Ada
beberapa topik yang muncul di media sosial akhir-akhir ini. Penuh pro dan
kontra. Saling menyerang antara kubu yang pro-pemerintah dan kubu oposisi.
Antara Rizal Ramli dan Faisal Basri yang opininya mirip dengan menteri keuangan
mbak Sri Mulyani yang tentunya akan mencari pembenaran. Opini Rizal Ramli dan
Faisal Basri bahwa hutang sudah mencapai level yang berbahaya, sedang opini Sri
Mulyani, tentu saja mengatakan bahwa hutang Indonesia yang hanya 27% dari GDP masih
jauh dari berbahaya. Yang dijadikan perbandingan adalah hutang pemerintah
beberapa negara seperti Jepang (238%
GDP), US (107%
GDP), Singapore (111%
GDP).
Karena
tulisan-tulisan tsb beredar di media sosial dan media massa, EOWI tidak tahu
apakah sumbernya benar-benar dari orang yang bersangkutan. EOWI juga tidak
merasa perlu tabayun, mengecek apakah
berita-berita tersebut asli atau fake-news.
Karena EOWI tidak berniat untuk membahas opini mereka.
EOWI
tidak memihak mana-mana kecuali yang waras. Lagi pula seperti yang dikatakan
sebelumnya, EOWI tidak berminat membahas opini, memihak ke salah satu kubu,
melainkan sekedar memberi edukasi kepada pembaca EOWI yang setia.
Pertama
EOWI akan menyitir kalimat bijak dari Bible (Proverb/Amsal 22:7):
“Orang miskin menjadi hamba orang
kaya. Orang yang berhutang adalah budak dari krediturnya”.
Ini
adalah peringatan bahwa berhutang itu berat. Bahkan dalam tradisi Islam, orang
mati sebelum dikuburkan, selalu diumumkan agar hutang sang mayat segera
diselesaikan. Bahkan ada doa yang diajarkan nabi Muhammad s.a.w agar orang
segera terbebas dari hutang.
Kalau
agama sudah mewanti-wanti tetang hutang, tentuntya hutang itu tidak baik.
Timbul pertanyaan yang agak mengusik EOWI: Adakah
hutang yang baik?
Tentu
saja ada. Jika kita dibayar untuk berhutang, itu namanya hutang yang baik.
Sudah dikasih pinjaman, dibayar pula. Apa tidak enak? Hanya saja hutang seperti
ini hanya hutang dari bapak moyangmu.
Hutang Dari Sudut Pandang Orang Waras
Munculnya
issue tentang hutang pemerintah yang menanjak bukan karena SBY tidak pernah
berhutang, tetapi selama SBY memerintah rasio hutang terhadap GDP turun selama 8
tahun dan mencapai titik terendahnya 22.96% di tahun 2012 Dan kemudian setelah Jokowi
memerintah, rasio hutang terhadap GDP pemerintah RI naik. Walaupun di akhir
pemerintahan SBY, rasio mulai naik lagi dari titik nadirnya di 22.9%.
Rasio Hutang
terhadap GDP
Kalau
dilihat dari chart di atas, yang paling cepat terjadinya penurunan rasio hutang
terhadap GDP adalah di jaman Gus Dur. Itu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri.
Tetapi apakah Gus Dur yang membuat rasio ini turun? Atau Mega, atau SBY, itu
lain cerita. Negara ini katanya auto-pilot kok, katanya.
Kembali
kepada topik awal yaitu hutang. Saya akan memberikan beberapa kasus sebagai
illustrasi.
Kasus
pertama, jika ada seseorang yang berhutang untuk beli villa di Puncak. Hutang
ini dicicil selama 10 tahun. Selama 10 tahun ini penghasilan orang ini naik
terus, bisnisnya sukses, tabungannya bertambah. Hutang seperti ini tidak
termasuk hutang yang baik. Akan tetapi tidak berdampak pada keuangan orang itu.
Tidak disebut hutang yang baik karena bukan hutang yang produktif dan self-liquidating. Walaupun demikian
orang tersebut mampu membayar hutangnya.
Kasus
kedua, seseorang meminjam uang untuk membelikan anaknya yang ke II mobil,
karena anaknya yang lain sudah punya sehingga supaya ada pemerataan kemakmuran
diantara anak-anaknya. Sayangnya dalam perjalanan waktu usahanya,
penghasilannya relatif stagnan, tidak banyak beranjak kemana-mana. Awalnya dia
mudah mencicil hutangnya, tetapi sejalan dengan waktu, kebutuhan sehari-hari
juga naik dan tidak terkejar oleh kenaikan penghasilannya. Bebannya semakin
berat karena harus mencicil hutang beserta bunganya dan harus menutup kebutuhan
hidup yang senantiasa meningkat. Dia dan keluarganya harus tirakat. Bahkan harus menguras tabungannya.
Niatnya
mungkin baik. Mungkin......, yang pasti secara keseluruhan adalah tindakan
populis, pencitraan, supaya dibilang ayah yang baik yang bisa membuat semua
anaknya bisa menikmati kemakmuran secara merata. Walaupun niatnya mungkin baik
tetapi hasilnya tidak baik. Dalam hal ini hadith nabi innamal a’malu binniyat (perbuatan itu tergantung niatnya) harus
dikaji ulang. Niatnya baik hasilnya tidak baik. Bahkan saya melihat suatu kasus
nyata dimana rumah yang digunakan sebagai agunan hutang terancam disita.
Niatnya baik (populis lebih tepatnya), tetapi dalam pelaksanaannya tidak punya
rencana bagaimana membayarnya. Hasilnya sangat buruk......, disposable income bahkan penghasilan
netto turun dan aset turun. Dalam kasus ini hutang adalah liability.
Kasus
ketiga, adalah juga kasus nyata. Kira-kira tahun 1988, seseorang meminjam uang
untuk menambah armada mobil sewaannya. Usahanya ini sudah berjalan 2 tahun. Dia
punya strategi, jika dalam waktu 3 bulan tidak ada penyewa, maka mobil baru
yang armada barunya itu akan dijual dengan rugi. Dia bisa menerima kerugian
sebesar 20% - 25% sebagai stop-loss. Setiap
bulan uang hasil penyewaan mobilnya bisa menutup cicilan hutang dan ia masih
bisa menikmati kelebihannya. Kasus ini berakhir ketika krismon 1998 terjadi,
dimana suku bunga bank melonjak sampai 60%, semua mobil di armada sewaannya
dilikwidasi untuk menutup hutangnya dan .... masih ada kelebihan uang senilai
90 unit sedan (bekas dengan umur di bawah 5 tahun).
Ini
yang disebut berhutang secara cerdik. Sebab jamannya Suharto, inflasi money
supply M2 sekitar 27%, sedangakan bunga bank sekitar 22% - 25%. Artinya
penghutang disubsidi. Kemudian, hutangnya itu digunakan untuk usaha produktif
sehingga hutangnya tidak hanya self-liquidating, tetapi penghasilannya dan asset
bertambah. Dalam perhitungannya, setiap Rp 1 hutangnya menghasilkan Rp 2.5
dalam jangka waktu 5 tahun. Itulah yang disebut self-liquidating debt.
Siapa yang Terbaik Mengelola Hutang
Indonesia?
Bagaimana
dengan Indonesia? Maksudnya jaman Jokowi.
Seperti
yang digembar-gemborkan bahwa hutang dijaman Jokowi adalah untuk membangun
infrastruktur agar supaya pertumbuhan ekonomi meningkat. Apa benar peningkatannya
sepadan dengan hutang? Kita akan bandingkan dengan presiden-presiden era
reformasi sebelumnya.
Berikut
ini adalah kurva perjalanan hutang dan GDP Indonesia sejak tahun 1990. Tetapi
kita hanya tertarik pada periode 1999 – 2018.
Membaca
chart seperti ini sulit untuk menentukan siapa yang lebih baik dalam mengelola
hutang. Oleh sebab itu kita buat tolok ukur yang menggambarkan peningkatan GDP
dengan peningkatan hutang. Saya enggan menyebutnya sebagai peningkatan GDP sebagai akibat hutang atau Rp 1 hutang menghasilkan Rp X GDP. Karena
peningkatan GDP bukan saja karena hutang. Tetapi hanya sebagian dari GDP adalah akibat langsung dari hutang. Walaupun
demikian, rasio perubahan GDP terhadap perubahan hutang (ΔGDP/ΔHutang)
mencerminkan sikap kehati-hatian pemerintah terhadap berhutang.
Tabel
berikut ini menunjukkan regim yang memerintah, GDP dan hutangnya.
Rasio ΔGDP/Δhutang yang dibikin oleh SBY adalah yang tertinggi, yaitu 6.10. Kemudian disusul oleh Jokowi, 2.34 dan yang terburuk adalah Gus Dur/Megawati.
Presiden
|
Tahun
|
GDP, triliun Rp
|
Hutang, trilliun Rp
|
ΔGDP/ΔHutang
|
|||
Awal
|
Akhir
|
Awal
|
Akhir
|
Awal
|
Akhir
|
||
Gus Dur/Megawati
|
1999
|
2004
|
1,322
|
2,512
|
561
|
1,327
|
1.63
|
S. B. Yudhoyono
|
2004
|
2014
|
2,512
|
10,569
|
1,327
|
2,610
|
6.10
|
Joko Widodo
|
2014
|
(2017)
|
10,569
|
13,588
|
2,610
|
3,900
|
2.34
|
Rasio ΔGDP/Δhutang yang dibikin oleh SBY adalah yang tertinggi, yaitu 6.10. Kemudian disusul oleh Jokowi, 2.34 dan yang terburuk adalah Gus Dur/Megawati.
Walaupun
selama 5 tahun pemerintahan mereka, GDP Indonesia melonjak hampir 100%, tetapi
kita bisa mengatakan bahwa kinerja Gus Dur/Megawati lebih buruk dari sekedar
angka 1.63, karena setelah krisis seharusnya dampak hutang terhadap pertumbuhan
ekonomi sangat tinggi. Pertumbuhan bisa melesat lebih cepat lagi. Akan tetapi justru
di masa Megawati banyak asset negara yang dijual.
Mungkin
di jaman SBY kinerja hutang Indonesia yang dicerminkan oleh tingginya ΔGDP/Δhutang
karena di jaman SBY negara dibiarkan pada kondisi autopilot. Alias SBY
tidak berbuat apa-apa selain mem-bail-out
bank Century. Yang pasti, di jaman SBY
cari kerja lebih mudah dari pada jaman Jokowi. Saya akan menekankan kata autopilot
karena akan bicarakan lagi di akhir cerita.
Di
era Jokowi infrastruktur dibikin dimana-mana. Dengan adanya pembangunan seperti
ini diharapkan ekonomi akan tumbuh lebih baik dan pemanfaatan hutang menjadi
semakin baik. Tetapi kenapa hal yang seperti ini tidak terjadi? Ada yamg
salahkah? Mari kita lihat apa yang dibangun Jokowi.
EOWI
menduga dibangun Jokowi tidak memandang keekonomian proyek, atau dipandang
dengan kacamata tukang las listrik. Contoh pertama adalah jalan Trans-Papua.
Dasarnya jelas bukan ekonomi. Dengan penduduk 3.5 juta jiwa di seluruh pulau
yang besarnya 50 kali Jabodetabek, sulit dibilang dasarnya ekonomi. Dengan jumlah
penduduk sedikit yang hanya 1/9 Jabodetabek dan wilayah 50 x Jabodetabek, sulit
dikatakan bahwa penggunaannya effektif. Kalau ada mobil lewat setiap jam saja
sudah bagus. Dipihak lain ada pembatasan mobil di Jabodetabek dengan sistem
ganjil-genap di beberapa jalan tolnya. Dengan kata lain Jabodetabek lebih
memerlukan dari pada Papua.
Saya
akan beri contoh bahwa Papua kurang memerlukan jalan antar wilayah. Sekitar 3 –
8 tahun lalu anda melakukan google map di wilayah Bintuni, akan terlihat
garis-garis saling memotong menghubungkan Topoi, Nagote, SP dan sekitarnya. Itu
adalah jalan-jalan yang dibikin oleh Genting Energy Pte, PT Varita dan Jayanti.
Karena kegiatan mereka menurun, jalan-jalan itu sebagian kurang terpelihara dan
kembali agak menghutan. Garis-garis itu saat ini terlihat di Google map agak
memudar. Kalau di Bintuni jalan-jalan kurang terpelihara karena jarang dipakai,
kenapa harus bikin baru? Bukan kah lebih masuk di akal jika pembuatan jalan itu
di wilayah Jabodetabek yang macet?
Mungkin
alasannya membangun Trans-Papua agar rakyat Papua menikmati pembangunan,
maksudnya pemerataan hasil pembangunan. Bukankah lebih murah memindahkan 3.5
juta penduduk Papua ke Jawa atau Sumatera dari pada membuat Papua seperti
Jabodetabek?
Jalan
perbatasan Kalimantan, juga mungkin bukan yang didasari atas pertimbangan ekonomi,
melainkan suatu beban liability. Kalau tujuan membangun jalan tersebut untuk
menjaga keutuhan wilayah, artinya wilayah ini sudah menjadi liability. Seperti
Timor-Timur dulu. Kita harus bersyukur Timor-Timur lepas dari Negara Kesatuan
(yang tidak bersatu lagi) RI. Karena Timor-Timur sejak awal sudah merupakan
liability. Pembangunan disana yang tujuannya untuk menyenangkan rakyat
Timor-Timur dengan demikian diharapkan mereka suka bergabung dengan NKRI.
Tetapi, karena pertimbangannya bukan ekonomi, maka artinya liability. Lama-lama
tidak tahan juga NKRI.
Jalan-jalan
layang untuk busway, elevated busway, itu juga tidak masuk akal. Seperti jalan
layang busway di jl. Tendean......, masih baik kalau setiap menit dilalui
kendaraan. Seringnya 15 menit sekali atau lebih lama, padahal di bawahnya
macet.
Saya
tidak akan berlama-lama panjang lebar membahas pembangunan infrastruktur
Jokowi. Anda bisa lihat sendiri. Mungkin nantinya elevated busway akan menelan
korban. Di Pancoran nantinya kita bisa bersalaman dengan patung dirgantara yang
tingginya 30 meteran. Bayangkan kalau anda sakit jantung (yang tidak diketahui)
harus mendaki 30 meter. Tetapi itu bukan jamannya Jokowi lagi......
Renungan
Kembali
pada judul di atas, Hutang: Berbahaya
Atau Tidak? Jawabnya bisa iya dan bisa tidak, bergantung pada
penggunaannya. Berhutang yang bijaksana adalah jika digunakan untuk hal-hal
yang produktif sehingga bisa menjadi self-liquidating, hutang itu melunasi
sendiri. Penggunaan hutang itu harus didasari atas pertimbangan dan perhitungan
ekonomis, bukan pemerataan kemakmuran, bukan juga mempertahankan kedaulatan dan
bukan juga untuk tujuan-tujuan popularitas. Saya tidak melihat hal ini
dilakukan oleh rejim Jokowi. Dan......, mungkin juga penggantinya nanti.
Nampaknya pemerintah semakin gatal untuk mencampuri urusan rakyatnya. Banyak
yang tidak bisa melihat autopilot lebih baik dari pada pembangunan untuk
pemerataan, untuk menjaga keutuhan kedaulatan wilayah, untuk tujuan
populis,....... Akan lebih baik lagi jika rakyat tidak diurisi oleh pemerintah.
Tentu saja anggota DPR harus dikurangi sampai 50 orang saja, kementerian hanya
4, tidak ada wakil presiden, pegawai negri dikurangi sampai 10% saja dan
provinsi diciutkan, pajak dikurangi banyak (dihilangkan). Seperti jaman Belanda
dulu, pemerintahan yang kecil. Untuk apa semua itu diadakan jika rakyat tidak
diurusi lagi.
Jadi......hutang
yang pemakaiannya tidak didasari oleh pertimbangan dan perhitungan ekonomi,
akhirnya akan membawa bencana. Walaupun tidak dikorupsi. Kapan bencana itu
datang? Mungkin tidak dalam waktu 2 – 5 tahun mendatang. Tetapi dalam dekade
mendatang......, mungkin.
Harus
diingat hutang yang tidak self-liquidating itu adalah adalah pelanggaran
hak-hak mereka yang belum punya hak memilih/vote (belum berumur). Mereka yang
tidak memilih itulah yang harus menanggung beban nantinya. Agak menyimpang dari
apa yang tertulis di Proverb 22:7, yaitu mereka, generasi mendatang lah yang
akan jadi budak untuk para kreditur pendahulunya, bapak-bapaknya yang tidak
dipilihnya (dalam pemilu). Enak ya pemerintah? Untuk hutang demokrasi dan keadilan tidak berlaku.
Jakarta 20
April 2018
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.
18 comments:
harusnya seperti ahok bangun simpang susun semanggi gak membebani negara dan manfaatnya sangat besar mengingat strategis dan penggunaannya,itu namanya memindahkan kemakmuran dari politikus ke masyarakat
setuju pak is?
Yup...., tepatnya menggunakan uang pajak dgn baik.
bukan berarti saya bela jokowi,tp kalau bangun infrastruktur mengikuti bisnis tentu dipandang rugi,tp membangun infrastruktur di wilayah yg masih sepi tentu bisa jadi investasi meskipun tujuan awalnya populis bisa jadi akan membawa keuntungan dikemudian hari,krn pembebasan lahan masih murah di daerah ketimbang di jawa
terlalu extreme dan berhaluan kanan kalau mengurangi birokrasi sampai 90%, mungkin 50% yang baiknya
Hutang adalah tidak baik, mengapa? Karena akan membuat sengsara manusia. Contohnya apa? Krisis moneter yg dialami indonesia, karena salah satu faktornya adalah hutang yg besar. Krisis subprime morgage di Amerika yg sampai bikin pusing pemerintah Amerika.
Yang baik apa? Yg baik adalah berdagang dan bersedekah.
kenapa kalau pemerintah selalu membandingkan debt dengan gdp ? padahal gdp itu kan bukan penghasilan pemerintah? gdp itu kan penghasilan seluruh rakyat. artinya yg dijadikan jaminan itu aset seluruh rakyat kalau pemeintah tidak bisa melunasi hutang? kenapa ngak membandingkan debt dengan aset pemerintah?
jawabannya: krn namanya juga pemerintah...:D make lies nothing but lies :D
Anggota DPR dikurangi ? DPR malah minta tambahan anggaran triliunan rupiah ! Mimpi INDAH jauh dari kenyataan yang PAHIT.
Saya setuju dengan Pak IS. Apakah Anda bisa jelaskan efektifitas dan tujuan dengan banyaknya jumlah birokrat dan pegawai pemerintah (agak sedikit brrbeda dengan pegawsi negri) seperti saat ini?
Pagi, Mas sesudah take profit USD, diatas 17 ribu, sebaiknya apa beli silver ? Di mana bisa belinya ? Apa di bursa komoditas via Monex, Valbury atau yang terbaik di mana ya ? Budget saya sekitar 5 miliar rupiah.
Terima kasih.
Pas banget ni pak IS,,, konon akan ada debat antara bu SM dan pak RR tentang hutang luar negeri.
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/04/27/p7txiw383-rakyat-menanti-debat-rizal-ramli-vs-sri-mulyani
lagi rame neh memang pak IS, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/04/27/p7txiw383-rakyat-menanti-debat-rizal-ramli-vs-sri-mulyani.
Ini yang saya tunggu postingan pak waras
Saya setuju dari dulu dengan ide2 pak waras kalau negara maju itu bukanlah membangun desanya tapi membangun kota. Contohlah Amerika yang punya Alaska(kalau di Indonesia punya Papua). Alaska luas, penduduknya sedikit tapi Amerika gak pernah punya niatan bikin Alaska jadi kota. Bahkan kota2 disanan jarang di aspal. Memang sih ada yang tinggal di Alaska tapi itupun cuman buat minyak bumi dan jalur logistik Amerika-Asia. Nah di Indonesia malah desa yang dibangun, petani di subsidi bukannya harusnya industrialisasi dan urbanisasi. Entah ada apa pemerintah obsesi pemerataan.
Dan jujur saja saya bukanlah orang yang relijius tapi saya senang dengan konsep janganlah berutang dan hijrah. Jangan berutang karena itu mengambil konsumsi di masa depan dan berhijrahlah kalau di daerahmu gak enak. Orang Papua lahannya luas, orangnya sedikit tapi miskin kenapa? Itu berarti petani mereka gak bisa memanfaatkan secara maksimal lahan mereka untuk diolah menjadi lahan produktif. Orang Jakarta lahannya sedikit tapi bisa kaya kenapa? Itu berarti orang Jakarta pintar menggunakan otak mereka, orang Jakarta gak butuh lahan, tambang, laut, tapi yang dibutuhkan otak dan inilah yang saya maksud harunsya kita urbanisasi.
Masalah pembangunan di papua coba pak is tidak hanya menyebutkan jumlah populasi di papua saja tapi pendapatan daerah papua yang di hasilkan serta berapa persen yang hanya di nikmati masarkat nya ?
Thanks
Imam Semar muncul kembali, karena minyak naik lagi sampe $70? Udah dapet kerjaan lagi pak wo?
weleh2 ...ini IS kw berapa, ujug2 menghalalkan pajak dan infrastruktur? bukankah IS yg orisinal dulunya anti pajak dan infra itu lebih banyak mudaratnya?
https://www.cnbcindonesia.com/market/20180516074141-17-15105/risiko-kurs-hantui-utang-pemerintah-yang-capai-ribuan-triliun
hutang makin berat ketika dalam mata uang asing?
Jika pembangunan negara hanya berorintasi ekonomi atau bisnis, maka jangan harap sila kelima akan pernah terwujud. Jangan pernah berharap ada listrik di daerah-daerah yang tidak ada potensi ekonominya.
Kenapa harus PNS, Menteri yang dikurangi bukankah penghasilan mereka yang juga membuat roda ekonomi berputar? Kenapa bukan Napi, Karuptor, penduduk miskin dan gelandangan yang dikurangi dengan hukuman mati sehingga tidak membebani keuangan negara?
Anyway, negara ini memang carut marut dan masih membutuhkan proses yang panjang untuk menjadi negara yang disegani dunia, tapi saat ini sedikit lebih baik bahwa hutang digunakan untuk pembangunan bukan korupsi.
Hanya saja mungkin terlalu banyak pihak yang terusik kenyamanannya selama ini oleh pemerintah yang baru sehingga negara ini selalu gaduh. Semoga kegaduhan ini adalah sebuah proses untuk semakin mendewasakan penduduk Indonesia, negara ini indah karena perbedaan.
Negara Werfare State tidak akan berumur panjang, contohnya "ObamaCare"/ Venezuela yg memboroskan uang minyak utk subsidi penduduk tidak produktif demi ideologi Komunistik. Jaman minyak mahal bisa berfoya2, namun penurunan harga minyak membuat kertas toilet lebih mahal dari segepok mata uang, bahkan warga mereka tahun 2018 harus mengais2 tong sampah utk mengganjal lapar perut. Nasionalisasi sektor strategis membuat perusahaan2 vital jadi tidak kompetitif, sarat kemalasan dan korupsi. Memang seperti yg dicontohkan Rosulullah dan Khadijah; (Bahwa kapitalisme, saudagarisme adalah sistem ekonomi yg diberkahi Allah, dan bukan Sosialisme, apalagi Komunisme. Serahkan ekonomi pada "Hukum Alam", pada "Mekanisme Pasar", bukan pada intervensi pemerintah).
“Wahai Rasulullah barang-barang di kota Madinah mengalamai kenaikan harga” keluh seorang sahabat Nabi suatu hari, “tentukanlah harga” ia melanjutkan. Mendengar hal ini Nabi Muhammad –shalallahu ‘alaihi wa sallam– tidak lantas melakukan penentuan harga, namun memberikan sebuah wejangan bijak: “sesungguhnya Allah lah yang menjadikan harga naik atau turun,” setelah itu beliau kembali dipinta untuk menentukan harga, dan beliau memerintahkan sahabat untuk berdoa kepada Allah. (Hadits Abu Daud dan Tirmidzi)
Bible pun mengemukakan prinsip serupa "Jika Seorang Tidak Mau Bekerja, Janganlah Ia Makan" (II Tesalonika 3:10)
Post a Comment