Keadaan
tidak akan berubah jika sang penyusun ulang polisi kotor atau punya kepentingan
yang berkaitan dengan polisi. Oleh sebab itu, EOWI akan mundur ke dasarnya
dengan mempertanyakan, untuk apa badan kepolisian itu diadakan? Kapan badan
kepolisian pertama dibentuk. Karena semua badan kepolisian di dunia ini
hanyalah copy-an saja.
Fungsi
polisi mungkin sudah berubah dengan perjalanan waktu. Ini bisa dilihat dari
sudut pandang etimuloginya (asal-usul kata). Polisi atau police (bahasa
Inggris) berasal dari kata Yunani politeia,
yang artinya negara, pemerintahan. Kata ini punya akar yang sama dengan
kata politik, politikus, policy (keputusan pemerintah). Juga ada kaitannya
dengan penggalan kata polis di kata metropolis (yang ke bahasa Indonesia
menjadi metropolitan). Jadi kata polisi ada kaitannya dengan mengatur
masyarakat. Dalam perkembangannya terjadi perubahan, seperti pada kisah Robin
Hood, ada sheriff Notingham yang menjadi musuh bebuyutan Robin Hood. Sheriff
(kata lain untuk polisi, seperti juga marshal) Notingham punya tugas lain untuk
memaksa rakyat membayar pajak yang menekan dan menghukum mereka yang mencoba
lari dari pajak. Disamping itu juga, sheriff Notingham juga bertugas menjaga
harta milik pemerintah, termasuk kijang-kijang liar yang diklaim sebagai milik
raja.
Dari
beberapa kamus online disebutkan bahwa kata police
mungkin resmi dipakai di Prancis tahun 1580an yaitu kata Middle French policer yang artinya "to keep order
in" – mengatur dan menegakan hukum yang nota bene kemauan pemerintah.
Mungkin pengertian inilah yang sampai sekarang berlaku. Kalau pemerintah
mengeluarkan ke-tidak-bijaksanaan ini dan itu, maka polisi akan memaksakan
penerapannya di dalam masyarakat, terlepas apakah keputusan tersebut konyol dan
tidak disukai oleh masyarakat. Seperti halnya ke-tidak-bijaksanaan 3-in-1,
disebut ke-tidak-bijaksanaan karena melarang orang menikmati kemakmuran yang
diperolehnya yaitu naik mobil pribadi (bisa beli mobil = kemakmuran). Karena
larangan ini konyol sifatnya, maka banyak yang berusaha membangkang terbukti
dengan banyaknya joki 3-in-1. Ketidak bijakan ini polisi harus menegakkannya.
Ini juga berlaku untuk peraturan larangan motor di jalan Thamrin Jakarta.
Salah satu
peraturan yang harus ditegakkan, walaupu konyol adalah penggunaan mata uang
rupiah sebagai alat pembayaran resmi. Kita tahu mata uang rupiah, keberadaannya
adalah karena coercion, paksaan. Wujudnya berupa kertas yang tidak ada manfaatnya,
misalnya jika dibandingkan kambing. Kambing adalah sumber protein dan bisa
dimakan (enak rasanya). Ada sate kambing, ada tongseng kambing, gulai kambing dan lamb chop. Dan tidak ada sate lembaran 100 ribu rupiah, atau gulai kertas rupiah, atau rupiah chop. Untuk yang terakhir ini (rupiah chop) jika anda melakukannya dengan terbuka maka polisi akan datang dan mencokok anda. Rupiah berguna karena coercion (paksaan) dan jika anda berusaha menggantikannya secara tindakan, misalnya dengan membawa 100 ekor kambing ke kantor
pajak untuk membayar pajak penghasilan anda, niscaya polisi dengan senjatanya
akan menjenguk dan mencokok anda. Ini bukan jamannya Robin Hood lagi. Bayar
dengan rupiah, cash atau transfer. Anda bisa berargumen bahwa dibandingkan
dengan rupiah, maka kambing nilainya stabil sepanjang masa, kambing punya nilai
gizi, kambing punya sejuta manfaat, tetapi polisi tidak akan pernah perduli.
Kalau polisi
tugasnya menegakkan hukum, mencari pelanggar hukum, kenapa ada KPK yang juga
tugasnya menegakkan hukum anti korupsi. Mungkin untuk budaya korupsi, polisi
sudah terlalu kotor. Sapu kotor tidak akan pernah bisa effektif untuk dipakai
bersih-bersih. Ini bukan jamannya jenderal Hugeng, atau brigjen Swasono
Abdulhamid. Istilah rekening gendut
polisi adalah cermin kultur kotor. KPK dilahirkan apakah untuk hal yang serius, atau
sekedar sandiwara. Yang pasti sampai saat ini belum pernah terdengar ada polisi
dengan rekening gendut dimeja hijaukan, alih-alih dihukum mati karena korupsi.
Sekian dulu…….sampai nanti,
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.