Saya tidak bermaksud
memplesetkan kata NKRI menjadi Negara (yang) Kemanusiaan Resmi diInjak-injak,
diIngkari, tetapi hal ini adalah suatu keniscayaan yang resmi sejak tahun 2001. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum itu
tidak pemerintah tidak melakukan hal-hal yang tidak berprikemanusiaan terhadap
rakyatnya. Tetapi secara undang-undang dasar (konstitusi) hal tersebut tidak
disebutkan secara gamblang. Hanya saja, sejak tahun 2001, pemaksaan dan
penindasan menjadi resmi dan legal. Dan hal itu, maksudnya penindasan dan
pemaksaan, menjadi semakin meningkat sejak tahun 2001.
Pada tahun 2001, konstitusi RI
diubah untuk ketiga kalinya (bahasa kerennya
amendemen ke tiga) dan salah satu pasal yang diubah adalah pasal 23, yang
ditambahi dengan pasal 23A. Sekarang pasal tersebut mengandung kalimat yang
berbunyi: Pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang. Tahun 2001 secara resmi
pemerintah boleh memaksa-maksa rakyatnya untuk menyerahkan uang, harta miliknya
(rakyat).
Sebelumnya, apakah itu dijaman
Orde Lama atau Orde Baru, segala tindakan repressi dan pemaksaan yang tidak
berprikemanusiaan tidak ada yang resmi secara konstitusi. Hal itu ada dan masih
dibungkus dengan undang-undang (yang derajadnya di bawah konstitusi) dan
narasinya secara verbal tidak vulgar. Akan tetapi jangan dikira bahwa halus dan
tidak vulgar berarti lemah, tetapi bak karet yang bisa ditarik panjang sekali,
seperti pasal pencemaran nama baik, pasal keamanan negara atau undang-undang
anti subversi. Dan waktu itu belum ada yang dituangkan di dalam konstitusi
(undang-undang dasar).
Sekarang, pemerintah punya
dasar hukum yang (dianggap) paling tinggi yaitu konstitusi. Repressi, pemaksaan
diperbolehkan dalam kaitannya dengan pajak dan pungutan-pungutan yang
ditetapkan oleh undang-undang dan peraturan. Tentunya pemerintah tidak salah
kalau mereka membuat peraturan yang banyak untuk memaksa rakyat untuk
menyerahkan uangnya. Itu legal. Apakah masuk diakalnya orang waras dan masih
berprikemanusiaan?
Untuk pertanyaan: Apakah masuk
diakalnya orang waras dan masih berprikemanusiaan?, EOWI tidak akan menjawabnya. Cukup pembaca
sendiri yang merenungkannya.
Pajak bukan Jual Beli
Latar belakan penyitiran pasal
23A UUD-45 Amendemen di atas karena kita akan membicarakan masalah pajak dan
sejenisnya dalam kaitannya dengan kata “paksa” di kalimat pasal 23A tersebut.
EOWI punya sebuah kata-kata mutiara, humor sadonik mengenai pajak, yaitu sbb:
Tuhannya orang Islam memberi 5 perintah (5 rukun Islam) dan 1 buku panduan hidup yang berisi 144 pasal (surah) sebagai balasannya setiap
muslim dibebani pajak penghasilan 2.5% (zakat).
Tuhannya orang Kristen dan
Yahudi memberi 10 perintah dan
larangan kepada umatnya dan 66 buku dengan
1189 pasal , karenanya mereka
dikenakan pajak 10% dari penghasilan
mereka. (Catatan: Bible adalah kumpulan 66 buku dari kitab Kejadian sampai ke
kitab Wahyu. Dan Bible adalah punya akar kata yang sama dengan bibliography dan bibliothek,
yaitu biblia).
NKRI memberi 100 ribu aturan dan larangan dan buku
undang-undang sebanyak satu perpustakaan
penuh dengan jutaan pasal, oleh karenanya NKRI menuntut pajak penghasilan 30%, PPN 10%, pajak
meterai, pajak kendaraan, pajak barang mewah, PBB,......dan karena masih kurang lagi maka pajak
jalan tol dan lainnya akan ditambahkan dikemudian hari.
Jadi ada kaitannya antara
banyaknya aturan dan besarnya uang yang diminta. Saya suka Islam karena
pajaknya kecil, hanya 2.5% dan aturannya sedikit. Ditambah lagi...., saya tidak
perlu mengisi formulir pajak yang rumit, melaporkan kekayaan saya kepada Tuhan,
punya kartu identitas. Itu enaknya menjadi orang Islam (warga Tuhannya orang
Islam) dari pada menjadi warga negara Indonesia. Tuhan tidak perlu biaya untuk
memutar roda kehidupan, sedangkan NKRI perlu uang dari rakyatnya untuk
menjalankan negara.
Orang berpikir bahwa membayar
pajak kepada pemerintah adalah bayaran/imbalan atas jasa yang diberikan
pemerintah kepada rakyatnya. Seperti jual-beli. Tentu saja pendapat itu salah.
Karena jika hal tersebut adalah jual-beli, maka berdasarkan Islam (Quran) harus
ada unsur keridhaan
(sama-sama senang dan tidak ada paksaan) karena pertukaran jasa dengan harta
(uang) tersebut bersifat proporsional.
“kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka (saling
ridho) di antara kalian” (QS. An Nisa’: 29).
Untuk pajak, sifatnya lebih
menekan pada rakyat dan imbalan tersebut tidak proporsional. Selanjutnya bagi
yang ingin mengetahui definisi mengenai pajak, bisa dilihat di Wikipedia.
Karena salah satu persyaratan
pajak adalah sifatnya memaksa maka unsur kemanusiaan akan diinjak-injak dan
unsur kewarasan menjadi hilang. Kita akan lihat dari beberapa contoh yang sudah
dilakukan dan akan dilakukan oleh pemerintah.
1. Meterai Untuk Pembelian Cabe 3 kg
Kasus meterai untuk pembelian cabe
3 kg masih digodog di DPR dan belum diimplementasikan. Mungkin tahun depan atau
sesudahnya bisa diterapkan di masyarakat. Dan akibatnya mbok-mbok penjual cabe
harus punya meterai. Berikut ini adalah beritanya.
Dirjen
Pajak Kemenkeu Sigit Priadi Pramudito mengungkapkan, optimalisasi bea materai
itu dilakukan dengan menerapkan tarif baru yang naik lebih dari 100 persen pada
Juni nanti.
"Tarif
bea materai yang saat ini sebesar Rp 3.000 dan Rp 6.000, akan dinaikkan menjadi
Rp 10.000 dan Rp 18.000," sebut Sigit saat ditemui di kantor Kemenkeu,
Jakarta, kemarin.
Sigit
menyebutkan, proses pembahasan terkait hal tersebut sudah hampir rampung.
"Targetnya (pembahasan bea materai) bulan Juni selesai. Jadi pengenaan bea
materai akan terlaksana tahun ini," ujarnya.
Sigit
melanjutkan, untuk menaikkan tarif materai diperlukan revisi Undang Undang Bea
Materai. Terkait hal tersebut, pihaknya mengaku telah memasukkan revisi UU Bea
Materai dalam penyusunan prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015.
"Sudah
masuk prolegnas dan DPR berjanji bahwa Prolegnas (terkait) Bea Materia itu akan
didahulukan,"lanjutnya.
Selain
itu, Sigit menuturkan, nantinya transaksi untuk ritel juga akan dikenakan tarif
Bea Materai. Ditjen Pajak akan mengawasi pengusaha ritel yang belum memungut
bea meterai dalam transaksi perdagangan yang dilakukan.
Dalam
UU Bea Materai, transaksi belanja di atas Rp 250 ribu dipungut bea meterai
sebesar Rp 3.000, di atas Rp 1 juta dikenakan bea materai Rp 6.000.
Dalam
UU Bea Materai, transaksi belanja di atas Rp 250 ribu dipungut bea meterai
sebesar Rp 3.000, di atas Rp 1 juta dikenakan bea materai Rp 6.000.
Jadi, jika pembantu anda
berbelanja cabe 3 kilo yang kadang-kadang harganya mencapai Rp 100 ribu/kg,
atau bawang akhir-akhir ini mencapai Rp 100 ribu/kg atau beras 20kg (harganya
Rp 15 ribu/kg) pembantu anda akan dikenai meterai Rp 3000!!! Dan kalau bea
meterai Rp 3000 sudah dinakkan menjadi Rp 10,000 maka beli cabe 3 kg akan kena
meterai Rp 10,000.
Opo tumon.....ono wong koyo ngono.
Saya sedang berpikir jika kurs
US dollar 2 – 3 tahun ke depan nanti mencapai Rp 25,000, maka harga cabe bisa
mencapai Rp 200 – Rp 250 ribu per kilonya, maka untuk membeli 1 kg cabe, anda
dikenai biaya meterai Rp 10,000!!! Mbok-mbok penjual cabe harus bawa-bawa
meterai!!!
Berprikemanusiaan kah NKRI (Negara
(yang) Kemanusiaan Resmi di-Injak)?
2. Kena Musibah Malah Dipajaki
Bila seseorang terkena
musibah, secara moral harus dibantu. Kalau seseorang terkena musibah, kemudian
masih diperas, diambil uangnya dan dipaksa untuk menyerahkan uangnya, maka si
pemaksa, pemeras, pengambil uang orang yang tertimpa musibah bisa disebut biadab,
bejad, tidak bermoral (terserah pembaca, nama apa yang cocok bagi
orang/kelompok seperti ini). Buat saya, orang seperti itu tempatnya adalah
neraka. Kalau di dunia ini, orang-orang seperti ini harus dibasmi. Tidak ada
ajaran moral (kecuali Pancasila barang
kali) yang mengajarkan agar orang menimpakan tangga ke orang yang sudah jatuh.
Atau membuat orang sudah sengsara menjadi lebih sengsara.
Yang saya maksud dengan orang
yang terkena musibah ini adalah orang yang diPHK, kena pecat dari pekerjaannya,
kehilangan sumber penghasilannya. Orang-orang yang diberhentikan dari
pekerjaannya sepatutnya memperoleh simpati dan dibantu. Tetapi oleh pemerintah,
malah dibikin lebih sengsara.
Pekerja yang diberhentikan
dari pekerjaannya akan memperoleh pesangon. Besarnya, secara resmi bisa
mencapai 28 bulan gaji + plus lain-lain. Katakanlah 30 bulan atau 2.5 tahun
gaji untuk gampangnya. Itu kalau dia sudah bekerja di tempat yang sama lebih
dari 24 tahun. Dengan kata lain ia sudah berumur....., di atas 45 tahun. Pada umur
ini, pengeluaran sedang tinggi-tingginya, berada dipuncaknya. Anak-anaknya
sekolah di universitas. Dan pesongon ini oleh pemerintah NKRI dikenai pajak
sampai 25%.
Mungkin banyak yang akan
berargumen, bahwa yang terkena pajak sampai 25% adalah yang memperoleh Rp 500
juta ke atas. Yang Rp 50 juta hanya kena 5%. Angka Rp 500 juta
kelihatannya besar. Padahal kalau dibandingkan dengan harga sebuah apartemen
studio (1 kamar) atau rumah type 45 (tanah 90 m2 dan bangunan 45 m2)
di pinggirnya Jakarta (bukan di Jakarta-pinggir), masih dibawahnya dan sulit
untuk bisa membeli properti seperti itu.
Terlepas dari banyak atau
tidaknya angka Rp 500 juta, harus dilihat juga angka 2.5 tahun-gaji. Rentang
waktu 2.5 tahun itu tidak lama. Untuk memperoleh pekerjaan tetap terkadang
memakan waktu bertahun-tahun bagi pekerja yang sudah berumur dan dimasa krisis.
Bahkan banyak pekerja yang diPHK dimasa krisis 1998 tidak pernah bisa
memperoleh pekerjaan (tetap). Banyak yang menjadi pengangguran atau bekerja
serabutan.......(walaupun melarat dan bekerja serabutan tetapi masih hidup
bukan dan masih bisa dipajaki bukan?).
Argumen bahwa yang terkena
pajak sampai 25% adalah yang memperoleh Rp 500 juta ke atas adalah orang kaya
adalah dalih, bukan argumen. Hal itu tidak menghapuskan kenyataan bahwa
mengambil pajak dari uang pesangon adalah tidak manusiawi, tidak
berprikemanusiaan melainkan biadab. Orang sedang ditimpa kemalangan kok malah diambil uangnya.
Apapun dalihnya, tanpa pajak
uang PHK, para korban PHK bisa menggunakan uang pesangonnya sampai 25% lebih
lama. Penderitaannya bisa ditunda 25% lebih lama. Jadi siapa saja yang
mempercepat datangnya penderitaan orang layak disebut biadab.
Berprikemanusiaan kah
NKRI (Negara (yang) Kemanusiaan Resmi di-Injak)?
Ketika anda memilih orang, memberi
mereka kekuasaan dan mandat dan berharap agar mereka berbuat sesuatu yang baik
untuk anda, jangan harap hal tersebut terjadi. Yang ada adalah, anda akan
dipajaki dengan pajak berlapis-lapis ketika anda makan, makanan anda akan
dibebani pajak penjualan, bea meterai, restribusi.....dll. Ketika anda tertimpa
kemalangan, diPHK, seharusnya anda memperoleh pertolongan, tetapi uang pesangon
anda malah dipajaki (banyak pula). Ketika anda sakit, anda membayar biaya
pengobatan, itupun dipajaki. Jika uang pengobatan tersebut anda claim ke kantor anda, maka uang reimbursement pengobatan tersebut akan
dipajaki pula. Kalau istri bekerja mencari tambahan penghasilan keluarga, kalau
penghasilan keluarga dilaporkan secara bersama, bisa kena pajak yang lebih
tinggi lagi.
Politikus bukan Tuhan pemberi
rizki. Berharap dan meminta kepada Tuhan lebih baik dari pada berharap/meminta
kepada politikus. Kalau Tuhan, paling buruk adalah tidak mengabulkan permintaan
anda. Kalau politikus......, mereka akan membebani anda dengan pajak-pajak yang
berat dan memaksa........, dan imbalannya belum tentu ada. Oooh masih ada lagi,
anda juga dibebani oleh larangan-larangan dan aturan-aturan yang banyaknya
jutaan pasal.
Tuhan tetap menjadi pilihan
yang lebih baik dari pada politikus. Untuk rizki yang diberikannya, Tuhannya
orang Islam hanya membebani 1 buku yang berisi 114 pasal (surat) dan 5 perintah
serta 2.5% potongan/pajak untuk penghasilan anda.
Sedangkan untuk Tuhannya orang
Kristen hanya membebani umatnya dengan 66 buku yang berisi 1189 pasal, 10
perintah dan larangan serta 10% potongan/pajak untuk penghasilan anda.
Dan untuk pemerintah NKRI,
yang terdiri dari orang-orang yang berjanji untuk memakmurkan anda, mengambil
sampai 30% dari penghasilan anda, 10% dari setiap barang yang anda beli, sampai
25% uang PHK anda, sampai 75% untuk mobil yang dianggap mewah........dan banyak
lagi. Dan imbalan yang diberikan pemerintah? Silahkan anda evaluasi sendiri,
apakah sepadan atau tidak. Kalau saya harus pilih Tuhan, mati untuk Tuhan,
membela Tuhan atau membela NKRI, mati untuk NKRI.......sudah jelas
sejelas-jelasnya, saya pilih Tuhan.
Sekian dulu renungan kali ini.
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.
11 comments:
Well, pemerintah punya target pemasukan pajak yang sangat ambisius. Maka dari itu pemerintah harus punya alternatif (mencari sesuatu yang baru untuk dipajaki). Seperti bung Is bilang, beli cabe, beras, dll akan dikenakan bea materai. Kalo kebutuhan pokok tadi sampai dipajaki berarti juga memeras uang dari masyarakat menengah bawah yang seharusnya layak menerima bagian dari uang si kaya. Tapi kalo begini kan orang miskin yg membeli kebutuhan pokok juga menyumbang kepada negara. Masa sih negara kaya masih dibantu oleh orang miskin??(jika pemberlakuan bea materai ini dilakukan). benar2 tidak bijak sekali menurut pandangan saya.
Buat bung Is ditunggu artikelnya tentang prahara 2014-2020 sama paska praharanya ya..
Well bung IS, mantab ulasannya, namun akan lebih mengena & pas lagi bila ada perbandingan dgn perlakuan pajak & imbal balik bagi pembayar pajak di negara2 lain, terutama yg selevel/serumpun.. ditunggu artikel prahara selanjutnya...
Mas IS, ada yg bilang yg berkuasa itu di mana pun juga adalah preman.
Menarik jatah paj(l)ak yang mengada-ada tanpa rasa malu itu sepertinya membenarkan perkataan itu :)
Yg salah itu adalah outputnya dan tata birokrasi negara yang tidak efisien yg membuat pajak jadi tinggi dan memberatkan,ngomong2 gw tertarik dgn artikel IS mengenai 'Tuhan Lalai menyediakan sarana utk makhluk hidup',gimana dgn bencana alam bung,kayak kasus punahnya dinausaurus?
http://m.detik.com/finance/read/2015/04/06/063837/2878542/5/masyarakat-negara-ini-simpan-rp-3900-triliun-di-bawah-bantal
Sudah siap2 duluan. Masyrakat Jepang sudah mendahului Mas IS nih, he he he
Pak imam semar, bagaimana pendapat anda tentang pendapat mentri keuangan yang mengatakan tarif pajak penghasilan kita masih terlalu rendah, hingga mewacanakan menaikkan tarif pajak maksil menjadi 35% smpai 60% dari penghasilan?
Lalu ada wacana pajak pemandangan, sehingga orang yang tinggal di apartemen yang pemandanggannya bagus akan dikenakan tarif pajak lebih besar
Saya kuliah jurusan akuntansi dan harus belajar pajak juga. Jujur saja, belakangan ini saya semakin merasa risih dengan yang namanya pajak.
Apalagi setelah minggu lalu nonton film "Tjokroaminoto", saya jadi teringat jaman Belanda. Pada waktu itu kita harus membayar pajak kepada pemerintah Hindia Belanda. Sekarang kita harus membayar pajak kepada pemerintah "pribumi" sendiri dan saya merasa pemerintah "pribumi" lebih nggragas daripada pemerintah Hindia Belanda.
Jadi, saya akan menjelaskan secara awam saja kegelisahan saya mengenai perpajakan negara kita yang tercinta ini.
Ketika mendapatkan penghasilan, saya harus bayar pajak. Mau dapat duit dari sumber manapun ada penarikan pajaknya. Untuk penghasilan dari pekerjaan sebagai karyawan misalnya, perusahaan jikapun membayarkan pajak karyawannya tentu lebih memilih untuk tidak membayarkan 100% karena jika perusahaan membayarkan 100% maka perusahaan tidak bisa memasukkannya dalam daftar beban yang akan mengurangi laba. Karena menurut aturan pajak, 100% pajak penghasilan yg dibayarkan tersebut dianggap sebagai kenikmatan bagi karyawan sehingga tidak dapat dimasukkan dalam kategori beban dalam laporan rugi-laba perusahaan. Sederhananya, hal ini bisa membuat perusahaan nantinya membayar pajak penghasilan perusahaan lebih besar karena labanya menjadi lebih besar.
Setelah itu, jika saya mau "buang duit" untuk beli barangpun, saya akan dibebani dengan yang namanya pajak pertambahan nilai.
Jadi, dapat duit atau keluar duit kita HARUS bayar ke pemerintah.
Kemudian jika saya punya rumah dan kendaraan, setiap tahun, saya pun harus membayar pajak dari harta yang saya miliki tersebut.
Dan yang paling GILA adalah : saya sudah bayar, lalu saya juga yg harus repot-repot bikin laporan & melaporkannya ke KPP.
Kasarnya saya rasanya pengen bilang ke pemerintah : eh, gw udah bayar, dimana-mana kalau orang bayar harusnya dapat perlakuan yang enak, lha ini kok gw masih lu ribetin lagi dengan bikin & laporin sendiri pajak yg udah gw bayar. Udah keluar duit masih aja repot!
Satu lagi yang saya rasa cukup konyol. Tentang pajak undian. Kalau kita mau bikin undian, kita harus bayar ke depsos. Dan nantinya, yang menang undian juga harus bayar pajak pemenang. Jadi baik yg kasih maupun dapat hadiah semuanya harus bayar ke pemerintah. Isn't that funny? :-P
Belum lagi, pajak-pajak lain yang berupa materai itu tadi. Pajak materai ada di berbagai sektor. Dan pemerintah masih terus saja berusaha mencari celah untuk malak duit rakyat.
Saya membayangkan pemerintah itu seperti preman pasar yang sedang lingak - linguk cari celah sekecil apapun buat malakin orang yang bisa menghasilkan duit dari usaha apapun. Seolah begini : Eh, itu ternyata orang nungguin parkiran dapet duit, wah harus gw palakin ni. Eh, itu kuli ngangkutin barang orang bisa dapet duit, harus gw mintain jatah juga ni. Wah itu orang belanja kayaknya banyak duit, harus bagi gw juga dong...heheheee
Pajak itu mengambil uang beredar dari masyarakat lalu disalurkan lagi ke masyarakat dengan dipotong 30% untuk korupsi,dan 30% nya lagi untuk belanja yang gak perlu,dengan kata lain uang beredar di masyarakat di tarik lalu di kembalikan lagi 40% nya,yang 60% nya menguap entah kemana dan membebani orang yang produktif
dengan kata lain kunci kesuksesan suatu negara itu terletak dari seberapa kecil penguapan dibanding negara lain,semakin kecil berarti semakin bagus
Amit-amit... saya baru beli pulsa token listrik 500.000-an, dipotong sana-sini yg jadi pulsa cuma 460.000-an.. kok gak rela ya...yg lebih absurd udah kena pajak ini-itu kalo beli properti kena pnbp ( penghasilan negara bukan pajak )
@ pak is
https://news.detik.com/berita/3039639/ruu-ampuni-koruptor-targetkan-kembalikan-duit-negara-rp-7000-t
Uang Beredar dapat didefinisikan dalam arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2). M1 meliputi uang kartal yang dipegang masyarakat dan uang giral (giro berdenominasi Rupiah), sedangkan M2 meliputi M1, uang kuasi (mencakup tabungan, simpanan berjangka dalam rupiah dan valas, serta giro dalam valuta asing), dan surat berharga yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun.
Pak mau tanya jika M2 kita sekarang 4400 Triliun, bagaimana bisa dapat uang pajak 7000 triliun?? uang apa 7000 triliun ini? jelas tidak termasuk dalam uang kertas , uang logam, uang dalam mata uang asing.
Post a Comment