Selamat jumpa lagi pembaca EOWI. Sudah lama blog ini tidak aktif. Dengan 9
ekor anjing besar (doberman, golden retriever dan Doberman-Golden Retriever
mix) waktu saya praktis tersita untuk mereka, setelah pengasuh (pemelihara) mereka
keluar. Beberapa kali ada yang mengisi
lowongan ini, tetapi hanya bisa bertahan 3-4 bulan. Waktu sepanjang itu hanya
cukup untuk melatih mereka memelihara anjing. Karena lama tidak ada yang
mendisiplinkan mereka, maka sekarang anjing-anjing ini agak nakal dan susah
dikontrol. Apa lagi pada musim hujan ini, saya mengalami kesulitan
mengolah-ragakan mereka karena seringnya hujan. Sebagai konsekwensi, mereka buang
air tidak pada tempatnya, hyperaktif, melampiaskan energi dan frustrasi mereka pada
barang-barang yang ada. Pagar-pagar, pintu-pintu rusak karena mereka.
Beberapa waktu (beberapa tahun lalu), saya pernah mengatakan bahwa krisis
global berikutnya setelah krisis subprime mortgage dari US dan disusul oleh
krisis perumahan dari Eropa, harga US$ akan mencapai Rp13,000. Kisarannya
antara Rp 13,000 – Rp 17,000 per US$. Nampaknya US$ akan sangat mudah menembus
level itu. Krisis belum mulai (mungkin Indonesia sudah mencuri start) rupiah
sudah terpuruk ke level Rp 12,250 per dollar US.
Kwartal II tahun 2013 lalu saya melakukan shorting terhadap rupiah dengan
jalan meminjam rupiah ke bank, agunan deposito dollar. Di kalangan perbankan
cara ini dikenal dengan nama kredit
back-to-back. Dengan kenaikan nilai US$ terhadap Rp sekitar 25%, masih ada
keuntungan yang cukup lumayan. Adapun yang memicu saya melakukan shorting ini,
bahwa saya melihat bottom dari US$ thd Rp sudah lewat, yaitu di tahun 2011 pada
lewel Rp 8400an. Itu dan beberapa hal lain seperti penurunan harga emas dan
bahan tambang serta perlambatan di Cina, membuat saya agak aggressif untuk
shorting rupiah. Saya termasuk yang terbuka tentang investasi yang saya lakukan. Jadi beberapa teman saya tahu move saya ini. Entah apa sebabnya, beberapa diantara mereka mencari/pindah kerja yang bergaji dollar. Perusahaan saya di tahun ini kehilangan
2 senior operation geologist, 2 wellsite geologist, 2 drilling superintendent.
Jumlah itu cukup besar bagi sebuah perusahaan yang kecil.
Menjelang akhir tahun, ketika mengamati chart US$-Rp, saya melihat ada
beberapa hal yang membuat saya agak ragu mengenai perjalanan koreksi rupiah dan
targetnya terutama kalau dikaitkan denga Idiot wave. Saya tidak terlalu percaya
dengan Idiot wave, sehingga saya sering mencari alasan fundamentalnya. Untuk
kasus US$/Rp ini ada satu pertanyaan penting yang mendasar dan penting sekali yang
bisa ditarik dari chart US$-Rp di bawah ini. Bisakah US$ mencapai kisaran Rp
16,000 – Rp 19,000 dalam 24 bulan mendatang? Fundamental apa yang mendasarinya?
Level ini adalah level wave-3 (lihat Chart-1). Ini masih wave-3 lho. Masih ada
wave-5.
Teknikal
Secara teknikal Idiot wave, US$ mencapai titik bottomnya di Rp 8,419.
Kemudian rally wave-1 sampai ke Rp 11,442. Wave-2 berakhir di Rp 11,066 atau
12.5% retracement. Kemudian rally berlanjut sampai artikel ini diturunkan (Rp
12,250).
Pengintepretasian Idiot Wave seperti ini tidak ideal dan menimbulkan keraguan.
Keraguan pertama: Fibonacci retracement 12.5% adalah sangat jarang. Biasanya
38% atau lebih besar lagi (50% atau 62%).
Kalau hitungan Idiot Wave ini benar, maka wave-3 bisa membawa US$ ke Rp
16,000 – Rp 19,000. Besarnya wave-3 bisa mencapai 1.65 x wave-1 atau 2.63 x
wave-1.
Kemudian, setelah wave-4 yang katakanlah 50% retracement, akan ada wave-5,
yang punya potensi membawa US$ ke level Rp 17,000 sampai Rp 18,500 atau Rp
20,000.
Menurut asumsi saat ini, US$-Rp sudah pada wave-3. Asumsi ini bisa salah,
dan bisa saja saat ini US$-Rp masih pada wave-1. Kalau demikian halnya, maka
koreksi wave-2 bisa membawa US$-Rp ke level Rp 10,000 – Rp10,500. Waktu akan
memastikannya.
Chart - 1
Long term chart US$ vs. Rp juga sudah menunjukkan bahwa sudah saatnya US$
akan naik terhadap rupiah (lihat Chart-2).
Chart - 2
Fundamental
Pada dasarnya saya tidak suka analisa teknikal, karena analisa seperti ini
sejatinya bukan analisa melainkan utak-utik/gothak-gathuk
grafik yang sama sekali tidak saintifik. Oleh sebab itu, analisa fundamental
jauh lebih penting.
Pada liburan Natal dan Tahun Baru
ini, yang kebetulan hujan terus, saya punya waktu luang dan sempat melakukan
riset fundamental sedikit. Fokusnya pada makro ekonomi Indonesia.
Pemerintah akan Roni
Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan larangan ekspor bijih tambang dan
batu bara. Bijih tambang tidak boleh diekspor lagi, dan harus diolah di dalam
negri menjadi bahan setengah jadi untuk bisa diekspor. Pelarangan ekspor bijih
merupakan amanat Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang mineral dan
batubara. Menindak lanjuti undang - undang ini, pemerintah menerbitkan
Peraturan Menteri ESDM No 7 'Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah
Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral dan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 29/M-Dag/Per/5/ 2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk
Pertambangan. Dan untuk tahun 2014 ini pemerintah akan tegas tidak menunda
pemberlakuan larangan ekspor bijih tambang.
Pemerintah, seperti biasanya, terlambat. Dulu beberapa kali pemerintah
menaikkan harga eceran BBM 3 bulan sebelum harga minyak mentah dunia
turun/anjlok. Keputusan itu seharusnya dilakukan jauh hari sebelumnya. Demikian
juga keputusan pemerintah kali ini. Harga hard
commodities, logam dasar akan turun lagi. Tidak hanya itu, ada peluang yang
cukup besar bahwa di petengahan atau penghujung tahun 2014, dunia akan
mengalami ressesi lagi (Ini cerita lain yang akan dibahas lain kali).
Besar peluangnya pemerintah akan roni, robah-robah niat.
Ini hanya roni, bukan roni sukardi (robah-robah
niat
sukar
ditebak).
Karena kami di EOWI sudah (dan mudah) menebaknya. Pemerintah akan membatalkan
sebagian atau seluruhnya dari aturannya. Mungkin tidak secara resmi, tetapi
bisa juga melalui pembiaran, membiarkan perusahaan-perusahaan pertambangan
mengekspor bijih tambang. Serta tidak akan ada tuntutan.
Apa ini Pembantaian Rupiah dan Para Penabung?
Kenapa EOWI berani menebak demikian? Alasannya karena kalau keinginan
pemerintah ini diterapkan, maka tindakan ini identik dengan bunuh diri.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Ekspor bijih tambang ini, menurut data statistik adalah sekitar US$ 20
milyar tahun 2013. Jadi, kalau larangan ekspor ini dipaksakan maka pemasukkan
US$ 20 milyar akan menguap. Sederhana saja. Kata pemerintah, realisasinya
mungkin tidak US$ 20 milyar tetapi hanya US$ 6 milyar. Pertanyaannya adalah,
apakah US$ 20 atau US$ 6 milyar itu banyak atau tidak?
Berikut ini (Chart-3) adalah chart yang berisi komponen Transaksi Berjalan
dari Indonesia. Ada 2 komponen yang cukup besar, yaitu transaksi dari
perdagangan Barang dan Pendapatan yang masing-masing bisa mencapai di atas US$
5 milyar.
Sebelum tahun 2012, keduanya cukup berimbang dalam arti defisit Pendapatan bisa
ditutup dengan surplus Perdagangan Barang. Sejak tahun 2012, dari kedua
komponen ini, nampak jelas bahwa surplus neraca perdagangan Barang mengalami
penyusutan dan menjadi defisit tetapi komponen defisit Pendapatan relatif tetap
(tidak banyak berubah).
Chart - 3
Untuk lebih jelasnya, EOWI mencoba untuk menerangkan komponen apa saja yang
ada di dalam Perdagangan Barang dan Pendapatan.
Komponen utama dari Perdagangan Barang, intinya adalah ekspor dan impor
barang termasuk barang tambang – migas dan non-migas, komoditi pangan, dsb.
Kita tahu bahwa Indonesia adalah net importer migas, net importer pangan dan
bahan baku pangan. Indonesia mamang bukan importir tahu, tempe, ayam dan telor ayam.
Tetapi bahan bakunya, yaitu kedele dan pakan ternak adalah impor. Indonesia
juga importer bawang putih, beras dan buah-buahan. Disamping itu, Indonesia
juga mengekspor bijih tambang, seperti bijih nikel, tembaga, dan batu bara.
Harga barang yang diimpor, pangan misalnya, relative tetap atau turun
sedikit. Sedangkan harga bahan tambang, sejak tahun 2011 mengalami penurunan,
seiring dengan melambatnya ekonomi Cina (dan global) akan berlanjut terus
dengan kecepatan, mungkin akan lebih kencang. Sebagai contohnya adalah harga
nikel dan tembaga (lihat Chart-4 dan Chart-5 di bawah).
Chart
- 4
Chart
- 5
Tentu saja menurunannya harga komoditi-komoditi keras ini akan mempengaruhi
harga bijihnya. Melambatnya perekonomian Cina dan global, akan menyurutkan
permintaan bahan komoditi keras serta bahan non-pangan. Ekspor Indonesia yang
terpukul tidak hanya bijih tambang dan batu bara saja, tetapi juga minyak sawit
(bahan dasar sabun dan chemical lainnya). Orang bisa menunda pembelian mobil, pembelian
rumah, perbaikan rumah dan barang-barang sekunder lainnya, tetapi orang tidak
bisa menunda makan sampai 1-3 tahun ke depan atau tidak pergi ke tempat kerja
(yang memerlukan bahan bakar). Jadi ekspor bahan pokok tetap bertahan. Inilah
yang membuat surplus perdagangan berubah menjadi defisit.
Komponen terbesar kedua dari Transaksi Berjalan berikutnya adalah
Pedapatan. Ini mempunyai
komponen Pembayaran Deviden dan Bunga yang jumlahnya tidak dominan, dan yang
dominan adalah Pendapatan Investasi Asing Langsung (perusahaan asing). Kalau
ada perusahaan Indonesia, misalnya Ayam Suharti atau Wong Solo, yang punya
cabang di Congo misalnya, maka pendapatan perusahaan itu di Congo akan dibawa
ke Indonesia, dan bisa memperbaiki neraca Transaksi Bejalan. Tetapi jika banyak
perusahaan asing di Indonesia yang membawa keluar keuntungannya, maka akan
mempunyai nilai negatif terhadap Transaksi Berjalan. Dan saat ini per tahunnya
besarnya sekitar US$ 26 milyar.
Chart-3 kurang informatif, dalam arti sulit melihat bahwa defisit Transaksi
Berjalan semakin melebar. Chart-5 di bawah ini bisa memperlihatkan lebih jelas
bahwa defisit Transaksi Berjalan Indonesia mulai pada kwartal III 2011. Ini
hampir berbarengan dengan depresiasi rupiah (Chart-1).
Chart
- 6
Pangan Dalam Sorotan
Tahun 2013 diakhiri dengan kejutan cuaca. Salju melanda Vietnam, musim
dingin parah melanda Amerika Serikat. Dan tahun 2014 diawali dengan kejutan
juga. Di Indonesia banjir melanda dimana-mana. Australia dilanda gelombang
panas sedangkan disudut lain USA dilanda gelombang dingin. Banjir tidak
hanya melanda Indonesia,
tetapi juga Brazil
penghasil kedele.
Dengan adanya banjir di Indonesia,
apa dampaknya yang paling nyata. Harga mie instant naik. Karena
sumbangan-sumbangan korban banjir biasanya mie instant. Tentu saja ini hanya
kelakar saja. Banjir menyebabkan banyak daerah pertanian rusak. Tanaman pangan
rusak. Jadi untuk tahun 2014, bisa
dikatakan 1 panen gagal atau tertunda. Disini belum ada asumsi bahwa panen
berikutnya juga gagal gara-gara musim kemarau yang ekstrim. Kalau cuaca ekstrim
di awal tahun, disusul dengan cuaca ekstrim di pertengahan tahun, maka genaplah
sudah alasan untuk mengimpor pangan.
Saya tidak meramalkan harga bahan
pangan dunia akan naik. Walaupun demikian, tetap saja, Indonesia harus mengimpor pangan. Satu
alasan lagi bagi rupiah untuk terdepresiasi karena melebarnya defisit transaksi
pembayaran.
Transaksi Modal & Finansial
Sampai saat ini yang kita bahas
hanyalah transaksi berjalan, yang intinya perdagangan barang dan jasa, serta penerimaan/pengeluaran
di luar investasi dan permodalan. Masuknya dana asing ke bursa saham, misalnya,
tidak dimasukkan dalam kelompok transaksi berjalan. Aliran dana yang berkaitan dengan investasi,
dikelompokkan sendiri di dalam Transaksi Modal dan Finansial. Misalnya ada dana
masuk dari luar negri untuk dibelikan/diinvestasikan ke Obligasi Republik
Indonesia (ORI) atau saham, karena dana ini harus dirupiahkan maka akan memicu
kenaikan permintaan atas uang rupiah. Dengan demikian akan memberikan dampak
penguatan nilai rupiah. Dan sebaliknya, jika dana investasi asing yang masuk berkurang atau malah keluar
dari Indonesia, maka akan memberi tekanan terhadap nilai rupiah.
Misal lain, seandainya perusahaan-perusahaan asing INCO, Newmont, Freeport,
atau Antam memperoleh pinjaman luar negri untuk membangun smelter seperti yang
ditetapka pleh pemerintah, mereka akan memasukkan dana investasi ke Indonesia.
Ini akan memberi dampak positif bagi rupiah. Tentu saja pertanyaannya adalah,
apakah pemerintah bisa memaksa mereka? Pemerintah bisa memaksa melalui
negosiasi ulang kontrak pertambangan perusahaan-perusahaan ini, tetapi tentu
ada kompensasinya. Membangun smelter atau melakukan ekspansi operasi dimasa
harga produk yang akan dijual sedang mengalami penurunan, bukanlah ide yang
baik. Harga komoditi tambang sedang turun dan belum stabil. Lihat saja,
laba Inco misalnya turun hampir 80% untuk tahun 2013 (link).
Perusahaan-perusahaan ini juga harus melakukan pengurangan produksi karena
turunnya permintaan. Apakah tindakan ekspansi masih waras? Pada akhirnya pemerintah
juga yang akan menerima kerugian.
Kalau dilihat besaran neraca transaksi modal/investasi mencapai $ 10 milyar
selama beberapa tahun belakangan ini. Dan puncaknya ada pada kwartal IV 2012. Apakah
tren ini akan berlanjut pada kwartal-kwartal ke depan?
Chart
- 7
Kita tidak perlu ribut berdebat,
coba anda tanyakan kepada diri
sendiri:
- Apakah defisit Transaksi Berjalan ini akan berbalik menjadi surplus untuk tahun 2014? Kalau berbalik, alasannya kenapa?
- Apakah depresiasi/appresiasi nilai rupiah ini berkaitan dengan defisit/surplus Transaksi Berjalan? Kalau demikian, bagaimana nasib rupiah di tahun 2014?
- Apakah akan ada peningkatan dana masuk untuk investasi di Indonesia untuk tahun 2014 dan 3 tahun ke depan?
Catatan: artikel ini mulai ditulis pada awal Januari 2014 dan terselesaikan
di akhir Januari 2014, sehingga banyak perkembangan yang sudah terjadi dalam
selang waktu tersebut.
Jakarta
Januari 2014
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.