Tulisan ini
saya dedikasikan kepada para baby boomer
Indonesia yang sedang memasuki masa pensiunnya. Karena dimasa yang tidak lama
lagi, ada peluang untuk terjadi krisis
ekonomi. Dan saat nanti itu, sifatnya global.
Beberapa
hari yang lalu, saya membicarakan seorang paman dengan adik saya yang tinggal
di London. Dulu sekitar tahun 1992 ia memperoleh uang pensiun sebesar Rp 60
juta. Saya perkirakan tabungannya mungkin ada sekitar Rp 150 juta. Sehingga
total simpanannya untuk menyongsong masa tuanya mencapai Rp 200 jutaan. Di masa
itu Rp 200 juta itu banyak sekali. Gaji
pembantu masih Rp 50,000. Dan untuk hidup biasa cukup Rp 1 juta. Jadi Rp 200
juta dengan dia bisa hidup sekitar 15 - 20 tahun dari tabungannya.
Sayangnya.....tahun
1998 terjadi krisis moneter di Indonesia. Dan 80% dari nilai tabungannya
amblas. Terus bagaimana dia harus hidup untuk sisa umurnya?
Obrolan saya
dengan adik saya itu berawal mengenai menguapnya uang suaminya dan dirinya yang
disimpan di salah satu anak perusahaan bank Lloyds di Cayman. Karena ada
persoalan dengan debiturnya, bank tersebut di-rushed oleh deposan-deposan besarnya. Adik saya dan suaminya adalah
investor kecil dan bukan deposan yang besar. Dan informasi semacam ini investor
kecil adalah orang-orang yang terakhir tahu. Oleh sebab itu depositnya sebesar ₤
350,000 (Rp 7.3 milyar) amblas. Padahal uang itu sebenarnya akan dipakai untuk
membeli rumah.
Ini adalah
kisah nyata. Yang satu kehilangan sebagian besar nilai tabungannya dan yang
satunya lagi kehilangan seluruh tabungannya. Bisa dibayangkan jika hal ini
terjadi lagi. Entah bagaimana cara para baby
boomer Indonesia melewati masa tuanya, jika mereka tidak siap. Itulah
sebabnya, tulisan ini saya dedikasikan untuk para baby boomer Indonesia....., yang akan/baru saja memasuki masa
pensiunnya.
Cerita ini
akan saya mulai dengan dua (2) penyataan:
Sentral bank
boleh mengglontorkan liquiditas, mencetak uang, tetapi masyarakat tidak bisa
dipaksa untuk mengambil kredit untuk membeli, mengkonsumsi sehingga roda
ekonomi berputar.
Sentral bank
boleh mengglontorkan liquiditas, mencetak uang dan membiarkan masyarakat
spekulan menggunakannya untuk berspekulasi bahkan pemerintah ikut meningkatkan pemborosannya
dengan proyek-proyeknya yang absurd serta ikut memborong saham dan bersama-sama
dengan spekulan mendongkrak harga asset (properti, saham, bond, akik dan barang
koleksi) dan selanjutnya menjadikannya bubble,
dan diharapkan pada akhirnya dikalangan masyarakat memberikan rasa kaya dan makmur yang notabene adalah illusi. Selanjutnya
diharapkan memberikan effek trickle down
dengan memicu konsumsi,.......yang akhirnya memutar roda ekonomi. Tetapi...... tidak
ada yang bisa memaksa masyarakat untuk tidak merasa kuatir akan masa depannya
dan mulai menabung, melunasi hutangnya dan berhemat.
Kurang lebih begitulah gambaran yang menjadi
latar belakang stimulasi ekonomi yang dilakukan pemerintah. Roda ekonomi bisa
berjalan lagi jika ada pengglontoran liquiditas. Itulah yang diinginkan
pemerintah serta bank-bank sentral untuk bisa membuat negaranya keluar dari
lingkaran deflasi, dimana masyarakatnya sedang menahan diri dari belanja dan
konsumsi. Sayangnya pemerintah tidak bisa memaksa masyarakat untuk tidak
mementahkan usahanya.
Deflasi
terjadi di masyarakat yang sedang punya kecenderungan untuk menabung, menunda
konsumsi dan melunasi hutangnya. Dan ini dipersepsikan akan membuat permintaan
atas barang dan jasa turun, dengan demikian harga barang cenderung turun dan
roda ekonomi melambat, pemasukkan pajak pemerintah turun, sehingga pemerintah
harus mengurangi kegiatannya.
Dimasa deflasi,
nilai uang meningkat karena meningkatnya daya beli uang akibat penurunan harga
barang. Uang $10 yang tadinya hanya bisa untuk membeli rupiah sebesar Rp 90,000,
ketika harganya turun 40%, maka dengan $10 itu bisa memperoleh Rp 166,000.
Dalam kondisi ini, beban hutang dalam denominasi mata uang yang mengalami
deflasi, menjadi semakin berat. Kalau US dollar yang mengalami deflasi maka
debitur US dollar semakin berat bebannya. Jika pemerintah adalah debitur, maka
pemerintah adalah yang dirugikan oleh kondisi deflasi.
Jadi deflasi
akan membuat beban hutang pemerintah menjadi berat sementara keuntungan akibat
deflasi tidak bisa dipajaki. Itu tidak disukai pemerintah!!! Oleh sebab itu
pemerintah harus memeranginya. War on
Deflation.
Di dalam
sistem yang berbasis riba, kredit yang melalui fractional reserve lending, akan berbeda dengan sistem yang
berbasis uang (Money).
Money dan credit
adalah dua hal yang berbeda. Inilah yang menentukan apakah krisis saat ini
adalah deflasi seperti Jepang atau inflasi seperti Zimbabwe, atau keduanya di
tempat yang berbeda.
Seorang
pembaca EOWI mengatakan bahwa EOWI berada di kubu deflasi, bersama Harry Dent.
Sebenarnya bukan hanya Harry Dent, tetapi beberapa analis kondang seperti
Robert Precter, dan blogger Mish Shedlock, dan yang tidak secara implisit
mengatakannya sebagai kubu deflasi, seperti John Mauldin, blogger Pater Tenebrarum.
Sementara
itu di kubu yang berlawanan adalah Peter Schiff dan yang agak lunak Jim Rickards.
Dan ada juga
kubu agnostik seperti Jim Rogers. Walaupun banyak yang menyangka Jim Rickards ada
di kubu inflasi, tetapi dilihat dari dasar-dasar opininya ada kemungkinan Jim
Rickards, setengahnya adalah kubu agnostik.
EOWI akan
menyajikan beberapa tulisan yang mendasari kepercayaan EOWI mengenai krisis
dunia saat ini. EOWI tidak fanatik berada di kubu deflasi atau inflasi. Kalau
pembaca EOWI yang lama ingat, sebelum tahun 2010, EOWI adalah salah satu cheerleader emas, perak dan komoditi.
Setelah itu EOWI beralih sebagai cheerleader
US dollar. Ada satu hal yang penting dipahami oleh investor dan penabung: “Jangan jatuh cinta pada investasinya dan tema
investasinya”.
Pada bagian
pertama ini EOWI akan menyajikan data-data. Dengan data ini pembaca bisa
menilai, apa yang sedang terjadi, tanpa ada pengaruh dari Harry Dent atau Peter
Schiff dan Jim Rickards. Kemudian, berikutnya adalah mengenai perjalanan rupiah
dari masa ke masa. Dan setelah itu........, ah itu nanti saja supaya pembaca
penasaran.
Data Money Velocity
Kita akan
memulai inti cerita dengan melihat data M1 money velocity. Tetapi sebelumnya EOWI
akan mengulangi paragraf yang ada di awal tulisan ini:
Sentral bank
boleh mengglontorkan liquiditas, mencetak uang dan membiarkan masyarakat
spekulan menggunakannya untuk berspekulasi bahkan pemerintah ikut meningkatkan
pemborosannya dengan proyek-proyeknya yang absurd serta ikut memborong saham
dan bersama-sama dengan spekulan mendongkrak harga asset (properti, saham,
bond, batu akik dan barang koleksi) dan selanjutnya menjadikannya bubble, dan diharapkan pada
akhirnya dikalangan masyarakat memberikan
rasa kaya dan makmur yang notabene adalah illusi. Selanjutnya diharapkan
memberikan effek trickle down dengan
memicu konsumsi,.......yang akhirnya memutar roda ekonomi. Tetapi...... tidak
ada yang bisa memaksa masyarakat untuk tidak merasa kuatir akan masa depannya
dan mulai menabung, melunasi hutangnya dan berhemat.
Pertanyaan
yang mendasar mengenai stimulus-stimulus yang dilakukan oleh bank-bank sentral
adalah: Apakah dengan stimulus dan membanjiri sistem dengan liquiditas akan
membuat masyarakat serta merta berbelanja?
Salah satu
indikator yang bisa dilihat adalah M1 money
velocity (MV)
M1 money velocity (MV) adalah ukuran yang
menunjukkan berapakali uang berpindah tangan untuk setiap uang yang diciptakan.
Kalau uang itu berpindah tangan berkali-kali maka hal tersebut mencerminkan
kemarakan ekonomi. Dengan kata lain, money
velocity (MV) adalah salah satu indikator kemarakan ekonomi. Setidaknya,
indikator effektivitas uang yang dicetak. Semakin besar MV tandanya penggunaan
uang semakin meningkat.
Kita lihat,
MV sejak tahun 2009 mengalami penurunan (Chart-1). Artinya perputaran uang
mengalami penyurutan. Uang dicetak, tetapi tidak sering digunakan. Lebih sering
ngendon di tabungan. Itu fakta.
Chart- 1
Dilihat dari
sisi M2, yaitu M1 + uang yang ada di buku tabungan di bank, keadaan juga tidak
berubah (Chart-2).
Chart- 2
Perpindahan
tangan, uang-uang yang ada termasuk yang di tabungan juga menurun.
Mungkin ada
yang berpikir bahwa penurunan perputaran uang karena meningkatnya angka tenaga
kerja. Saya gunakan kata tenaga kerja, supaya lebih nyata. Chart-3 menunjukkan
sejak tahun 2011 terjadi divergen (berlawanan arah) antara jumlah tenaga dengan
M2 money velocity. Sejak tahun 2011
M2 money velocity tetap turun,
sementara tetapi tingkat tenaga kerja (employment) meningkat. Nampaknya tekanan
kecenderungan untuk tidak melakukan konsumsi sedemikian kuatnya sehingga walaupun
ada peningkatan employment, tetapi
tidak ada imbasnya ke konsumsi.
Biasanya
antara employment dan M2 velocity punya trend yang seiring. Tetapi
selama tahun 2011 – 2015 tidak demikian. Hal seperti ini pernah terjadi antara
tahun 1982 – 1985, yang setahu saya, Amerika Utara sedang kurang baik
ekonominya. Kebetulan waktu itu saya tinggal disana.
Chart- 3
Kalau orang
enggan melakukan konsumsi dan cenderung melunasi hutangnya atau cenderung
menabung, apakah ini inflasi atau deflasi? Silahkan jawab sendiri.
Hutang Rumah Tangga
Bagaimana
dengan hutang? Apakah hutang-hutang mengalami kontraksi atau malah ekspansi?
Kemana larinya liquiditas yang diglontorkan bank-bank sentral?
Sebenarnya
pertanyaan-pertanyaan di atas sudah dijawab di artikel Ramalan Untuk Tahun Kambing 4713 (II).
Tetapi tidak
ada salahnya kita mengulangnya kembali.
Kita mulai
dengan hutang rumah tangga. Kita tahu bahwa Money
Velocity mengalami perlambatan. Apakah hal ini bersumber dari rumah tangga?
Kita mulai
dari Jerman. Kita tidak akan membahas Jepang, karena untuk Jepang jawabannya
sudah jelas.
Rumah tangga
di Jerman mengalami deleveraging. Hal
ini nampak pada rasio hutang rumah tangga terhadap GDP di Jerman menurun
(Chart-4) sejak akhir 2008. Jadi setelah krisis 2008, kultur konsumsi orang
Jerman berubah.
Chart- 4
Silahkan
simpulkan, apakah ini inflasi atau deflasi.
Sekarang
kita lihat untuk US, negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Chart di
bawah ini menunjukan bahwa rumah tangga di US juga melakukan pelunasan hutang
sejak tahun 2009. Hutang rumah tangga secara konsisten turun dari tahun ke
tahun.
Chart- 5
Jadi secara
fakta…., apakah ini inflasi atau deflasi?
Bagaimana
dengan Cina, negara dengan ekonomi terbesar ke dua di dunia setelah US?
Hutang rumah
tangga Cina memang masih menanjak (Chart-6, kurva biru). Tetapi dari sudut
kecepatannya, terjadi perlambatan (kurva merah). Yang menarik adalah pada tahun
2007, menjelang krisis sub-prime,
hutang rumah tangga meningkat dengan drastis, kemudian berhenti tumbuh di masa
krisis sub-prime 2008 - 2009.
Jadi secara
kenyataan, masyarakat/keluarga di Cina, negara dengan ekonomi terbesar ke dua
di dunia masih belum melakukan deleveraging
hutang, walaupun sedang mengalami perlambatan.
Chart- 6
Tanpa ingin
bertele-tele mengeluarkan semua chart, secara umum Eropa barat mengalami
kontraksi hutang rumah tangga. Dari 3-4 negara dengan ekonomi terbesar dunia
dan Eropa, hutang rumah tangga mengalami kontraksi, setidaknya mengalami
perlambatan. Apakah ini deflasi atau inflasi?
Kata yang
tepat: bubble hutang rumah tangga
yang mengempis alias deflated.
Hutang Perusahaan (Non-Finansial)
Kalau hutang
pemerintah, semua pemerintah di dunia, dari US, Cina, Jerman, Inggris, Prancis,
Jepang..... mungkin Yunani sebagai
pengecualian,.....semua orang juga tahu. Yaitu, pasti naik sepanjang tahun 2009
– 2015. Karena pemerintah perlu dana untuk melakukan kegiatan-kegiatannya dan
pemasukkan pajak tidak mencukupi.
Tetapi
bagaimana dengan dunia usaha, corporate, perusahaan? Apakah mereka melakukan deleveraging terhadap hutang mereka. Toh
konsumen yang mereka servis melakukan deleveraging
terhadap hutang? Apakah dunia usaha masih melakukan ekspansi (dengan hutang)?
Chart
berikut ini menunjukkan bahwa corporate di US tidak melakukan deleveraging selama krisis sub-prime
atau sesudahnya. Hutang dan liabilities nya masih menanjak terus.
Chart- 7
Kita
harapkan hal yang sama untuk Cina atau negara lain.
Pertanyaannya
adalah, untuk apa mereka melakukan ekspansi, sedangkan konsumen melakukan
perlambatan? Sampai berapa jauh corporate bisa seperti ini?
Mungkin
pertanyaannya tidak tepat bagi tulisan ini. Siapa yang perduli apakah corporate
masih ekspansi atau tidak. Toh hal itu adalah masalah ke-tidak-rasionalan
manusia. Pertanyaan yang lebih tepat dalam konteks tulisan ini adalah: Apakah
ini deflasi atau inflasi?
Anda bisa
menjawabnya sendiri.
Harga Bahan Komoditi
Bahan
komoditi memang bukan merupakan indikator aktifitas ekonomi. Bisa digunakan,
tetapi tidak selalu seiring dengan aktivitas ekonomi. Harus ditambahkan faktor
spekulasi dan leveraging di sektor
ini. Hanya saja kadar spekulasinya, apakah lebih besar dari pada faktor
permintaan-penawaran, untuk setiap periode akan berbeda.
Sejak
terjadinya krisis subprime, sektor
komoditi sudah mengalami penyurutan. Ini terlihat di sektor logam. Walaupun
terjadi rebounce karena
stimulus-stimulus ekonomi yang diglontorkan pemerintah-pemerintah, tetapi
akhirnya tidak bisa juga menahan tekanan untuk deleveraging. Sejak tahun 2011, komoditi metal mengalami tekanan
dan turun (Chart-8). Rebounce nya
adalah a dead cat rebounce.
Chart- 8
Sektor
minyak juga mengalami hal yang sama, hanya saja indeks harga minyak mentah dan
produk-produknya bisa bertahan sampai tahun 2014, sebelum terjun bebas kembali
(Chart-9). Dan secara keseluruhan sektor komoditi mempunyai dead cat rebounce yang mirip dengan
sektor minyak (Chart-10).
Chart- 9
Chart- 10
Jadi
bagaimana kesimpulan untuk sektor ini? Deflasi atau inflasi?
Opini EOWI:
....., ini bubble komoditi yang pecah,
karena toh rebounce nya adalah dead cat bounce!
Pasar Saham
Krisis
sub-prime 2007, bursa saham mengalami crash,
tetapi di awal tahun 2009 hampir semua bursa di dunia mengalami rebounce. Bahkan banyak diantaranya
kemudian menciptakan rekor baru.
Bursa saham kecipratan (spill-over) dari stimulasi bank-bank sentral adalah yang lebih
tepat untuk pertanyaan, kemana saja larinya liquiditas yang diglontorkan
bank-bank sentral. Hal ini bisa dilihat juga dengan meningkatnya margin debt di bursa saham (Chart-11).
Chart- 11
Tidak semua
bursa saham memulai rebounce nya di
tahun 2009. seperti bursa Cina, misalnya, baru mengalami rebounce pada tahun 2014, setahun lalu. Di Cina pengglelontoran
liquiditas melimpah ke sektor properti sehingga mem-bubble, seperti halnya di Indonesia. Baru setelah bubble properti Cina berhenti
menggembung (belum pecah lagi), spekulasi beralih ke bursa saham. Indeks saham
Shanghai meroket (Chart-12) dan dalam kurun waktu 1 tahun menjadi hampir 2.5
kali lipat!!
Chart- 12
Dan bulan
lalu tepatnya 5 Juni 2015, indeks Shanghai mencapai 5,023 dan setelah itu
terjun bebas, terpangkas 20% hanya dalam kurun waktu kurang dari 1 bulan.
Apakah
terjun bebas ini akan berlanjut? Jika “iya” maka targetnya adalah di bawah
2,000.
Wow..........,
ini berbahaya. Lebih berbahaya dari gagal bayarnya hutang Yunani.
Data Inflasi
Poin
terakhir........data inflasi. Untuk menentukan apakah sekarang ini masa inflasi
atau deflasi, bukan kah lebih baik melihat langsung pada data inflasi
harga-harga bahan konsumen?
Di bawah in
adalah data inflasi harga barang konsumen di US. Ingat grafik ini adalah untuk
US dan harga barang-barang yang disurvey adalah dalam US dollar, bukan dalam
yen, rupiah atau euro.
Inflasi
Y-o-Y kadang meningkat dan kadang melambat. Tetapi menurut grafik di bawah ini,
untuk tahun 2009 dan selanjutnya cenderung menurun.
Chart- 13
Jadi
kesimpulannya bagaimana?
Menurut
grafik di atas: Inflasi harga (bukan inflasi lainnya) dalam US dollar,
di US, cenderung menurun. Tetapi belum negatif. Itu kesimpulannya.
Harus
diingat bahwa grafik/data di atas adalah untuk US saja dan mata uang yang
digunakan untuk menentukan harga adalah US dollar. Kalau untuk Indonesia,
Yunani, Malaysia atau Cina......., grafiknya lain lagi.
Apa
implikasi dari grafik di atas. Apakah anda pikir the Fed akan menaikkan suku
bunganya untuk memerangi inflasi? Kalau anda jawab “iya”......., sebaiknya anda
jangan baca EOWI lagi.
Kesimpulan
Bagaimana
kesimpulannya?
Silahkan
simpulkan sendiri........mau ikut Jim Rickards? Harry Dent? Peter Schiff?
Silahkan.
Bagi
EOWI......., yang ada adalah bubble-bubble-bubble.
Ada yang sedang mengempis, ada yang sudah matang, siap meletup dan ada yang
masih mekar dipompa.
Sekian
dulu....., semoga anda tercerahkan.
Kalau anda
belum jadi follower EOWI, silahkan
klik link untuk jadi follower, supaya
EOWI jadi keren, karena banyak followernya. Dan anda juga jadi keren karena membaca secara rutin situs
ekonomi alternatif yang terbaik di Indonesia.
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.
2 comments:
pak is tetep kaya dulu dong pak gaya menulisnya jangan takut dong pak kan sudah ada disclaimer mengenai opini bapak. apa ada aparat pemerintah yang keberatan atas opini bapak?
Jakarta, Aktual.com – Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyatakan perusahaan asal negeri mereka bakal terus berinvestasi di Indonesia, selama keberadaannya diinginkan Pemerintah Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Wakil Asisten Menteri Energi AS Jonathan Elkind, menanggapi langkah Presiden Joko Widodo yang memberi previllege kepada PT Pertamina (Persero).
Yakni terkait masa kontrak ladang minyak dalam negeri yang akan habis masa kontrak pengelolaannya dari tangan swasta asing, sebagaimana yang telah dilakukan dalam isu Blok Mahakam di Kalimantan Timur.
“Perusahaan AS bisa kontribusi dengan baik di pasar Indonesia apabila pemerintah Indonesia masih menginginkan keberadaan mereka di Indonesia,” kata Elkind, dalam jumpa pers usai menghadiri acara diskusi bertajuk Indonesia Energy Investment Roundtable di Jakarta, Senin (3/8).
Siap Investasi, Perusahaan AS Tunggu ‘Sinyal’ Pemerintah Indonesia
Post a Comment