(dengan lajutannya dari minggu lalu)
Obama ke Norway untuk menerima hadiah Nobel Perdamaian, dan beritanya muncul di surat kabar kemarin:
Barack Obama arrives in Norway to receive Nobel Peace Prize
Oslo/Stockholm, Dec 10, NYT/ PTI:
Thursday, December 10, 2009
A scientist who escaped suicide bombers, a writer who endured years of persecution in communist Romania and an American president who has yet to serve his first full year in office are among those to be honoured on Thursday with this year's Nobel Prizes.
Obama stepped off Air Force One into the crisp morning air of this Norwegian city after flying overnight from Washington with his wife, Michelle, and a small group of friends and relatives who are accompanying him on a brief trip to Norway.
Oslo/Stockholm, Dec 10, NYT/ PTI:
Thursday, December 10, 2009
A scientist who escaped suicide bombers, a writer who endured years of persecution in communist Romania and an American president who has yet to serve his first full year in office are among those to be honoured on Thursday with this year's Nobel Prizes.
Obama stepped off Air Force One into the crisp morning air of this Norwegian city after flying overnight from Washington with his wife, Michelle, and a small group of friends and relatives who are accompanying him on a brief trip to Norway.
The president will have a morning meeting with Prime Minister Jens Stoltenberg and a private audience with King Harald V and Queen Sonja at the Royal Palace of Norway.
The day’s events culminate in the Nobel Peace Prize ceremony, where Obama will accept the 2009 award and deliver a speech before an audience of about 1,000 people at Oslo City Hall. He will address members of the Nobel committee, who stunned the world and Obama himself on Oct. 9 by presenting him with the award only nine months into his presidency.
Orang waras akan bertanya, apa yang baru diminum oleh komite pemilihan pemenang hadiah Nobel untuk PERDAMAIAN dalam rapat-rapatnya untuk memilih Obama. Bagi orang waras, keputusan itu sulit dimengerti. Karena, ketika Obama punya kesempatan untuk melakukan perang, yaitu ketika dia menduduki kursi kepresidenan US, Obama belum apa-apa sudah mencanangkan untuk menaikkan (ekskalasi) perang di Afghanistan dengan menambah 30,000 orang pasukan US disana. Menurut ukuran orang waras, kalau Obama tidak menambah pasukan saja, baru dikategorikan sebagai orang biasa. Kalau mengurangi, berarti orang yang cinta perdamaian. Kalau angkat kaki dari Afghanistan......, mungkin (masih mungkin) layak diberi penghargaan. Itupun harus dibandingkan dengan orang lain.
Ini beritanya bahwa perang Afghanistan harus dibikin lebih marak dengan menambah 30,000 pasukan lagi.
"The 30,000 additional troops that I am announcing tonight will deploy in the first part of 2010 - the fastest pace possible - so that they can target the insurgency and secure key population centers," said President Obama.
The president appealed to America's allies to contribute more troops to the fight in Afghanistan, and said he is confident that they will.
Bagi orang waras, Obama lebih cocok untuk diberi hadiah untuk Permusuhan dan Pertumpahan Darah. Bagi orang waras, Obama lebih cocok untuk diberi hadiah untuk Permusuhan dan Pertumpahan Darah. Karena Obama meningkatkan intensitas perang di Afghanistan, pada saat yang tidak lama setelah Obama dilantik menjadi presiden. Dia tidak menunggu 1 atau 2 tahun, untuk memutuskan hal itu. Ini menunjukkan bahwa dia suka perang dan pembunuhan massal.
Pembaca mungkin bertanya-tanya, apakah hadiah Nobel Perdamaian yang sejatinya? Kalau dilihat dari track recordnya ada dua kategori yang bisa memperoleh hadiah Nobel Perdamaian. Pertama adalah kategori untuk kemanusiaan dan penerima yang menonjol adalah, seperti ibu Teresia (1979) dan Albert Schweitzer (1952), Jean Henri Dunant (1901). Yang kedua adalah untuk mengobarkan rasa permusuhan dan perang yang tentu saja bertolak belakang dengan arti kata perdamaian. Yang ketiga adalah yang tidak jelas kriterianya. Seperti Muhammad Yunus Grameen Bank, yang memfokuskan pada kredit mikro untuk rakyat. Dan hidupnya bank mengandalkan sumbangan, grant dan pinjaman lunak. Grameen Bank akan tetap hidup selama sumbangan, grant dan pinjaman lunak masih mengalir dan non-performing loannya masih bisa ditutupi. Dengan kata lain, Muhammad Yunus dengan Grameen Banknya bisa dikelompokkan dengan ibu Teresia, Albert Schweitzer dan Henri Dunant, walaupun sebenarnya usahanya tidak jelas.
Jumlah penerima hadiah Nobel Perdamaian untuk kemanusiaan yang menonjol, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Nobel Perdamaian untuk mengobarkan rasa permusuhan dan perang. Saya tidak perlu berpikir lama untuk membuat membuat daftar yang berisi lebih dari 10 pemanang Nobel Perdamaian untuk pengobaran rasa permusuhan, konflik dan perang: Obama, Ramos Horta, Uskup Bello, Nelson Mandela, Aung San Suu Kyi, Dalai Lama ke 14, Lech Walesa, Desmond Tutu, Yasser Arafat, Shimon Peres, Yitzhak Rabin dan Woodrow Wilson. Ada 12 orang, itu tanpa melakukan penelitian yang mendalam.
Antara kelompok ibu Teresia, Albert Schweitzer, Henri Dunant dengan Obama, Ramos Horta, Aung San Suu Kyim Lech Walesa, Shimon Peres dan Woodrow Wilson terdapat kontras prilaku dan hasil kerja. Ibu Teresia, adalah orang hidupnya didedikasikan kepada pemeliharaan orang-orang miskin, golongan sudra yang tak tersentuh di India. Sejak tahun 1931, dia sudah mencurahkan hidupnya untuk orang miskin, yang dimulainya sebagai guru dan nun. Tahun 1950 dia memulai suatu organisasi yang disebut The Missionaries of Charity yang tujuannya memelihara orang-orang malang yang tidak ada yang bersedia merawat.
Albert Schweitzer, juga orang yang mencurahkan hidup dan hartanya untuk orang-orang berpenyakit, malaria, lepra, TBC di Afrika dengan mendirikan sebuah rumah sakit di Gabon tahun 1906. Albert Schweitzer meninggal dan dikuburkan di dekat rumah sakit yang didirikannya.
Sedang Henri Dunant adalah yang mengispirasi pendirian palang merah dunia. Henri terlahir tahun 1828 dari keluarga kaya dan tumbuh sebagai pengusaha yang berhasil. Tetapi kemudian, dia lebih mencurahkan perhatiannya kepada masalah kemanusiaan dan tidak lagi memperhatikan bisnisnya sehingga bankrut. Usaha-usaha kemanusiaan Henri Dunant inilah kemudian melahirkan palang merah dunia yang usaha-usaha kemanusiaannya tidak bisa disangkal lagi. Henri Dunant akhirnya mati sebagai orang miskin dan uang hadiah Nobelnya disumbangkan untuk perawatan orang-orang sakit yang tidak mampu.
Usaha-usaha ketiga orang ini, Ibu Teresia, Albert Schwietzer dan Henri Dunant, sangat kontras dibandingkan landasan dan kriteria yang dipakai untuk memilih Obama, Ramos Horta, Uskup Bello, Nelson Mandela, Aung San Suu Kyi, Dalai Lama ke 14, Lech Walesa, Desmond Tutu, Yasser Arafat, Shimon Peres, Yitzhak Rabin dan Woodrow Wilson sebagai pemenang hadiah Nobel Perdamaian (untuk pengobaran permusuhan, kebencian dan perang). Paling tidak prilaku orang-orang ini sebelum atau beberapa saat sesudah penerimaan hadiah Nobel. Misalnya Obama, dia tidak perlu sungkan-sungkan menunggu 1 tahun, misalnya untuk mengumumkan keinginannya untuk meningkatkan kobaran perang di Afghanistan. Beberapa hari sebelum Obama menerima hadiah Nobel Perdamaian (untuk pengobaran permusuhan, kebencian dan perang), Obama mengumumkan akan ditingkatkannya jumlah pasukan US di Afghanistan. Tidak adanya pencabutan hadiah Nobel Perdamaian untuk Obama memperkuat definisi bahwa hadiah Nobel ini diperuntukkan untuk pengobaran permusuhan, kebencian dan perang.
Bagaimana akhir dari nasib Obama atau US di Afghanistan belum bisa sekarang. Sebelumnya Median (Iran sekarang), Persia (Iran sekarang), Alexander the Great (Macedonia), Seleucid, Yunani, Turki, Mongols, Inggris dan yang terakhir sebelum US adalah Uni Soviet. Alexander tidak lama di Afghanistan sebelum dia mati. Inggris juga mencoba mengusik Afghanistan tahun 1839–42, 1878–80, dan akhirnya tahun 1919. Konfederasi Uni Soviet (USSR) juga masuk ke Afghanistan tahun 1979 dan hanya bertahan kurang dari 2 dekade (1979 – 1996). Bukannya Afghanistan yang hancur malah Uni Soviet itu sendiri. Invasi Uni Soviet ke Afghanistan membuat ekonomi Uni Soviet berdarah-darah, sehingga terjadi gejolak di dalam negri Uni Soviet. Tahun 1991 runtuhlah negara Konfederasi Uni Soviet. Tetapi negara intinya yaitu Russia masih bertahan di Afghanistan sampai secara ekonomi tidak lagi mampu membiayai perang dan akhirnya mundur di tahun 1996 bagai anjing dengan ekor ke bawah diantara kedua kaki. Apakah nasib USA ini akan seperti USSR. Keduanya punya nama yang mirip USA dan USSR. Dan para pejuang Taliban punya semboyan, “$1 yang mereka keluarkan akan membuat US mengeluarkan $ 1 juta. Itu lah yang kami lakukan terhadap Soviet”. Inilah yang dikatakan oleh Osama bin Laden dalam tape yang dikirimkan ke US tahun 2004. Inilah cuplikan ceritanya dari the Institute for the Analysis of Global Security.
Al Qaeda's economic war against the United States
Although battlefield victories are crucial, history shows that global wars have been decided on a different kind of front: the war between economic powers. World War II soldiers clashed on the beaches of Normandy and Guadalcanal, but only when the German and Japanese war industries ran out of cash and raw materials did the wheels of the Whehrmacht and the Imperial Army finally grind to a halt. The Cold War could have gone on for decades if not for the depletion of the Kremlin's coffers.
The war on radical Islam is no different. Osama bin Laden plans strategies based on his victory over the Soviets in Afghanistan during the 1980s. Feasibility aside, he believes the way to bring down a superpower is to weaken its economy through protracted guerilla warfare. "We bled Russia for ten years until it went bankrupt and was forced to withdraw in defeat," bin Laden boasted in his October 2004 videotape.
The October video, released just before the U.S. election, offers a glimpse into the jihadist strategy. "We are continuing in the same policy to make America bleed profusely to the point of bankruptcy," said bin Laden. His logic is simple: To bring the U.S. to suffer a fate similar to that of the Soviet Union, the terrorists need to drain America's resources and bring it to the point it can no longer afford to preserve its military and economic dominance. As the U.S. loses standing in the Middle East, the jihadists can gain ground and remove from power regimes they view as corrupt and illegitimate while defeating other infidels who inhabit the land of Islam.
Three methods comprise Al Qaeda's economic war against the U.S. The first is the destruction of high-cost qualitative targets by low-cost qualitative means. The 2001 attack on the World Trade Center is a perfect example of how terrorists can get more bang for their cheap buck. Bin Laden cited estimates that Al Qaeda spent $500,000 to carry out the attacks of September 11, which caused America to lose more than $500 billion. "Every dollar of Al Qaeda defeated a million [U.S.] dollars," bin Laden concluded.
Bin Laden's second form of economic warfare involves forcing the U.S. to sink unsustainable amounts of funding into its defense agencies. The more the U.S. invests in defense, the more its domestic investment suffers neglect. Not much is needed, bin Laden reasons, to provoke America into expensive military interventions: "All that we have to do is to send two mujahedeen to the furthest point east to raise a piece of cloth on which is written Al Qaeda, in order to make generals race there to cause America to suffer human, economic and political losses without their achieving anything." Bin Laden exaggerates -- but there's no denying the fact that between 2001 and 2004 U.S. military spending grew by more than one fourth since 9/11. America now spends an extra $100 billion per year on its military. Add to this the creation of a $30 billion-per-year Department of Homeland Security, and the billions directed to the State Department and other agencies aiding allies in the War on Terror and we discover a price tag of at least $150 billion annually to defend the U.S. against terrorism.
Apakah nasib USA sama dengan USSR dan komite pemberi hadiah Nobel Perdamaian memang memberikan hadiah untuk pengobaran permusuhan, kebencian dan perang, sejarah akan mencatatnya nanti.
Ramos Horta (dan Uskup Bello). Mereka memperoleh hadiah Nobel Perdamaian di tahun 1996. Horta sama sekali tidak pernah ada di Timor-Timur bertempur bersama pasukan Fretilin melawan Indonesia. Dia bisa dikatakan sebagai kompor yang mengobarkan semangat anti Indonesia dan permusuhan/kebencian terhadap Indonesia. Dia tidak pernah tahu bagaimana majunya Timor-Timur setelah bergabung dengan Indonesia. Suharto berusaha mengambil hati rakyat Timor-Timur dengan membangun Timor-Timur atas biaya pembayar pajak dari Jawa, Sumatera dan provinsi-provinsi yang produktif lainnya selama tahun 1975 - 1999. Sejak diberikannya hadiah Nobel Perdamaian (untuk pengobaran permusuhan, kebencian dan perang), pergolakan dan pertentangan di Timor-Timur meningkat antara yang pro-kemerdekaan, pro-integrasi dan pro-otonomi (yang ini tidak nampak, kemungkinan ada). Suatu bukti bahwa hadiah Nobel ini memang diberikan untuk pengobaran permusuhan, kebencian dan perang. Ramos Horta akhirnya menjadi presiden, seperti impian dan cita-cita tertinggi para politikus. Apakah ekonomi Timor-Timur (Timor Leste) menjadi lebih baik setelah merdeka? Selama beberapa tahun masih banyak orang Timor Leste yang menyebrang ke wilayah Indonesia untuk membeli minyak. Ladang-ladang minyak di “Timor Gap” seakan tidak memberi manfaat bagi rakyat. Tetapi lain halnya dengan para pemimpinnya. Kami di Ekonomi Orang Waras dan Investasi (EOWI) tidak heran. Sukarno, Suharto, Horta, mereka sama saja.
Nelson Madela agak berbeda sedikit. Perjuangannya adalah menentang aparteid. Di EOWI, kami tidak menentang perbudakan atau aparteid selama sistem itu proporsionil dan memakmurkan semuanya. Sejarah menunjukkan bahwa pernah disuatu masa, di jaman kekaisaran Romawi, banyak orang ingin menjadi budak atau dengan sengaja menjadikan dirinya budak, karena untuk menjadi orang merdeka, bebannya terlalu berat. Menjadi orang merdeka tidak selalu lebih enak. Oleh sebab itu EOWI tidak menentang perbudakan atau aparteid. Yang EOWI tidak suka adalah penipuan dan manipulasi, terutama yang dilakukan oleh politikus. Pembaca EOWI, issu aparteid, perbudakan, persamaan hak adalah issu yang perjuangan penentangannya sudah diromatiskan oleh para politikus agar bisa dipakai menjadi kendaraan untuk mencapai tunjuan yang tertingginya, yaitu jadi presiden (atau perdana mentri). Dalam banyak kasus, aparteid, perbudakan, penjajahan atau issu-issu yang katanya buruk, sebenarnya sudah diromantiskan dan tidak selamanya buruk bahkan lebih baik dari pada yang sebaliknya.
Mandela berhasil mencapai cita-cita yang paling tingginya menjadi presiden 1994-1999 Afrika Selatan. Tetapi apakah dengan dihapuskannya aparteid Afrika Selatan menjadi makmur. Tidak! Afrika Selatan yang kaya emas dan berlian terjerumus ke jurang kemelaratan karena salah urus. Afrika Selatan menjadi sarang epidemi penyakit AIDS. Emas dan berlian tidak mampu menolong mereka. Bahkan anak Nelson Mandela sendiri yaitu Makgatho Mandela, mati karena AIDS tahun 2005. Angka kematian (bukan yang terinfeksi) AIDS meningkat drastis dari 316,559 orang tahun 1997 menjadi 607,184 di tahun 2006. Bagi EOWI, Mandela adalah orang yang menggunakan issu aparteid untuk mencapai cita-citanya tanpa mengetahui konsekwensinya. Dia, Mandela, tidak sadar bahwa dia tidak mampu mengelola dana pajak/royalti dari tambang emas dan berlian untuk memakmuran rakyat Afrika Selatan. Semangat anti aparteid (baca: anti kulit putih) telah mendepak birokrat terampil dalam mengelola dana untuk kemakmuran rakyat dan negara. Negara menjadi salah urus.
Semangat anti aparteid (anti kulit putih) juga menjalar ke negara-negara tetangganya seperti Rhodesia (sekarang Zimbabwe). Awalnya Rhodesia adalah negara pertanian yang makmur dan pengekspor bahan pangan ke negara-negara sekitarnya. Ketika semangat anti aparteid dan permusuhan terhadap kulit putih (petani-petani yang sukses) memuncak, para petani ini dikejar-kejar, dibunuhi, diusir dari tanah mereka dan dirampas harta mereka untuk diberikan kepada kaum kulit hitam yang tidak punya ketrampilan sama sekali. Tanpa adanya petani-petani yang handal, Rhodesia atau Zimbabwe terperosok dalam krisis ekonomi. Rhodesia berubah dari negara eksportir makanan menjadi importir makanan. Ketika sudah tidak ada yang bisa dipakai untuk barter, kemelaratan dan kelaparan merajalela. Negara mencetak duit bak orang gila. Inflasi mencapai 231,000,000% pada tahun 2008. Itulah dampak dari Nobel Perdamaian untuk mengobarkan rasa permusuhan, kebencian dan perang.
Lech Walesa (dari Polandia) lain lagi. Diapun politikus yang mengobarkan rasa permusuhan. Akhirnya dia bisa menjadi presiden Polandia (1990- 1995). Nasib Polandia tidak seperti Kofederasi Uni Soviet atau Afrika Selatan. Yang pasti Lech Walesa bisa mencapai cita-cita terakhir dari semua politikus, yaitu kursi presiden.
Aung San Suu Kyi dan Dalai Lama ke 14 punya persamaan. Yaitu keduanya adalah penerima hadiah Nobel Perdamaian untuk menyebarkan rasa permusuhan terhadap negara mereka dan sampai sekarang mereka masih gagal untuk mencapai cita-cita tertinggi yang dipunyai oleh politikus yaitu kursi kepresidenan. Dalai Lama di Cina dan Aung San Suu Kyi di Myanmar.
Kita bisa bercerita panjang lebar tentang Yasser Arafat, Shimon Peres, Yitzhak Rabin yang selama beberapa dekade terlibat dalam kancah peperangan di Timur Tengah, kancah rasa permusuhan dan kebencian. Atau Woodrow Wilson yang memutuskan agar US masuk ke dalam kancah Perang Dunia I, padahal perang itu terjadinya di Eropa dan tidak akan pernah bisa mengancam US. Lagi pula dalam kampanyenya Wilson punya slogan “he kept us out of the war”, dia yang mempertahankan kita dari perang. Dasar politikus, akhirnya slogan itu menjadi sebaliknya, “he that took us to war”. Wilson diberi hadiah Nobel Perdamaian tahun 1917, setelah selesai Perang Dunia I. Apakah mereka ini sejatinya layak disebut juru damai, atau hadiah Nobel Perdamaian sejatinya adalah diperuntukkan bagi mereka yang mengobarkan rasa permusuhan, kebencian dan peperangan? Bukti-bukti dan perbuatan lebih berarti dari pada titel, nama dan ucapan. Nobel Perdamaian tidak berarti didedikasikan untuk perdamaian.
Pembaca mungkin bertanya-tanya, apakah hadiah Nobel Perdamaian yang sejatinya? Kalau dilihat dari track recordnya ada dua kategori yang bisa memperoleh hadiah Nobel Perdamaian. Pertama adalah kategori untuk kemanusiaan dan penerima yang menonjol adalah, seperti ibu Teresia (1979) dan Albert Schweitzer (1952), Jean Henri Dunant (1901). Yang kedua adalah untuk mengobarkan rasa permusuhan dan perang yang tentu saja bertolak belakang dengan arti kata perdamaian. Yang ketiga adalah yang tidak jelas kriterianya. Seperti Muhammad Yunus Grameen Bank, yang memfokuskan pada kredit mikro untuk rakyat. Dan hidupnya bank mengandalkan sumbangan, grant dan pinjaman lunak. Grameen Bank akan tetap hidup selama sumbangan, grant dan pinjaman lunak masih mengalir dan non-performing loannya masih bisa ditutupi. Dengan kata lain, Muhammad Yunus dengan Grameen Banknya bisa dikelompokkan dengan ibu Teresia, Albert Schweitzer dan Henri Dunant, walaupun sebenarnya usahanya tidak jelas.
Jumlah penerima hadiah Nobel Perdamaian untuk kemanusiaan yang menonjol, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Nobel Perdamaian untuk mengobarkan rasa permusuhan dan perang. Saya tidak perlu berpikir lama untuk membuat membuat daftar yang berisi lebih dari 10 pemanang Nobel Perdamaian untuk pengobaran rasa permusuhan, konflik dan perang: Obama, Ramos Horta, Uskup Bello, Nelson Mandela, Aung San Suu Kyi, Dalai Lama ke 14, Lech Walesa, Desmond Tutu, Yasser Arafat, Shimon Peres, Yitzhak Rabin dan Woodrow Wilson. Ada 12 orang, itu tanpa melakukan penelitian yang mendalam.
Antara kelompok ibu Teresia, Albert Schweitzer, Henri Dunant dengan Obama, Ramos Horta, Aung San Suu Kyim Lech Walesa, Shimon Peres dan Woodrow Wilson terdapat kontras prilaku dan hasil kerja. Ibu Teresia, adalah orang hidupnya didedikasikan kepada pemeliharaan orang-orang miskin, golongan sudra yang tak tersentuh di India. Sejak tahun 1931, dia sudah mencurahkan hidupnya untuk orang miskin, yang dimulainya sebagai guru dan nun. Tahun 1950 dia memulai suatu organisasi yang disebut The Missionaries of Charity yang tujuannya memelihara orang-orang malang yang tidak ada yang bersedia merawat.
Albert Schweitzer, juga orang yang mencurahkan hidup dan hartanya untuk orang-orang berpenyakit, malaria, lepra, TBC di Afrika dengan mendirikan sebuah rumah sakit di Gabon tahun 1906. Albert Schweitzer meninggal dan dikuburkan di dekat rumah sakit yang didirikannya.
Sedang Henri Dunant adalah yang mengispirasi pendirian palang merah dunia. Henri terlahir tahun 1828 dari keluarga kaya dan tumbuh sebagai pengusaha yang berhasil. Tetapi kemudian, dia lebih mencurahkan perhatiannya kepada masalah kemanusiaan dan tidak lagi memperhatikan bisnisnya sehingga bankrut. Usaha-usaha kemanusiaan Henri Dunant inilah kemudian melahirkan palang merah dunia yang usaha-usaha kemanusiaannya tidak bisa disangkal lagi. Henri Dunant akhirnya mati sebagai orang miskin dan uang hadiah Nobelnya disumbangkan untuk perawatan orang-orang sakit yang tidak mampu.
Usaha-usaha ketiga orang ini, Ibu Teresia, Albert Schwietzer dan Henri Dunant, sangat kontras dibandingkan landasan dan kriteria yang dipakai untuk memilih Obama, Ramos Horta, Uskup Bello, Nelson Mandela, Aung San Suu Kyi, Dalai Lama ke 14, Lech Walesa, Desmond Tutu, Yasser Arafat, Shimon Peres, Yitzhak Rabin dan Woodrow Wilson sebagai pemenang hadiah Nobel Perdamaian (untuk pengobaran permusuhan, kebencian dan perang). Paling tidak prilaku orang-orang ini sebelum atau beberapa saat sesudah penerimaan hadiah Nobel. Misalnya Obama, dia tidak perlu sungkan-sungkan menunggu 1 tahun, misalnya untuk mengumumkan keinginannya untuk meningkatkan kobaran perang di Afghanistan. Beberapa hari sebelum Obama menerima hadiah Nobel Perdamaian (untuk pengobaran permusuhan, kebencian dan perang), Obama mengumumkan akan ditingkatkannya jumlah pasukan US di Afghanistan. Tidak adanya pencabutan hadiah Nobel Perdamaian untuk Obama memperkuat definisi bahwa hadiah Nobel ini diperuntukkan untuk pengobaran permusuhan, kebencian dan perang.
Bagaimana akhir dari nasib Obama atau US di Afghanistan belum bisa sekarang. Sebelumnya Median (Iran sekarang), Persia (Iran sekarang), Alexander the Great (Macedonia), Seleucid, Yunani, Turki, Mongols, Inggris dan yang terakhir sebelum US adalah Uni Soviet. Alexander tidak lama di Afghanistan sebelum dia mati. Inggris juga mencoba mengusik Afghanistan tahun 1839–42, 1878–80, dan akhirnya tahun 1919. Konfederasi Uni Soviet (USSR) juga masuk ke Afghanistan tahun 1979 dan hanya bertahan kurang dari 2 dekade (1979 – 1996). Bukannya Afghanistan yang hancur malah Uni Soviet itu sendiri. Invasi Uni Soviet ke Afghanistan membuat ekonomi Uni Soviet berdarah-darah, sehingga terjadi gejolak di dalam negri Uni Soviet. Tahun 1991 runtuhlah negara Konfederasi Uni Soviet. Tetapi negara intinya yaitu Russia masih bertahan di Afghanistan sampai secara ekonomi tidak lagi mampu membiayai perang dan akhirnya mundur di tahun 1996 bagai anjing dengan ekor ke bawah diantara kedua kaki. Apakah nasib USA ini akan seperti USSR. Keduanya punya nama yang mirip USA dan USSR. Dan para pejuang Taliban punya semboyan, “$1 yang mereka keluarkan akan membuat US mengeluarkan $ 1 juta. Itu lah yang kami lakukan terhadap Soviet”. Inilah yang dikatakan oleh Osama bin Laden dalam tape yang dikirimkan ke US tahun 2004. Inilah cuplikan ceritanya dari the Institute for the Analysis of Global Security.
Al Qaeda's economic war against the United States
Although battlefield victories are crucial, history shows that global wars have been decided on a different kind of front: the war between economic powers. World War II soldiers clashed on the beaches of Normandy and Guadalcanal, but only when the German and Japanese war industries ran out of cash and raw materials did the wheels of the Whehrmacht and the Imperial Army finally grind to a halt. The Cold War could have gone on for decades if not for the depletion of the Kremlin's coffers.
The war on radical Islam is no different. Osama bin Laden plans strategies based on his victory over the Soviets in Afghanistan during the 1980s. Feasibility aside, he believes the way to bring down a superpower is to weaken its economy through protracted guerilla warfare. "We bled Russia for ten years until it went bankrupt and was forced to withdraw in defeat," bin Laden boasted in his October 2004 videotape.
The October video, released just before the U.S. election, offers a glimpse into the jihadist strategy. "We are continuing in the same policy to make America bleed profusely to the point of bankruptcy," said bin Laden. His logic is simple: To bring the U.S. to suffer a fate similar to that of the Soviet Union, the terrorists need to drain America's resources and bring it to the point it can no longer afford to preserve its military and economic dominance. As the U.S. loses standing in the Middle East, the jihadists can gain ground and remove from power regimes they view as corrupt and illegitimate while defeating other infidels who inhabit the land of Islam.
Three methods comprise Al Qaeda's economic war against the U.S. The first is the destruction of high-cost qualitative targets by low-cost qualitative means. The 2001 attack on the World Trade Center is a perfect example of how terrorists can get more bang for their cheap buck. Bin Laden cited estimates that Al Qaeda spent $500,000 to carry out the attacks of September 11, which caused America to lose more than $500 billion. "Every dollar of Al Qaeda defeated a million [U.S.] dollars," bin Laden concluded.
Bin Laden's second form of economic warfare involves forcing the U.S. to sink unsustainable amounts of funding into its defense agencies. The more the U.S. invests in defense, the more its domestic investment suffers neglect. Not much is needed, bin Laden reasons, to provoke America into expensive military interventions: "All that we have to do is to send two mujahedeen to the furthest point east to raise a piece of cloth on which is written Al Qaeda, in order to make generals race there to cause America to suffer human, economic and political losses without their achieving anything." Bin Laden exaggerates -- but there's no denying the fact that between 2001 and 2004 U.S. military spending grew by more than one fourth since 9/11. America now spends an extra $100 billion per year on its military. Add to this the creation of a $30 billion-per-year Department of Homeland Security, and the billions directed to the State Department and other agencies aiding allies in the War on Terror and we discover a price tag of at least $150 billion annually to defend the U.S. against terrorism.
Apakah nasib USA sama dengan USSR dan komite pemberi hadiah Nobel Perdamaian memang memberikan hadiah untuk pengobaran permusuhan, kebencian dan perang, sejarah akan mencatatnya nanti.
Ramos Horta (dan Uskup Bello). Mereka memperoleh hadiah Nobel Perdamaian di tahun 1996. Horta sama sekali tidak pernah ada di Timor-Timur bertempur bersama pasukan Fretilin melawan Indonesia. Dia bisa dikatakan sebagai kompor yang mengobarkan semangat anti Indonesia dan permusuhan/kebencian terhadap Indonesia. Dia tidak pernah tahu bagaimana majunya Timor-Timur setelah bergabung dengan Indonesia. Suharto berusaha mengambil hati rakyat Timor-Timur dengan membangun Timor-Timur atas biaya pembayar pajak dari Jawa, Sumatera dan provinsi-provinsi yang produktif lainnya selama tahun 1975 - 1999. Sejak diberikannya hadiah Nobel Perdamaian (untuk pengobaran permusuhan, kebencian dan perang), pergolakan dan pertentangan di Timor-Timur meningkat antara yang pro-kemerdekaan, pro-integrasi dan pro-otonomi (yang ini tidak nampak, kemungkinan ada). Suatu bukti bahwa hadiah Nobel ini memang diberikan untuk pengobaran permusuhan, kebencian dan perang. Ramos Horta akhirnya menjadi presiden, seperti impian dan cita-cita tertinggi para politikus. Apakah ekonomi Timor-Timur (Timor Leste) menjadi lebih baik setelah merdeka? Selama beberapa tahun masih banyak orang Timor Leste yang menyebrang ke wilayah Indonesia untuk membeli minyak. Ladang-ladang minyak di “Timor Gap” seakan tidak memberi manfaat bagi rakyat. Tetapi lain halnya dengan para pemimpinnya. Kami di Ekonomi Orang Waras dan Investasi (EOWI) tidak heran. Sukarno, Suharto, Horta, mereka sama saja.
Nelson Madela agak berbeda sedikit. Perjuangannya adalah menentang aparteid. Di EOWI, kami tidak menentang perbudakan atau aparteid selama sistem itu proporsionil dan memakmurkan semuanya. Sejarah menunjukkan bahwa pernah disuatu masa, di jaman kekaisaran Romawi, banyak orang ingin menjadi budak atau dengan sengaja menjadikan dirinya budak, karena untuk menjadi orang merdeka, bebannya terlalu berat. Menjadi orang merdeka tidak selalu lebih enak. Oleh sebab itu EOWI tidak menentang perbudakan atau aparteid. Yang EOWI tidak suka adalah penipuan dan manipulasi, terutama yang dilakukan oleh politikus. Pembaca EOWI, issu aparteid, perbudakan, persamaan hak adalah issu yang perjuangan penentangannya sudah diromatiskan oleh para politikus agar bisa dipakai menjadi kendaraan untuk mencapai tunjuan yang tertingginya, yaitu jadi presiden (atau perdana mentri). Dalam banyak kasus, aparteid, perbudakan, penjajahan atau issu-issu yang katanya buruk, sebenarnya sudah diromantiskan dan tidak selamanya buruk bahkan lebih baik dari pada yang sebaliknya.
Mandela berhasil mencapai cita-cita yang paling tingginya menjadi presiden 1994-1999 Afrika Selatan. Tetapi apakah dengan dihapuskannya aparteid Afrika Selatan menjadi makmur. Tidak! Afrika Selatan yang kaya emas dan berlian terjerumus ke jurang kemelaratan karena salah urus. Afrika Selatan menjadi sarang epidemi penyakit AIDS. Emas dan berlian tidak mampu menolong mereka. Bahkan anak Nelson Mandela sendiri yaitu Makgatho Mandela, mati karena AIDS tahun 2005. Angka kematian (bukan yang terinfeksi) AIDS meningkat drastis dari 316,559 orang tahun 1997 menjadi 607,184 di tahun 2006. Bagi EOWI, Mandela adalah orang yang menggunakan issu aparteid untuk mencapai cita-citanya tanpa mengetahui konsekwensinya. Dia, Mandela, tidak sadar bahwa dia tidak mampu mengelola dana pajak/royalti dari tambang emas dan berlian untuk memakmuran rakyat Afrika Selatan. Semangat anti aparteid (baca: anti kulit putih) telah mendepak birokrat terampil dalam mengelola dana untuk kemakmuran rakyat dan negara. Negara menjadi salah urus.
Semangat anti aparteid (anti kulit putih) juga menjalar ke negara-negara tetangganya seperti Rhodesia (sekarang Zimbabwe). Awalnya Rhodesia adalah negara pertanian yang makmur dan pengekspor bahan pangan ke negara-negara sekitarnya. Ketika semangat anti aparteid dan permusuhan terhadap kulit putih (petani-petani yang sukses) memuncak, para petani ini dikejar-kejar, dibunuhi, diusir dari tanah mereka dan dirampas harta mereka untuk diberikan kepada kaum kulit hitam yang tidak punya ketrampilan sama sekali. Tanpa adanya petani-petani yang handal, Rhodesia atau Zimbabwe terperosok dalam krisis ekonomi. Rhodesia berubah dari negara eksportir makanan menjadi importir makanan. Ketika sudah tidak ada yang bisa dipakai untuk barter, kemelaratan dan kelaparan merajalela. Negara mencetak duit bak orang gila. Inflasi mencapai 231,000,000% pada tahun 2008. Itulah dampak dari Nobel Perdamaian untuk mengobarkan rasa permusuhan, kebencian dan perang.
Lech Walesa (dari Polandia) lain lagi. Diapun politikus yang mengobarkan rasa permusuhan. Akhirnya dia bisa menjadi presiden Polandia (1990- 1995). Nasib Polandia tidak seperti Kofederasi Uni Soviet atau Afrika Selatan. Yang pasti Lech Walesa bisa mencapai cita-cita terakhir dari semua politikus, yaitu kursi presiden.
Aung San Suu Kyi dan Dalai Lama ke 14 punya persamaan. Yaitu keduanya adalah penerima hadiah Nobel Perdamaian untuk menyebarkan rasa permusuhan terhadap negara mereka dan sampai sekarang mereka masih gagal untuk mencapai cita-cita tertinggi yang dipunyai oleh politikus yaitu kursi kepresidenan. Dalai Lama di Cina dan Aung San Suu Kyi di Myanmar.
Kita bisa bercerita panjang lebar tentang Yasser Arafat, Shimon Peres, Yitzhak Rabin yang selama beberapa dekade terlibat dalam kancah peperangan di Timur Tengah, kancah rasa permusuhan dan kebencian. Atau Woodrow Wilson yang memutuskan agar US masuk ke dalam kancah Perang Dunia I, padahal perang itu terjadinya di Eropa dan tidak akan pernah bisa mengancam US. Lagi pula dalam kampanyenya Wilson punya slogan “he kept us out of the war”, dia yang mempertahankan kita dari perang. Dasar politikus, akhirnya slogan itu menjadi sebaliknya, “he that took us to war”. Wilson diberi hadiah Nobel Perdamaian tahun 1917, setelah selesai Perang Dunia I. Apakah mereka ini sejatinya layak disebut juru damai, atau hadiah Nobel Perdamaian sejatinya adalah diperuntukkan bagi mereka yang mengobarkan rasa permusuhan, kebencian dan peperangan? Bukti-bukti dan perbuatan lebih berarti dari pada titel, nama dan ucapan. Nobel Perdamaian tidak berarti didedikasikan untuk perdamaian.
Sekian dulu......., semoga anda menikmati episode sejarah masa lalu.
Jakarta 13 Desember 2009.
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.
3 comments:
Nobel perdamaian tampaknya sudah menjadi seremonial tahunan zionis untuk mengejek para goyim.
Sayang pemenang tahun ini tidak diberikan kepada Tony Blair.
http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/middleeast/iraq/6789231/Tony-Blair-Iraq-War-was-right-even-if-there-were-no-WMDs.html
Kalau pendapet saya yang agak waras.
Nobel perdamaian mau dikasih siapa, bukan urusan kita. Itu hak Si Nobel dan konco2nya yang menentukan, karena uang-uang mereka. Kalau mau kita bikin tandingannya, kalau mau keluar uang tentunya.
M Noer
berarti Muhammad juga cocok dihadiahi nobel permusuhan,perang,dan pembantaian manusia ya?,CMIIW
please dijawab dgn jawaban waras ya pak IS
Post a Comment