Beberapa hari lalu seorang teman mengirimkan e-book dari sebuah buku klasik: "The Collapse of Complex Societies", yang dikarang tahun 1988 oleh Joseph Tainter. Ceritanya merupakan analisa tentang sebab-sebab kejatuhan masyarakat-masyarakat yang kompleks seperti peradaban Maya di Amerika, Harappa di lembah sungai Indus, Romawi. Yang sangat menarik adalah mengenai keruntuhan Romawi, karena catatan sejarahnya sangat lengkap.
Menurut sejarah, evolusi imperium Romawi menuju masyarakat yang makmur menjadikan masyarakat Romawi menjadi kompleks. Setiap persoal ditanggap dengan penambahan lapis birokrasi (terdengar sangat akrab). Tetapi penambahan ini membebani masyarakat karena pajaknya. Lama-lama kaum ksatria (birokrat, tentara, mercenaries, tukang palak) berkembang sejalan dengan pajak dan debasement dari uang sehingga kaum waisya (kaum produktif) tidak sanggup menanggung beban lagi. Banyak tanah ditinggalkan kaum waisya, karena menjadi kaum ksatria lebih enak. Kaum waisya yang tersisa akhirnya tidak tahan lagi. Kalau ada bangsa asing datang, mereka tidak segan-segan membantu untuk menggulingkan pemerintahan daerah. Ini yang terjadi pada masa Islam masuk ke Afrika Utara. Amru bin As diundang oleh penguasa lokal untuk mengusir Romawi dari daerahnya.
Saya akan berusaha untuk mengupload filenya supaya bisa didownload bagi mereka yang ingin membacanya. Caranya masih belum tahu. Buku ini menarik karena perkembangan Amerika Serikat, Uni Soviet dan Indonesia nampaknya mengikuti pola yang sama.
Minggu lalu, Indonesia dilecehkan oleh Malaysia. Tetapi presiden RI yang tinggi besar dengan suara ditenggorokan yang diucapkan dengan menekuk leher supaya terdengar berwibawa, ternyata diam saja. Kata orang Betawi, SBY gede-gede tengek.
Dari pada mengurusi politik dalam negri, lebih baik kita teruskan cerita tentang Sejarah Kemakmuran Bangsa Indonesia. Kita mulai lagi saja.
Masa Orde Baru – Jaman Pelita, Tinggal Landas dan Nyungsep
Secara sederhana jaman Orba bisa disebut jaman dimana ekonomi tinggal landas dan akhirnya nyungsep. Mulainya Orde Baru (Orba) ditandai dengan beberapa hal penting dibidang keuangan dan pembangunan. Di bidang moneter, uang Orla dihapuskan dan Rp 1000 (Orla) menjadi Rp 1 (Orba) pada bulan Desember 1965. Sebabnya (mungkin) untuk mempertahankan arti kata jutawan. Seorang jutawan seharusnya mempunyai status sosial/ekonomi yang tinggi di masyarakat. Tetapi pada saat itu mengalami penggerusan makna. Untuk menggambarkan situasinya, tahun 1964 uang Rp 1000 (Orla) bisa untuk hidup sekeluarga 1 hari. Tetapi tahun 1967 uang itu hanya bisa untuk beli sebungkus kwaci. Sulit bagi orang awam untuk menerima kenyataan yang sudah berubah dalam waktu yang demikian singkat. Seorang jutawan tadinya berarti kaya raya berubah maknanya menjadi pemilik 1000 bungkus kwaci. Hal ini hanya berlangsung dalam kurun waktu 3 tahun dari tahun 1964 sampai 1967, cepat sekali.
Pemotongan nilai nominal dari Rp 1.000 (Orla) ke Rp 1 (Orba) bisa juga dikarenakan gambar Sukarno pada design uang Orla itu sudah membosankan. Itu hanya rekaan saya saja yang diungkapkan dalam suatu sarkasme. Yang tahu pastinya hanya para pejabat di Bank Indonesia pada saat itu.
Awal dari Orba, politikus mahasiswa melakukan tuntutan yang dikenal dengan Tritura (tiga tuntutan rakyat) yaitu
§ Bubarkan PKI,
§ Bentuk kabinet baru dan
§ Turunkan harga
Untuk membubarkan PKI dan membentuk kabinet sangat mudah. Tetapi untuk menurunkan harga? Tidak pernah terjadi sampai Orba tumbang 3,5 dekade kemudian. Bahkan walaupun beberapa menteri yang duduk di kabinet Orba selama beberapa masa bakti dulunya adalah aktivis/politikus mahasiswa, seperti Akbar Tanjung (mantan ketua Umum HMI Jakarta), Cosmas Batubara (mantan Ketua Presidium KAMI Pusat), Abdul Gafur (Wakil Ketua Dewan Mahasiswa UI. 1963-1965, Ketua Presidium KAMI UI/Pembantu Umum KAMI Pusat, 1966) yang meneriakkan Tritura, harga-harga tidak pernah turun. Itu fakta. Kita tidak bisa tahu apakah mereka lupa atau tuntutan itu tidak penting bagi mereka karena sudah menempati posisi yang enak di pemerintahan menjadi menteri dan anggota DPR. Itulah politikus, apakah itu berasal dari mahasiswa, seperti Sukarno dan Mohammad Hatta, pola jalurnya sama. Pola sirkus dan rotinya sama.
Awal langkah politik pemerintahan Suharto adalah purging (melenyapkan) elemen-elemen yang pro Sukarno. Elemen-elemen ini disingkirkan dari posisi-posisi penting di pemerintahan bahkan ada yang ditahan, diadili secara militer oleh mahmilub (mahmilub = mahkamah militer luar biasa) dan dihukum mati atau dipenjarakan untuk waktu yang lama sekali. Periode pemerintahan Sukarno disebut secara resmi dalam sejarah sebagai Orde Lama (yang berkonotasi negatif) dan dikontraskan dengan nama pemerintahan yang baru yaitu Orde Baru. Kota Sukarnopura diganti menjadi Jayapura. Puncak Sukarno di Irian Barat, diganti menjadi puncak Jayawijaya. Seperti yang disebutkan di atas, uang yang bergambar Sukarno ditarik dari peredaran. Sukarno sendiri meninggal dalam tahanan rumah dan dikebumikan di Blitar, bukan Taman Makam Pahlawan. Adapun sebabnya ia tidak dikebumikan di Taman Makam Pahlawan, mungkin karena Sukarno pada saat itu bukan pahlawan. Ia menjadi pahlawan 18 tahun kemudian, setelah ada beberapa lembar kertas yang disebut keputusan presiden yang menyatakan bahwa Sukarno adalah pahlawan. Tanpa kertas itu, Sukarno bukan pahlawan.
GDP nominal pada awal Orde Baru (katakanlah tahun 1967) adalah $ 54,70 per kapita. Pada saat Orde Baru digantikan Orde Reformasi (tahun 1997) GDP Indonesia menjadi $ 448,56 per kapita. Jadi selama 30 tahun naik 8,2 kali lipat!!! Hebat?? (dengan tanda tanya). Saya pertanyakan pujian untuk Orde Baru karena selama 30 tahun itu keluarga saya, tetangga saya, handai taulan tidak bertambah kemakmurannya sebanyak 8,2 kali lipat. Tiga kali lipat pun tidak. Bagaimana mungkin lebih makmur kalau pada awal Orba tarif bus dalam kota di Jakarta adalah Rp 15 dan pada akhir Orba Rp 1.000, naik 7500%!! Selama 30 tahun nominal GDP dalam US dollar tumbuh rata-rata 13% per tahun. Sedangkan GDP-Purchasing Power Parity tumbuh rata-rata 4,33% per tahun. Kalau dilihat antara kenaikan GDP dan kenaikan tarif bus kota, kurang lebih sama. Secara keseluruhan, data-data ini menimbulkan pertanyaannya, apakah kenaikan GDP ini hanya bohong-bohongan saja?
Pada awalnya pembangunan di jaman Orba direncanakan melalui tahapan 5 tahun yang dikenal dengan Pembangunan Lima Tahun atau Pelita. Rejim Suharto memulai pemerintahannya dengan membuka ekonomi bagi kapitalis-kapitalis yang dulunya dimusuhi Sukarno. Investasi dan modal asing masuk. Pabrik-pabrik dan industri perakitan bermunculan. Pertumbuhan ekonomi cukup bagus karena dibantu dengan boom di sektor bahan komoditi (awal 1970 sampai awal dekade 1980) seperti bahan tambang, minyak, kayu dan lain-lainnya. Indonesia bisa menjadi negara pengekspor minyak dan komoditi lainnya karena masuknya investor asing. Pendapatan pemerintah dari minyak dan bahan komoditi lainnya seharusnya relatif besar. Walaupun demikian, pemerintah masih tidak bisa membuat budgetnya berimbang. Secara resmi memang budget pemerintah selalu berimbang. Tetapi kalau ditelusuri lebih jauh, ada yang namanya pengeluaran pemerintah yang non-budgeter. Nama lain dari defisit. Jadi jangan heran bahwa inflasi pada saat itu cukup tinggi. Rupiah beberapa kali mengalami devaluasi terhadap dollar Amerika. Yaitu pada bulan April 1970 dari Rp 378 ke Rp 415 per dollar, pada bulan November 1978 dari Rp 416 ke Rp 625 dan Maret 1983 dari Rp 615 ke Rp 970 per dollar. Padahal pada periode yang sama US dollar mengalami kemerosotan nilai karena inflasi. Dengan kata lain kemerosotan nilai riil rupiah sangatlah parah.
Pemerintahan Suharto memperkenalkan konsep dwi-fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Ini adalah jalan untuk menempatkan perwira-perwira ABRI di sektor-sektor bisnis. Hampir semua direktur dan beberapa posisi atas di BUMN ditempati oleh ABRI. Konsesi-konsesi hutan juga banyak diberikan kepada anggota-anggota ABRI. Demikian juga posisi penting di pemerintahan daerah, seperti gubernur, bupati dipegang oleh ABRI. Bahkan sampai ke desa-desa, Babinsa (badan pembina desa), biasanya dimotori oleh militer berpangkat bintara. Profesi ABRI menjadi idaman bagi banyak sarjana. Mereka tergiur untuk masuk ABRI dengan pangkat letnan dua setelah lulus universitas. Karena karier swasta/BUMN dan pemerintahan lebih mudah dititi dari jalur ABRI, bukan dari jalur bisnis riil.
Dalam hal sirkus, kalau Sukarno caranya persuasif melalui kharismanya, Suharto tidak mempunyai kharisma yang bisa memukau orang banyak, maka tangan besi menjadi andalannya. Kalau Sukarno bak penjual yang mampu meyakinkan orang Eskimo membeli kulkas, Suharto bak raja dijaman dulu, lebih banyak menggunakan kekuasaannya, penekanan-penekanan dan pembatasan-pembatasan. Pada sampai pertengahan dekade 1980an, untuk mendaftar sekolah, bekerja, membuat pasport, SIM (surat ijin mengemudi) memerlukan surat berkelakuan baik dari polisi, surat bebas G30S dan untuk mengurusnya harus melewati birokrasi yang panjang. Demikian juga kalau sekolah ke luar negri, diharuskan untuk memperoleh surat keterangan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sekalipun biaya sekolah itu dari saku pribadi.
Rejim Suharto mempercayai teori ekonom keblinger dari Inggris Robert Malthus. Robert Malthus mengatakan dalam karangannya An Essay on the Principle of Population yang diterbitkan tahun 1798-1826 bahwa populasi manusia bertambah bagai deret ukur dan makanan yang bisa diproduksi oleh bumi hanya naik bagai deret hitung. Dalam bahasa awamnya: kemampuan manusia beranak-pinak jauh melebihi dari pada kemampuan bumi ini dalam menyediakan makanan. Dan suatu saat manusia akan kekurangan pangan, pertumbuhan populasi akan terhenti. Robert Malthus, walaupun dia seorang rohaniawan gereja Anglikan, tetapi dia percaya bahwa Tuhan adalah keledai. Dia pasti akan berkelit licin sekali mengenai keimanannya, kalau dia dihadapkan pada ayat-ayat kitab sucinya seperti:
Para ekonom, perencana pembangunan, kyai dan rohaniawan dalam rejim Suharto yang memuja dewa yang sudah lama mati yang bernama Robert Maltus ini. Para kyainya juga percaya bahwa Tuhan lupa menyiapkan sumber makanan bagi manusia ketika menciptakan alam ini. Bahkan kalau ditanya tentang ayat ini:
Kampanye dan program “dua anak saja cukup” diluncurkan dengan nama “keluarga berencana” (KB). Walaupun jiwa pelaksanaan keluarga berencana ini adalah persuasif, aparat pemerintah di lapangan seperti lurah dan camat di daerah yang terlalu bersemangat sering memaksakan penggunaan alat-alat kontrasepsi kepada masyarakatnya, bahkan prosedur tubektomi. Demi suksesnya KB, kebohonganpun dihalalkan. IUD yang sering disebut spiral, dikatakan sebagai penghalang bertemunya sperma dengan telur. Padahal, menurut teori kedokteran moderen, cara kerja IUD (spiral) adalah menghalangi nidasi (konsepsi dan implatasi) yaitu membuat kondisi rahim yang tidak ramah terhadap sperma dan siap menolak blastula (embryo yang sudah tumbuh menjadi kurang lebih 128 sel). Informasi ini dapat ditemukan di banyak buku-buku kedokteran. Seandainya anda malas perpustakaan, informasi ini bisa dicari di internet[link]. Jadi sebenarnya cara kerja spiral bisa disebut aborsi, kalau janin yang berumur sampai 14 hari bisa disebut janin. Kalau hal ini diterangkan kepada ulama dan pemuka agama yang lurus keimanannya, kemungkinan mereka mengharamkan penggunaan spiral.
Robert Malthus punya waktu yang cukup lama untuk membuktikan kebenaran teorinya yang secara implisit menganggap Tuhan sebagai keledai yang tidak becus atas kreasinya. Sejak dari dicetuskannya teori pertambahan penduduk dan pertambahan produksi pangannya sampai buku ini ditulis, sudah 210 tahun (terbilang: dua ratus sepuluh tahun). Waktu yang cukup lama. Rupanya yang menang adalah Tuhan. Dan ternyata yang berotak keledai bukan Tuhan, melainkan sang dewa Robert Maltus dan pengikutnya. Dua abad berlalu, dari tahun 1800 ketika Malthus mencetuskan idenya sampai 210 tahun kemudian, yaitu tahun 2010, teori Robert Malthus tidak pernah menjadi kenyataan. Populasi dunia berlipat 7 kali dari 1 milyar jiwa menjadi 6,9 milyar jiwa. Kekurangan pangan pandemi dunia tidak pernah terjadi, penyakit karena kekurangan pangan tidak pernah menjadi pandemi. Tidak hanya itu, manusia malah dihadapkan oleh persoalan kesehatan yang diakibatkan karena kelebihan pangan seperti obesitas, jantung koroner, darah tinggi dan kolesterol. Tuhan menciptakan Revolusi Hijau dan membuat Robert Maltus berserta para pemujanya nampak seperti keledai. Ternyata bumi ini tidak pernah kekurangan pangan seperti janji Quran dan Bible. Kelaparan secara endemi hanya untuk mereka yang suka perang, saling bertengkar dan membunuh serta mengesampingkan usaha-usaha untuk menghasilkan pangan seperti yang terjadi di Afrika dan muka bumi lainnya. Tidak sulit untuk mengatakan siapa yang keledai. Robert Malthus lah yang keledai. Juga para pengikutnya yang ada di kementerian wanita dan yang berurusan dengan masalah keluarga berencana. Anehnya keledai-keledai yang sama sejak tahun 2000an mulai mencemaskan demografi-demografi yang menua akibat kurangnya produksi anak dimasa lampau. Dulu mereka takut kelaparan karena ledakan penduduk, sekarang mereka takut kekurangan penduduk untuk menunjang generasi tua. Tuhan bukan keledai dan Ia sudah menyiapkan rezki bagi orang-orang tua di masyarakat yang berdemografi menua.
Pemerintahan Suharto tidak hanya tertarik pada masalah kamar tidur rakyatnya dan berapa jumlah anak yang mereka punyai, tetapi juga masalah teologi/agama yang dianut rakyatnya. Pancasila menjadi asas tunggal negara. Posisi Pancasila menjadi di atas agama. Penafsiran agama yang bertentangan dengan Pancasila akan dilibas. Bagi muslim yang menjadi mayoritas rakyat Indonesia hal ini terasa berat. Sebagian kalangan menganggap asas tunggal merupakan penghinaan bagi umat Islam. Hal ini menyulut sentimen anti pemerintah. Beberapa peristiwa berdarah, seperti Tragedi Tanjung Priok (September 1984), yang memakan korban beberapa ratus orang meninggal, dilatar belakangi oleh protes terhadap asas tunggal yang dipimpin oleh ustadz Amir Biki. Kontrol pemerintah terhadap khotbah dan ceramah juga ketat. Imaduddin Abdurrahim, pengajar ITB (Institut Teknologi Bandung) dilarang memberikan ceramah, diboikot dan akhirnya dibuang ke luar negri untuk memperoleh gelar sarjana lanjutan. AM Fatwa, seorang da’i, juga pernah dipenjara dimasa pemerintahan Suharto. Bagi seorang muslim, seharusnya sikap permusuhan dengan agama (paham) lain tidak ada karena:
Penekanan-penekanan oleh pemerintahan Orde Baru pada kaum muslimin yang bertahan terhadap asas tunggal Pancasila terus berlangsung selama dekade 1980an sampai menjelang dekade 1990an. Pemberian label Komando Jihad merupakan ciri yang umum terjadi, seperti halnya pemberian label “PKI” pada awal-awal Orde Baru (dekade 1970an) untuk mengirim orang ke rumah tahanan.
Program cuci otak dan indoktrinasi pada jaman Orde Baru dikenal dengan nama Penataran P4 (Pedoman Pengamalan Penghayatan Pancasila) bagi pegawai negri sipil, pegawai BUMN, pegawai kontraktor pertambangan dan pegawai perusahaan yang ada kaitannya dengan pemerintah. Bagi mahasiswa, diharuskan mengambil mata pelajaran Kewiraan yang isinya tentang Pancasila. Saya sendiri diwajibkan mengambil mata pelajaran yang berbau Pancasila dari mulai SMP sampai mahasiswa, lalu penataran P4 ketika bekerja, semuanya lulus karena hapalan mutlak, dan sekarang sudah lupa. Tidak seperti subjek matematik, deret Taylor, Runga Kutta, bermacam-macam reaksi kimia yang sampai sekarang saya masih ingat, pelajaran Pancasila sudah tidak ada yang ingat lagi. Tidak ada logika yang mendasari doktrin-doktrin Pancasila, sehingga sulit diingat.
Orde Baru juga mempunyai ambisi teritorial dengan menganeksasi Timor Timur bulan Oktober 1974. Terlepas apakah alasannya karena undangan rakyat Timor Timur, rakyat Timor-Timur ingin bersatu dengan Indonesia atau alasan lainnya, langkah ini terbukti harus dibayar mahal oleh nyawa, penderitaan tentara dan materi. Langkah menganeksasi Timor-Timur ini sulit dimengerti. Karena Timor-Timur tidak punya nilai ekonomis dan hanya akan menjadi beban untuk Indonesia (akhirnya terbukti). Untuk menarik simpati rakyat Timor-Timur, pemerintah Orde Baru membangun Timor-Timur. Dengan lebih 90% anggaran belanja daerah (APBD) dipasok dari pusat, Timor-Timur membangun. Untuk tahun 1993 misalnya, pendapatan asli daerah hanya Rp 3 milyar sedangkan anggaran belanja daerah adalah Rp 46,70 milyar. Hal seperti ini berlangsung selama berpuluh tahun, menjadi beban yang dipikul pembayar pajak. Dan uang itu untuk membangun sekolah-sekolah, rumah sakit, puskesmas, jalan raya dan infrastruktur lainnya yang tidak dinikmati pembayar pajak di wilayah Indonesia lainnya.
Imperium Orde Baru punya banyak tugas untuk memadamkan api-api kecil di pinggiran imperiumnya. Di Aceh, bara Gerakan Aceh Merdeka (GAM), di Irian OPM (Organisasi Papua Merdeka dan di Fretilin di Timor Timur. Sedangkan di Jawa bara-bara sakit hati masih menyala dari kalangan yang hidupnya, agamanya diusik, seperti yang juluki Komando Jihad (yang mungkin bukan suatu organisasi yang mapan); Kelompok Petisi-50; mahasiswa yang tidak suka ditekan-tekan dengan program Normalisasi Kampus dan lainnya.
Untuk dekade 1990, awalnya keadaan relatif baik, karena boom ekonomi dunia yang didukung oleh ekspansi kredit. Alan Greenspan menduduki tahta ketua the Federal Reserves Bank di Amerika Serikat tahun 1987, memberlakukan ketidak-bijaksanaan ekspansi kredit. Yang latar belakangnya adalah market crash Oktober 1987, dimana indeks bursa saham Amerika, Dow Industrial jatuh 31% dalam seminggu.
Alan Greenspan mungkin bersumpah bahwa hal seperti ini tidak boleh terjadi lagi. Oleh sebab itu dia selalu siap sedia untuk mengucurkan likwiditas, bila ada gejala yang dianggapnya tidak baik. Kalau kredit melimpah, manusia makin sibuk dengan aktivitas jual dan beli. Karena memperoleh untung, orang merasa kaya, kemudian konsumsi meningkat, permintaan meningkat dan memicu investasi. Semua orang gembira.
Beberapa negara Asia, seperti Asia Tenggara, Korea Selatan dan Taiwan, mengalami boom ekonomi dengan pertumbuhan 7%-12, dikenal sebagai keajaiban ekonomi (economic miracle). Modal asingpun masuk ke negara-negara ini, tertarik oleh potensi keuntungan yang menjanjikan.
Indonesia yang dikenal sebagai salah satu calon Macan Asia mengembangkan sektor industri manufakturing dan mencanangkan Era Lepas Landas. Mungkin maksudnya lepas dari ketergantungan ekonomi ekstraksi sumber alam (pertambangan, kehutanan dan pertanian) yang memang harganya sedang jatuh sejak dekade 1980an.
Dalam rangka Era Lepas Landas, pemerintah juga ingin mengembangkan industri pesawat terbang, buatan putra-putri Indonesia. Membuat pesawat terbang itu mudah. Tahun 1995 IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) berhasil membuat pesawat turbo-prop, fly by wire N-250 dari hasil rancangannya sendiri. Sayangnya pesawat yang canggih ini tidak laku dijual, jadi terpaksa barter dengan beras ketan. Jeleknya sampai tahun 2010 PT Dirgantara Indonesia (nama baru IPTN) masih hidup tetapi dikategorikan sebagai 8 BUMN yang sakit.
Pada sektor pangan, di dekade 1990, Orde Baru mencanangkan swasembada pangan melalui pembukaan sawah sejuta hektar.
Persoalannya ialah, booming yang disebabkan oleh ekspansi kredit tidaklah stabil. Meningkatnya permintaan barang dan jasa adalah semu. Peningkatan kapasitas produksi yang didasari oleh permintaan konsumsi yang semu adalah spekulatif. Modalnya pun bersumber dari luar negri. Rasio hutang luar negri dengan GDP di negara-negara Asean mencapai 100% – 160%. Hal ini menjadi beban dan mempunyai resiko terhadap gejolak kurs mata uang asing. Karena umumnya mata uang di negara-negara Asean dipatok terhadap US dollar, maka penguatan US dollar akan membuat produk-produk negara ini kurang kompetitif di pasar global. Itulah yang terjadi. Alan Greenspan melakukan pengetatan likwiditas US dollar yang berakibat penguatan US dollar. Ini menyebabkan memburuknya defisit berjalan di negara-negara Asean. Kemudian terjadi serangan spekulan terhadap mata uang bath Thailand yang mengakibatkan mata uang bath jatuh. Kejatuhan mata uang bath Thailand menjadi titik awal dari effek domino yang menghantam negara-negara Asean dan macan Asia lainnya. Investor asing menjadi ketakutan dan uang panas keluar yang menyebabkan anjloknya nilai mata uang negara-negara ini karena pemerintah tidak sanggup mempertahankan patokan kursnya. Rupiah yang sebelum krisis mempunyai nilai tukar Rp 2.500 per US dollar, anjlok sampai Rp 15.000. Diantara semua negara yang terkena krisis Asia ini, Indonesia adalah yang terparah. GDPnya anjlok 13.5%.
Para ekonom birokrat Indonesia pada waktu itu menganut sistem kroni-kapitalisme di saat booming dan sosialisme hutang di saat krisis. Artinya, pada saat boom ekonomi, para pengusaha-kesayangan memperoleh segala kelonggaran dan kemudahan. Salah satu praktek yang paling umum terjadi di Indonesia adalah bank-bank besar yang mempunyai induk yang sama dengan industri. Terjadi kolusi pada penyaluran kredit dari bank ke industri yang mempunyai induk sama. Hal ini dibiarkan saja oleh otoritas moneter. Dan ketika terjadi krisis hutang para kapitalis-kesayangan disosialisasikan ke masyarakat pembayar pajak dan penabung alias dibebankan kepada masyarakat. Bantuan Likwiditas Bank Indonesia (BLBI) dikucurkan yang tidak lain adalah perampokan tabungan rakyat untuk diberikan kepada konglomerat yang terbelit hutang. Dengan cepat 70%-80% dari nilai riil tabungan masyarakat menuap bersama banjir likwiditas. Itu namanya sistem kroni-kapitalisme.
Rakyat marah, karena pemerintah Orde Baru terlalu kasar menyita tabungan mereka. Inflasinya tertalu cepat. Dan akhirnya kemarahan ini meledak dalam bentuk kerusuhan, yang dikenal sebagai kerusuhan Mei 1998, yang kemudian menyeret Suharto untuk lengser keprabon.
Prestasi Orde Baru yang nampaknya cukup menyakin mengejar Era Lepas Landas, ternyata kemudian nyungsep karena keberatan beban. GDP per kapita Indonesia tahun 1967 ketika Sukarno benar-benar jatuh adalah $54,70. Dan 31 tahun kemudian, ketika Suharto lengser keprabon, menandai berakhirnya era Orde Baru, GDP (nominal) Indonesia ini menjadi $ 473,49. Jadi naik 866%. Wow, hebat sekali. Selama 31 tahun itu saya, keluarga saya, tetangga saya, kenalan saya, tidak merasa menjadi 9 kali lebih kaya. Apa yang salah?
Bagaimana kalau diukur dengan uang sejati alias emas. Tahun 1967 GDP per kapita Indonesia adalah 48.52 gram emas. Dan untuk tahun 1998 adalah 49.88 gram emas. Tidak banyak beda. Artinya, tidak salah kalau jaman Orba disebut juga jaman Tinggal Landas dan Nyungsep. Karena akhirnya GDP Indonesia kembali ke titik awal ketika Orba mulai berkuasa. Dari 48,52 gram emas ke 49,88 gram emas. Lalu bagaimana dengan pertumbuhan yang katanya super selama 30 tahun itu? Itulah statistik, bentuk tipuan yang canggih, seperti kata Mark Twain.
Lalu bagaimana dengan prestasi pemerintah Orde Baru dalam menghancurkan rupiah? Harga emas di awal Orde Baru adalah Rp 187 per gram dan pada tahun lengser keprabonnya Suharto, harganya menjadi Rp 90.100 per gram. Artinya 99.79% nilai rupiah telah menguap selama 31 tahun Suharto berkuasa. Jangan heran kalau ongkos naik bus kota pun naik dari Rp 15 menjadi Rp 1000. Dalam hal rupiah ini Suharto sedikit lebih baik dari Sukarno yang menguapkan 99.97% dari nilai riil rupiah selama masa pemerintahan Order Lama. Tetapi keduanya sama saja, nilai riil rupiah dibuat nyaris hampir nol, semasa pemerintahan keduanya.
Secara sederhana jaman Orba bisa disebut jaman dimana ekonomi tinggal landas dan akhirnya nyungsep. Mulainya Orde Baru (Orba) ditandai dengan beberapa hal penting dibidang keuangan dan pembangunan. Di bidang moneter, uang Orla dihapuskan dan Rp 1000 (Orla) menjadi Rp 1 (Orba) pada bulan Desember 1965. Sebabnya (mungkin) untuk mempertahankan arti kata jutawan. Seorang jutawan seharusnya mempunyai status sosial/ekonomi yang tinggi di masyarakat. Tetapi pada saat itu mengalami penggerusan makna. Untuk menggambarkan situasinya, tahun 1964 uang Rp 1000 (Orla) bisa untuk hidup sekeluarga 1 hari. Tetapi tahun 1967 uang itu hanya bisa untuk beli sebungkus kwaci. Sulit bagi orang awam untuk menerima kenyataan yang sudah berubah dalam waktu yang demikian singkat. Seorang jutawan tadinya berarti kaya raya berubah maknanya menjadi pemilik 1000 bungkus kwaci. Hal ini hanya berlangsung dalam kurun waktu 3 tahun dari tahun 1964 sampai 1967, cepat sekali.
Pemotongan nilai nominal dari Rp 1.000 (Orla) ke Rp 1 (Orba) bisa juga dikarenakan gambar Sukarno pada design uang Orla itu sudah membosankan. Itu hanya rekaan saya saja yang diungkapkan dalam suatu sarkasme. Yang tahu pastinya hanya para pejabat di Bank Indonesia pada saat itu.
Awal dari Orba, politikus mahasiswa melakukan tuntutan yang dikenal dengan Tritura (tiga tuntutan rakyat) yaitu
§ Bubarkan PKI,
§ Bentuk kabinet baru dan
§ Turunkan harga
Untuk membubarkan PKI dan membentuk kabinet sangat mudah. Tetapi untuk menurunkan harga? Tidak pernah terjadi sampai Orba tumbang 3,5 dekade kemudian. Bahkan walaupun beberapa menteri yang duduk di kabinet Orba selama beberapa masa bakti dulunya adalah aktivis/politikus mahasiswa, seperti Akbar Tanjung (mantan ketua Umum HMI Jakarta), Cosmas Batubara (mantan Ketua Presidium KAMI Pusat), Abdul Gafur (Wakil Ketua Dewan Mahasiswa UI. 1963-1965, Ketua Presidium KAMI UI/Pembantu Umum KAMI Pusat, 1966) yang meneriakkan Tritura, harga-harga tidak pernah turun. Itu fakta. Kita tidak bisa tahu apakah mereka lupa atau tuntutan itu tidak penting bagi mereka karena sudah menempati posisi yang enak di pemerintahan menjadi menteri dan anggota DPR. Itulah politikus, apakah itu berasal dari mahasiswa, seperti Sukarno dan Mohammad Hatta, pola jalurnya sama. Pola sirkus dan rotinya sama.
Awal langkah politik pemerintahan Suharto adalah purging (melenyapkan) elemen-elemen yang pro Sukarno. Elemen-elemen ini disingkirkan dari posisi-posisi penting di pemerintahan bahkan ada yang ditahan, diadili secara militer oleh mahmilub (mahmilub = mahkamah militer luar biasa) dan dihukum mati atau dipenjarakan untuk waktu yang lama sekali. Periode pemerintahan Sukarno disebut secara resmi dalam sejarah sebagai Orde Lama (yang berkonotasi negatif) dan dikontraskan dengan nama pemerintahan yang baru yaitu Orde Baru. Kota Sukarnopura diganti menjadi Jayapura. Puncak Sukarno di Irian Barat, diganti menjadi puncak Jayawijaya. Seperti yang disebutkan di atas, uang yang bergambar Sukarno ditarik dari peredaran. Sukarno sendiri meninggal dalam tahanan rumah dan dikebumikan di Blitar, bukan Taman Makam Pahlawan. Adapun sebabnya ia tidak dikebumikan di Taman Makam Pahlawan, mungkin karena Sukarno pada saat itu bukan pahlawan. Ia menjadi pahlawan 18 tahun kemudian, setelah ada beberapa lembar kertas yang disebut keputusan presiden yang menyatakan bahwa Sukarno adalah pahlawan. Tanpa kertas itu, Sukarno bukan pahlawan.
GDP nominal pada awal Orde Baru (katakanlah tahun 1967) adalah $ 54,70 per kapita. Pada saat Orde Baru digantikan Orde Reformasi (tahun 1997) GDP Indonesia menjadi $ 448,56 per kapita. Jadi selama 30 tahun naik 8,2 kali lipat!!! Hebat?? (dengan tanda tanya). Saya pertanyakan pujian untuk Orde Baru karena selama 30 tahun itu keluarga saya, tetangga saya, handai taulan tidak bertambah kemakmurannya sebanyak 8,2 kali lipat. Tiga kali lipat pun tidak. Bagaimana mungkin lebih makmur kalau pada awal Orba tarif bus dalam kota di Jakarta adalah Rp 15 dan pada akhir Orba Rp 1.000, naik 7500%!! Selama 30 tahun nominal GDP dalam US dollar tumbuh rata-rata 13% per tahun. Sedangkan GDP-Purchasing Power Parity tumbuh rata-rata 4,33% per tahun. Kalau dilihat antara kenaikan GDP dan kenaikan tarif bus kota, kurang lebih sama. Secara keseluruhan, data-data ini menimbulkan pertanyaannya, apakah kenaikan GDP ini hanya bohong-bohongan saja?
Pada awalnya pembangunan di jaman Orba direncanakan melalui tahapan 5 tahun yang dikenal dengan Pembangunan Lima Tahun atau Pelita. Rejim Suharto memulai pemerintahannya dengan membuka ekonomi bagi kapitalis-kapitalis yang dulunya dimusuhi Sukarno. Investasi dan modal asing masuk. Pabrik-pabrik dan industri perakitan bermunculan. Pertumbuhan ekonomi cukup bagus karena dibantu dengan boom di sektor bahan komoditi (awal 1970 sampai awal dekade 1980) seperti bahan tambang, minyak, kayu dan lain-lainnya. Indonesia bisa menjadi negara pengekspor minyak dan komoditi lainnya karena masuknya investor asing. Pendapatan pemerintah dari minyak dan bahan komoditi lainnya seharusnya relatif besar. Walaupun demikian, pemerintah masih tidak bisa membuat budgetnya berimbang. Secara resmi memang budget pemerintah selalu berimbang. Tetapi kalau ditelusuri lebih jauh, ada yang namanya pengeluaran pemerintah yang non-budgeter. Nama lain dari defisit. Jadi jangan heran bahwa inflasi pada saat itu cukup tinggi. Rupiah beberapa kali mengalami devaluasi terhadap dollar Amerika. Yaitu pada bulan April 1970 dari Rp 378 ke Rp 415 per dollar, pada bulan November 1978 dari Rp 416 ke Rp 625 dan Maret 1983 dari Rp 615 ke Rp 970 per dollar. Padahal pada periode yang sama US dollar mengalami kemerosotan nilai karena inflasi. Dengan kata lain kemerosotan nilai riil rupiah sangatlah parah.
Pemerintahan Suharto memperkenalkan konsep dwi-fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Ini adalah jalan untuk menempatkan perwira-perwira ABRI di sektor-sektor bisnis. Hampir semua direktur dan beberapa posisi atas di BUMN ditempati oleh ABRI. Konsesi-konsesi hutan juga banyak diberikan kepada anggota-anggota ABRI. Demikian juga posisi penting di pemerintahan daerah, seperti gubernur, bupati dipegang oleh ABRI. Bahkan sampai ke desa-desa, Babinsa (badan pembina desa), biasanya dimotori oleh militer berpangkat bintara. Profesi ABRI menjadi idaman bagi banyak sarjana. Mereka tergiur untuk masuk ABRI dengan pangkat letnan dua setelah lulus universitas. Karena karier swasta/BUMN dan pemerintahan lebih mudah dititi dari jalur ABRI, bukan dari jalur bisnis riil.
Dalam hal sirkus, kalau Sukarno caranya persuasif melalui kharismanya, Suharto tidak mempunyai kharisma yang bisa memukau orang banyak, maka tangan besi menjadi andalannya. Kalau Sukarno bak penjual yang mampu meyakinkan orang Eskimo membeli kulkas, Suharto bak raja dijaman dulu, lebih banyak menggunakan kekuasaannya, penekanan-penekanan dan pembatasan-pembatasan. Pada sampai pertengahan dekade 1980an, untuk mendaftar sekolah, bekerja, membuat pasport, SIM (surat ijin mengemudi) memerlukan surat berkelakuan baik dari polisi, surat bebas G30S dan untuk mengurusnya harus melewati birokrasi yang panjang. Demikian juga kalau sekolah ke luar negri, diharuskan untuk memperoleh surat keterangan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sekalipun biaya sekolah itu dari saku pribadi.
Rejim Suharto mempercayai teori ekonom keblinger dari Inggris Robert Malthus. Robert Malthus mengatakan dalam karangannya An Essay on the Principle of Population yang diterbitkan tahun 1798-1826 bahwa populasi manusia bertambah bagai deret ukur dan makanan yang bisa diproduksi oleh bumi hanya naik bagai deret hitung. Dalam bahasa awamnya: kemampuan manusia beranak-pinak jauh melebihi dari pada kemampuan bumi ini dalam menyediakan makanan. Dan suatu saat manusia akan kekurangan pangan, pertumbuhan populasi akan terhenti. Robert Malthus, walaupun dia seorang rohaniawan gereja Anglikan, tetapi dia percaya bahwa Tuhan adalah keledai. Dia pasti akan berkelit licin sekali mengenai keimanannya, kalau dia dihadapkan pada ayat-ayat kitab sucinya seperti:
Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." Berfirmanlah Allah: "Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu. Tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya." Dan jadilah demikian. (Perjanjian Lama, Genesis 1: 38-30).Dalam kepercayaan Robert Malthus tersirat bahwa Tuhan tidak becus dalam menciptakan alam semesta dan manusia, sehingga suatu saat manusia akan kekurangan pangan.
Para ekonom, perencana pembangunan, kyai dan rohaniawan dalam rejim Suharto yang memuja dewa yang sudah lama mati yang bernama Robert Maltus ini. Para kyainya juga percaya bahwa Tuhan lupa menyiapkan sumber makanan bagi manusia ketika menciptakan alam ini. Bahkan kalau ditanya tentang ayat ini:
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (Quran 17:31)maka dikatakannya bahwa ayat itu sudah tidak relevan pada jaman ini. Pada masalah seks dan perkawinan, pemerintahan Suharto punya pendapat berapa jumlah anak yang ideal dalam keluarga. Keluarga menurut rejim Suharto adalah pasangan monogami dengan anak maksimum dua. Mungkin tujuannya untuk menghambat pertumbuhan penduduk sehingga persoalan kekurangan pangan bisa ditanggulangi.
Kampanye dan program “dua anak saja cukup” diluncurkan dengan nama “keluarga berencana” (KB). Walaupun jiwa pelaksanaan keluarga berencana ini adalah persuasif, aparat pemerintah di lapangan seperti lurah dan camat di daerah yang terlalu bersemangat sering memaksakan penggunaan alat-alat kontrasepsi kepada masyarakatnya, bahkan prosedur tubektomi. Demi suksesnya KB, kebohonganpun dihalalkan. IUD yang sering disebut spiral, dikatakan sebagai penghalang bertemunya sperma dengan telur. Padahal, menurut teori kedokteran moderen, cara kerja IUD (spiral) adalah menghalangi nidasi (konsepsi dan implatasi) yaitu membuat kondisi rahim yang tidak ramah terhadap sperma dan siap menolak blastula (embryo yang sudah tumbuh menjadi kurang lebih 128 sel). Informasi ini dapat ditemukan di banyak buku-buku kedokteran. Seandainya anda malas perpustakaan, informasi ini bisa dicari di internet[link]. Jadi sebenarnya cara kerja spiral bisa disebut aborsi, kalau janin yang berumur sampai 14 hari bisa disebut janin. Kalau hal ini diterangkan kepada ulama dan pemuka agama yang lurus keimanannya, kemungkinan mereka mengharamkan penggunaan spiral.
Robert Malthus punya waktu yang cukup lama untuk membuktikan kebenaran teorinya yang secara implisit menganggap Tuhan sebagai keledai yang tidak becus atas kreasinya. Sejak dari dicetuskannya teori pertambahan penduduk dan pertambahan produksi pangannya sampai buku ini ditulis, sudah 210 tahun (terbilang: dua ratus sepuluh tahun). Waktu yang cukup lama. Rupanya yang menang adalah Tuhan. Dan ternyata yang berotak keledai bukan Tuhan, melainkan sang dewa Robert Maltus dan pengikutnya. Dua abad berlalu, dari tahun 1800 ketika Malthus mencetuskan idenya sampai 210 tahun kemudian, yaitu tahun 2010, teori Robert Malthus tidak pernah menjadi kenyataan. Populasi dunia berlipat 7 kali dari 1 milyar jiwa menjadi 6,9 milyar jiwa. Kekurangan pangan pandemi dunia tidak pernah terjadi, penyakit karena kekurangan pangan tidak pernah menjadi pandemi. Tidak hanya itu, manusia malah dihadapkan oleh persoalan kesehatan yang diakibatkan karena kelebihan pangan seperti obesitas, jantung koroner, darah tinggi dan kolesterol. Tuhan menciptakan Revolusi Hijau dan membuat Robert Maltus berserta para pemujanya nampak seperti keledai. Ternyata bumi ini tidak pernah kekurangan pangan seperti janji Quran dan Bible. Kelaparan secara endemi hanya untuk mereka yang suka perang, saling bertengkar dan membunuh serta mengesampingkan usaha-usaha untuk menghasilkan pangan seperti yang terjadi di Afrika dan muka bumi lainnya. Tidak sulit untuk mengatakan siapa yang keledai. Robert Malthus lah yang keledai. Juga para pengikutnya yang ada di kementerian wanita dan yang berurusan dengan masalah keluarga berencana. Anehnya keledai-keledai yang sama sejak tahun 2000an mulai mencemaskan demografi-demografi yang menua akibat kurangnya produksi anak dimasa lampau. Dulu mereka takut kelaparan karena ledakan penduduk, sekarang mereka takut kekurangan penduduk untuk menunjang generasi tua. Tuhan bukan keledai dan Ia sudah menyiapkan rezki bagi orang-orang tua di masyarakat yang berdemografi menua.
Pemerintahan Suharto tidak hanya tertarik pada masalah kamar tidur rakyatnya dan berapa jumlah anak yang mereka punyai, tetapi juga masalah teologi/agama yang dianut rakyatnya. Pancasila menjadi asas tunggal negara. Posisi Pancasila menjadi di atas agama. Penafsiran agama yang bertentangan dengan Pancasila akan dilibas. Bagi muslim yang menjadi mayoritas rakyat Indonesia hal ini terasa berat. Sebagian kalangan menganggap asas tunggal merupakan penghinaan bagi umat Islam. Hal ini menyulut sentimen anti pemerintah. Beberapa peristiwa berdarah, seperti Tragedi Tanjung Priok (September 1984), yang memakan korban beberapa ratus orang meninggal, dilatar belakangi oleh protes terhadap asas tunggal yang dipimpin oleh ustadz Amir Biki. Kontrol pemerintah terhadap khotbah dan ceramah juga ketat. Imaduddin Abdurrahim, pengajar ITB (Institut Teknologi Bandung) dilarang memberikan ceramah, diboikot dan akhirnya dibuang ke luar negri untuk memperoleh gelar sarjana lanjutan. AM Fatwa, seorang da’i, juga pernah dipenjara dimasa pemerintahan Suharto. Bagi seorang muslim, seharusnya sikap permusuhan dengan agama (paham) lain tidak ada karena:
“Tidak ada paksaan dalam beragama; sesungguhnya kebenaran itu sangat jelasTetapi jangan salahkan sikap memberontak dan melawan mereka (sebagian umat Islam) jika mereka diganggu dan dipaksa untuk menganut ajaran lain. Siapa sih yang suka dipaksa? Ada yang menunjukkan sikap memberontak secara terang-terangan. Banyak pula yang disimpan di dalam hati yang dalam, menunggu kesempatan yang baik untuk melampiaskannya.
(berbeda) dibandingkan dengan sesatan........” (Quran 2:256)
Penekanan-penekanan oleh pemerintahan Orde Baru pada kaum muslimin yang bertahan terhadap asas tunggal Pancasila terus berlangsung selama dekade 1980an sampai menjelang dekade 1990an. Pemberian label Komando Jihad merupakan ciri yang umum terjadi, seperti halnya pemberian label “PKI” pada awal-awal Orde Baru (dekade 1970an) untuk mengirim orang ke rumah tahanan.
Program cuci otak dan indoktrinasi pada jaman Orde Baru dikenal dengan nama Penataran P4 (Pedoman Pengamalan Penghayatan Pancasila) bagi pegawai negri sipil, pegawai BUMN, pegawai kontraktor pertambangan dan pegawai perusahaan yang ada kaitannya dengan pemerintah. Bagi mahasiswa, diharuskan mengambil mata pelajaran Kewiraan yang isinya tentang Pancasila. Saya sendiri diwajibkan mengambil mata pelajaran yang berbau Pancasila dari mulai SMP sampai mahasiswa, lalu penataran P4 ketika bekerja, semuanya lulus karena hapalan mutlak, dan sekarang sudah lupa. Tidak seperti subjek matematik, deret Taylor, Runga Kutta, bermacam-macam reaksi kimia yang sampai sekarang saya masih ingat, pelajaran Pancasila sudah tidak ada yang ingat lagi. Tidak ada logika yang mendasari doktrin-doktrin Pancasila, sehingga sulit diingat.
Orde Baru juga mempunyai ambisi teritorial dengan menganeksasi Timor Timur bulan Oktober 1974. Terlepas apakah alasannya karena undangan rakyat Timor Timur, rakyat Timor-Timur ingin bersatu dengan Indonesia atau alasan lainnya, langkah ini terbukti harus dibayar mahal oleh nyawa, penderitaan tentara dan materi. Langkah menganeksasi Timor-Timur ini sulit dimengerti. Karena Timor-Timur tidak punya nilai ekonomis dan hanya akan menjadi beban untuk Indonesia (akhirnya terbukti). Untuk menarik simpati rakyat Timor-Timur, pemerintah Orde Baru membangun Timor-Timur. Dengan lebih 90% anggaran belanja daerah (APBD) dipasok dari pusat, Timor-Timur membangun. Untuk tahun 1993 misalnya, pendapatan asli daerah hanya Rp 3 milyar sedangkan anggaran belanja daerah adalah Rp 46,70 milyar. Hal seperti ini berlangsung selama berpuluh tahun, menjadi beban yang dipikul pembayar pajak. Dan uang itu untuk membangun sekolah-sekolah, rumah sakit, puskesmas, jalan raya dan infrastruktur lainnya yang tidak dinikmati pembayar pajak di wilayah Indonesia lainnya.
Imperium Orde Baru punya banyak tugas untuk memadamkan api-api kecil di pinggiran imperiumnya. Di Aceh, bara Gerakan Aceh Merdeka (GAM), di Irian OPM (Organisasi Papua Merdeka dan di Fretilin di Timor Timur. Sedangkan di Jawa bara-bara sakit hati masih menyala dari kalangan yang hidupnya, agamanya diusik, seperti yang juluki Komando Jihad (yang mungkin bukan suatu organisasi yang mapan); Kelompok Petisi-50; mahasiswa yang tidak suka ditekan-tekan dengan program Normalisasi Kampus dan lainnya.
Untuk dekade 1990, awalnya keadaan relatif baik, karena boom ekonomi dunia yang didukung oleh ekspansi kredit. Alan Greenspan menduduki tahta ketua the Federal Reserves Bank di Amerika Serikat tahun 1987, memberlakukan ketidak-bijaksanaan ekspansi kredit. Yang latar belakangnya adalah market crash Oktober 1987, dimana indeks bursa saham Amerika, Dow Industrial jatuh 31% dalam seminggu.
Alan Greenspan mungkin bersumpah bahwa hal seperti ini tidak boleh terjadi lagi. Oleh sebab itu dia selalu siap sedia untuk mengucurkan likwiditas, bila ada gejala yang dianggapnya tidak baik. Kalau kredit melimpah, manusia makin sibuk dengan aktivitas jual dan beli. Karena memperoleh untung, orang merasa kaya, kemudian konsumsi meningkat, permintaan meningkat dan memicu investasi. Semua orang gembira.
Beberapa negara Asia, seperti Asia Tenggara, Korea Selatan dan Taiwan, mengalami boom ekonomi dengan pertumbuhan 7%-12, dikenal sebagai keajaiban ekonomi (economic miracle). Modal asingpun masuk ke negara-negara ini, tertarik oleh potensi keuntungan yang menjanjikan.
Indonesia yang dikenal sebagai salah satu calon Macan Asia mengembangkan sektor industri manufakturing dan mencanangkan Era Lepas Landas. Mungkin maksudnya lepas dari ketergantungan ekonomi ekstraksi sumber alam (pertambangan, kehutanan dan pertanian) yang memang harganya sedang jatuh sejak dekade 1980an.
Dalam rangka Era Lepas Landas, pemerintah juga ingin mengembangkan industri pesawat terbang, buatan putra-putri Indonesia. Membuat pesawat terbang itu mudah. Tahun 1995 IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) berhasil membuat pesawat turbo-prop, fly by wire N-250 dari hasil rancangannya sendiri. Sayangnya pesawat yang canggih ini tidak laku dijual, jadi terpaksa barter dengan beras ketan. Jeleknya sampai tahun 2010 PT Dirgantara Indonesia (nama baru IPTN) masih hidup tetapi dikategorikan sebagai 8 BUMN yang sakit.
Pada sektor pangan, di dekade 1990, Orde Baru mencanangkan swasembada pangan melalui pembukaan sawah sejuta hektar.
Persoalannya ialah, booming yang disebabkan oleh ekspansi kredit tidaklah stabil. Meningkatnya permintaan barang dan jasa adalah semu. Peningkatan kapasitas produksi yang didasari oleh permintaan konsumsi yang semu adalah spekulatif. Modalnya pun bersumber dari luar negri. Rasio hutang luar negri dengan GDP di negara-negara Asean mencapai 100% – 160%. Hal ini menjadi beban dan mempunyai resiko terhadap gejolak kurs mata uang asing. Karena umumnya mata uang di negara-negara Asean dipatok terhadap US dollar, maka penguatan US dollar akan membuat produk-produk negara ini kurang kompetitif di pasar global. Itulah yang terjadi. Alan Greenspan melakukan pengetatan likwiditas US dollar yang berakibat penguatan US dollar. Ini menyebabkan memburuknya defisit berjalan di negara-negara Asean. Kemudian terjadi serangan spekulan terhadap mata uang bath Thailand yang mengakibatkan mata uang bath jatuh. Kejatuhan mata uang bath Thailand menjadi titik awal dari effek domino yang menghantam negara-negara Asean dan macan Asia lainnya. Investor asing menjadi ketakutan dan uang panas keluar yang menyebabkan anjloknya nilai mata uang negara-negara ini karena pemerintah tidak sanggup mempertahankan patokan kursnya. Rupiah yang sebelum krisis mempunyai nilai tukar Rp 2.500 per US dollar, anjlok sampai Rp 15.000. Diantara semua negara yang terkena krisis Asia ini, Indonesia adalah yang terparah. GDPnya anjlok 13.5%.
Para ekonom birokrat Indonesia pada waktu itu menganut sistem kroni-kapitalisme di saat booming dan sosialisme hutang di saat krisis. Artinya, pada saat boom ekonomi, para pengusaha-kesayangan memperoleh segala kelonggaran dan kemudahan. Salah satu praktek yang paling umum terjadi di Indonesia adalah bank-bank besar yang mempunyai induk yang sama dengan industri. Terjadi kolusi pada penyaluran kredit dari bank ke industri yang mempunyai induk sama. Hal ini dibiarkan saja oleh otoritas moneter. Dan ketika terjadi krisis hutang para kapitalis-kesayangan disosialisasikan ke masyarakat pembayar pajak dan penabung alias dibebankan kepada masyarakat. Bantuan Likwiditas Bank Indonesia (BLBI) dikucurkan yang tidak lain adalah perampokan tabungan rakyat untuk diberikan kepada konglomerat yang terbelit hutang. Dengan cepat 70%-80% dari nilai riil tabungan masyarakat menuap bersama banjir likwiditas. Itu namanya sistem kroni-kapitalisme.
Rakyat marah, karena pemerintah Orde Baru terlalu kasar menyita tabungan mereka. Inflasinya tertalu cepat. Dan akhirnya kemarahan ini meledak dalam bentuk kerusuhan, yang dikenal sebagai kerusuhan Mei 1998, yang kemudian menyeret Suharto untuk lengser keprabon.
Prestasi Orde Baru yang nampaknya cukup menyakin mengejar Era Lepas Landas, ternyata kemudian nyungsep karena keberatan beban. GDP per kapita Indonesia tahun 1967 ketika Sukarno benar-benar jatuh adalah $54,70. Dan 31 tahun kemudian, ketika Suharto lengser keprabon, menandai berakhirnya era Orde Baru, GDP (nominal) Indonesia ini menjadi $ 473,49. Jadi naik 866%. Wow, hebat sekali. Selama 31 tahun itu saya, keluarga saya, tetangga saya, kenalan saya, tidak merasa menjadi 9 kali lebih kaya. Apa yang salah?
Bagaimana kalau diukur dengan uang sejati alias emas. Tahun 1967 GDP per kapita Indonesia adalah 48.52 gram emas. Dan untuk tahun 1998 adalah 49.88 gram emas. Tidak banyak beda. Artinya, tidak salah kalau jaman Orba disebut juga jaman Tinggal Landas dan Nyungsep. Karena akhirnya GDP Indonesia kembali ke titik awal ketika Orba mulai berkuasa. Dari 48,52 gram emas ke 49,88 gram emas. Lalu bagaimana dengan pertumbuhan yang katanya super selama 30 tahun itu? Itulah statistik, bentuk tipuan yang canggih, seperti kata Mark Twain.
Lalu bagaimana dengan prestasi pemerintah Orde Baru dalam menghancurkan rupiah? Harga emas di awal Orde Baru adalah Rp 187 per gram dan pada tahun lengser keprabonnya Suharto, harganya menjadi Rp 90.100 per gram. Artinya 99.79% nilai rupiah telah menguap selama 31 tahun Suharto berkuasa. Jangan heran kalau ongkos naik bus kota pun naik dari Rp 15 menjadi Rp 1000. Dalam hal rupiah ini Suharto sedikit lebih baik dari Sukarno yang menguapkan 99.97% dari nilai riil rupiah selama masa pemerintahan Order Lama. Tetapi keduanya sama saja, nilai riil rupiah dibuat nyaris hampir nol, semasa pemerintahan keduanya.
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.
24 comments:
Rakyat marah, karena pemerintah Orde Baru terlalu kasar menyita tabungan mereka. Inflasinya tertalu cepat. Dan akhirnya kemarahan ini meledak dalam bentuk kerusuhan, yang dikenal sebagai kerusuhan Mei 1998, yang kemudian menyeret Suharto untuk lengser keprabon.
NGAWUR...
Mantep bung IS....asik banget baca ilmu pengetahuan bermanfaat pagi2 gini.....tak tunggu serial2 selanjutnya.....
@manager casino
bagaimana dengan ini? dow 12500
http://www.marketoracle.co.uk/Article21385.html
Yang seperti ini membuat kita tersenyum:
Robert Malthus punya waktu yang cukup lama untuk membuktikan kebenaran teorinya yang secara implisit menganggap Tuhan sebagai keledai yang tidak becus atas kreasinya. Sejak dari dicetuskannya teori pertambahan penduduk dan pertambahan produksi pangannya sampai buku ini ditulis, sudah 210 tahun (terbilang: dua ratus sepuluh tahun). Waktu yang cukup lama. Rupanya yang menang adalah Tuhan. Dan ternyata yang berotak keledai bukan Tuhan, melainkan sang dewa Robert Maltus dan pengikutnya. Dua abad berlalu, dari tahun 1800 ketika Malthus mencetuskan idenya sampai 210 tahun kemudian, yaitu tahun 2010, teori Robert Malthus tidak pernah menjadi kenyataan. Populasi dunia berlipat 7 kali dari 1 milyar jiwa menjadi 6,9 milyar jiwa. Kekurangan pangan pandemi dunia tidak pernah terjadi, penyakit karena kekurangan pangan tidak pernah menjadi pandemi. Tidak hanya itu, manusia malah dihadapkan oleh persoalan kesehatan yang diakibatkan karena kelebihan pangan seperti obesitas, jantung koroner, darah tinggi dan kolesterol.
Tidak sulit untuk mengatakan siapa yang keledai. Robert Malthus lah yang keledai
buku "Joseph Tainter The Collapse Of Complex Societies" ada di http://depositfiles.com/en/files/4lm93i9zj
Sebenarnya, beriman pada robert malthus dan pada joseph tainter itu sama saja ;-)
Society Collapse itu sebab manusianya jauh dari Tuhan. kalau mereka dekat dengan Tuhan, sekompleks apapun masalah pada sebesar apapun society nya, Tuhan akan membantu menyelesaikannya. Kalau Tuhan bisa memberi makan manusia sekian banyak, masak Tuhan ngga mampu menyelesaikan masalah2 yg timbul ?
;-)
btw, artikel ini menarik...
Orang macam IS ini emang jagonya teori nyok...bilang robet malthus keledai lah..ini lah itulah..kayak sendiri paling pinter
padahal apa hasilnya selama ini selain berteori ria??,tabungan anda makin menguap gara2 anjuran shortnya
emang byk manusia yg obesitas,tp di afrika sana banyak juga manusia yg makin kelaparan
kehancuran peradaban akibat pertambahan penduduk hanya tertunda sesaat akibat kemajuan IPTEK dan teknologi(ini pun dicapai karena banyak politikus yg pintar kerjanya di luar negeri sana,kalau di bumi ini isinya cuma orang macam IS dan gak ada politikus yg baik kerjanya,gak akan ada kemajuan IPteK dan teknologi spt skrg)
terus2an saja punya anak banyak,sy sering jumpa dgn mbok jamu/tukang becak yg punya istri 3 dan anak 8,anak2 nya kagak ada yg jadi orang bener,hidup susah selalu
apa beda gaji 10 ribu dibagi 10 dengan 10 ribu dibagi 4 bung?
orang bego juga tahu kalau banyak anak dan banyak istri itu bikin melarat...
yg satu cuman bisa kasih anaknya kuaci,yg satu masih bisa kasih anaknya makan tahu & tempe
yg satu anak2nya bermental penjahat karena tiap hari berkelahi berebutan makanan
yg satu bisa belajar dengan tenang walaupun tidak kaya
cape abis deh lihat otak sempitnya si IS ini
mau mencontoh nabi gitu?,punya istri dan anak banyak...silahkan tapi jangan suruh orang lain ikutan bodoh dan melarat
Sebentar berpendapat Soekarno goblok karena program ganyang maaysianya tempo dulu
tp disatu sisi berpendapat SBY penakut krn tindakannya yg lebih ke diplomasi
emang nih setan 1 ini ular berkepala 8,tidak konsisten
dan yg paling penting cuma Omong besar dan jagonya berteori ria,padahal sendiri tidak bisa berbuat apa apa,cuma bisa kritik..
nih tikus tidak jauh beda dengan politikus lainnya,kalau sudah menjerumuskan orang dengan anjuran2 begonya yg membuat orang rugi,kini giliran sirkus yg dia mainkan,hahahha
Kalau om IS memang punya cara mensejahterakan rakyat, keluarkan aja jurusnya. Kritik trus ttg politisi tempo lalu apa gunanya?
lah dia kan pendukung poligami ...orang macam gini mana ada yang waras otaknya
kacian si semar sekarang jadi bulan2an tiap kali ngeluarin artikel baru
Mari masing2 dari kita saling menahan diri dan berpikir jernih dan kita cari solusi yang terbaik dan jika ada yang memberikan komentar mari kita saling menghargai karena segala ucapan dan perbuatan kita ada karmanya yaitu jika kita berbuat baik hidup kita memperoleh kebahagiaan dan sebaliknya jika kita berbicara yang tidak benar maka hidup kita akan sengsara. Silakan kita wujudkan kehidupan yang lebih baik dari sekarang dengan pertimbangan2 yang matang dan terbaik untuk kita semua. MAJU TERUS PANTANG MUNDUR!
Semar idiot ini bisanya cuma koar-koar nge-short doang. Paling kalo disuruh ngurus negara juga nggak becus & malah menimbun kekayaan buat dirinya sendiri.
buat yang membenci imam semar, sebaik nya anda tidak perlu membaca lagi. kalau anda di rugikan, lebih baik anda maki maki via email saja ke dia, jangan di blog, tidak pantas lah. anda punya otak pasti bisa mikir, benar atau tidak perbuatan anda itu.
saya pembaca setia imam semar dari dulu, saya muak dengan ulah kalian yang suka menghujat, kalau kalian lebih hebat, saya tunggu blog tandingan anda. kalau artikel dan teori anda lebih bagus dari pak imam semar, saya akan berpindah menjadi pembaca blog anda. kalau anda cuma bisa ngomong, adik saya yang masih SMP itu juga bisa.
buat pak imam semar, jangan di ambil hati tulisan yang menghujat. masih banyak kok yang setia membaca blog anda. dont worry mr.
saya sebagai pembacara setia blog ini merasa terganggu oleh caci maki kampret-kampret yg bahkan tidak berani menuriskan namanya. Keep posting Imam Semar.
Saya rasa IS tidak terganggu dengan komentar2 kasar. Kalau ia terganggu dengan gampang ia bisa delete. Ternyata tidak bukan ?
Keep posting IS ! So far saya merasa Anda masih waras.
KEEP POSTING MAS IS....
kalo yang protes lebih pintar, bikinlah blog sendiri....
tapi kalo blog ini ga disuka, ya jangan dibaca / masuk lagi....
terlepas benar/tidaknya tulisan mas IS. yang penting dia berani kasih info yang berguna...
apakah anda para pengkritik, punya blog yang berguna buat saya ???
gitu aja koq repot...!!!!
pertumbuhan penduduk dan poligami jelas mempengaruhi kemakmuran pada akhirnya
karena jumlah penduduk yg sangat padat di jawa,harga tanah disana lebih mahal dibanding harga tanah disumatera,belum lagi dengan jumlah penduduk yg kian meledak tanpa diimbangi dengan hasil pertanian,Teknologi belum dimanfaatkan secara maksimal,alhasil Pulau Jawa adalah pengimpor beras terbanyak dari daerah Indonesia lainnya
hal2 seperti itu pada akhirnya akan memicu inflasi
di jakarta juga sangat banyak kaum urban yg datang,pertumbuhan tenaga kerja tidak berimbang dengan pertumbuhan penduduk,belum lagi harga tanah di jakarta menjadi sangat mahal,alhasil penduduk Jakarta yg tidak mempunyai pilihan dengan sukarela akan tinggal dimana saja termasuk ditempat yg sangat tidak layak sekalipun
mereka juga dengan terpaksa melakukan apapun juga termasuk jadi pemulung dan pengemis atau pencopet demi sesuap nasi
apakah Tuhan menyediakan rezeki bagi umatnya dengan memaksakan umatnya untuk berbuat hal hina dan tidak baik spt itu?
jadi yg keledai Anda atau Robet Malthus?
"In the absence of a gold standard, there is no way to protect savings from confiscation through inflation. There is no safe store of value. If there were, the government would have to make its holding illegal, as was done in the case of gold. If everyone decided, for example, to convert all his bank deposits to silver or copper or any other good and thereafter decline to accept checks as payment for goods, bank deposits would lose their purchasing power and government-created bank credit would be worthless as claims on goods. The financial policy of the welfare state requires that there be no way for the owners of wealth to be able to protect themselves.
This is the shabby secret of the welfare statists' tirades against gold. Deficit spending is simply a scheme for the confiscation of wealth. Gold stands in the way of this insidious process. It stands as a protector of property rights. If one grasps this, one has no difficulty in understanding the statists' antagonism toward the gold standard." -- Alan Greenspan, 'Gold and Economic Freedom' in 1966.
Mas IS, artikel2 selanjutnya ditunggu neh!
asal tahu saja dalam hidup kita harus seimbang,karena keseimbangan itulah yg terbaik
semua butuh keseimbangan Suply dan demand pun butuh keseimbangan,apabila terlalu banyak supply dibanding demand maka akan terjadi deflasi
dalam ekonomipun berlaku hukum keseimbangan
sebaliknya jika demand lebih banyak dari supply akan terjadi inflasi
sy yakin anda mengerti hal itu
nah sekarang apa anda kira punya istri banyak dan anak banyak itu adalah kehidupan yg seimbang?
juga apa kebanyakan teori dibanding praktek menjadikan hidup anda seimbang?
rasio jumlah pria dan wanita di dunia ini boleh dikatakan seimbang
dengan kelakuan berpoligami maka secara tidak langsung seseorang membuat pria lainnya lebih sulit mendapatkan pasangan hidup,bayangkan kalau orang2 yg kaya punya istri 9 orang semua,dijamin orang2 yg kurang mampu ataupun kurang cakap banyak yg menjadi tidak laku
disaat keseimbangan terjadi maka disanalah akan terjadi kemajuan dan kebaikan untuk semua orang
juga apa kebanyakan teori dibanding praktek menjadikan hidup anda seimbang?
kalau dahulu banyak anak banyak rezeki itu benar karena banyak sawah dan ladang yang digarap secara manual...
kalau dengan kecanggihan teknologi seperti sekarang saya rasa 2-3 anak saja cukup yang penting anak dapat kompetitif di dunia kerja...
gw paling seneng baca komen2 para kampret yg mencela IS......dah mencela tapi masih aja baca blog ini....mungkin para kampret itu salah trading ngikutin anjuran IS sehinggah kalah banyak.......hixixixix....
Bang IS teruskan dg artikel2nya...sy suka dg pendapat kritis anda.......
Jangan didenga para kampret yg bego abis kalah trading....
atas gue.
sama gue juga lucu baca orang yg komentar kontra dengan pak IS...
kalo tulisan P IS anda anggap- salah dan ngawur ya tidak usah baca aja dari awal....gitu aja kok repot...
logika sederhana....
ada orang baca koran trus bilang...
anjing ini koran kok boong banget ..isinya kacau dan bohong dan manipulasi semua....
menurut gue yg goblok tuh bukan korannya ato penulisnya tapi yg baca koran itu..kalo udah tau korannya goblok kok dibaca wahahahahahahaha
tetep dukung mas IS.....memang jaman sekarang pemerintah sudah semakin parah menghisap rkyat melalui pajak...
gini aja coba lihat rasio Subsidi dengan SPBn , Rasip Belanja rutin gaji PNS dengan APBN dan rasio anggaran pembangunan dengan APBN...
untu7k rasio subsidi dan pembangunan rasionya makin kecil..tetapi untuk gaji dan biaya rutin...rasionya maskin besar...
buat yg merasa lebih pintar dari bang IS...saya tantang untuk membuktikan omongan saya salah atau benar......bahwa belanja rutin pemerintah lebih cepat naik daripa pertumbuhan pajak itu sendiri..dsederhananya apakah rasio belanja rutin terhadap APBN itu naek atau turun..faktanya sih kita sedang mendekati colapse society.
Penguasa global itu ada, kita semua harus bersatu bentuk kekuatan untuk menjatuhkannya dan mereka pasti jatuh pada saatnya, jumlah mereka 1% hendak menguasai dan memperbudak 99% manusia di dunia. Kembali ke emas dan perak,(dinar dan dirham), kembalikan fitrahnya manusia, tinggalkan riba..!! Salam people power!! Flat earther Palembang #dwk
Post a Comment